SEPENGGAL CERITERA KETIKA TSUNAMI MENGHANTAM ACEH (2)

Kamis, 23 Januari 2014

Sepulang dari Aceh aku berniat membayar lunas semua kelelahan badan dan pikiran  yang terkuras habis di tengah bencana tsunami di Aceh dengan menikmati tidur sepuas-puasnya. Tetapi niat itu tak pernah mampu kubayar lunas. Ada saja hal-hal lain yang mengganggu istirahatku. Keluarga yang datang silih berganti mengucapkan syukur karena aku masih selamat betul-betul menyita waktuku. Setiap kali mereka datang, mereka meminta aku berceritera tentang pengalaman tragis yang aku alami. Mereka begitu antusias mendengar  segala perih, penderitaan dan pengalamanku, tetapi mereka tidak tahu betapa aku tersiksa harus menceriterakan itu berulang-ulang kepada mereka. Aku tidak mempersalahkan keingintahuan mereka, tetapi mereka juga harus memahami kondisi kejiwaanku. Bayangkan dalam satu hari kadang aku harus menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Kadang timbul di pikiranku untuk merekam ceritera itu dan membagi-bagikan kepada mereka yang datang untuk menengok dan mendengar ceriteraku.

Tidur pada malam haripun aku selalu terganggu dan terbangun. Setiap kali istriku bergerak aku langsung kaget dan terbangun seolah-olah sedang terjadi gempa. Mendengar suara tikus di atas flafonpun aku bisa langsung terperanjat dan bangun. Sungguh sulit untuk mendapatkan tidur yang betul-betul nyenyak. Aku mengalami semacam traumatis tetapi tidak sampai mengganggu keseimbangan jiwaku. Aku bahkan pernah sekali dua kali terkaget dari bangun dan langsung berteriak ketika bencana tsunami itu hadir kembali sebagai ranjau-ranjau tidur.

Selama tiga hari sejak ke pulangan dari Aceh aku tidak pernah merasakan makan yang enak dan nyaman. Aku tidak lagi bisa makan dengan mempergunakan tangan, padahal makan dengan tangan itu bagiku merupakan cara bersantap yang paling nikmat tanpa alat bantu sendok maupun garpu. Bagaimana aku bisa makan dengan mempergunakan tangan jika aku masih merasa bahwa tanganku masih berbau mayat. Walaupun aku mencoba mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, tetap saja aku masih merasa adanya bau mayat melekat pada kedua telapak tanganku.

Aku tahu istri dan anak-anak merasakan ada hal yang kurang pada diriku pasca bencana tsunami itu. Biasanya anak-anak enggan untuk menyapa dan menggangguku ketika berada di depan laptop atau sedang membaca buku, majalah maupun koran. Sekarang ini anak-anak sering merapat dan menceriterakan banyak hal kejadian-kejadian yang mereka alami di sekolah untuk memancingku tersenyum atau tertawa. Kadang-kadang di saat menonton televisi yang masih saja berisi berita-berita tentang tsunami, mereka tiba-tiba mengajak bermain kartu remi dan mematikan televisi. Aku tahu semua itu mereka lakukan untuk aku.



Sebenarnya kantor tempat aku bekerja memberikan dispensasi kepadaku untuk beristirahat selama seminggu untuk memulihkan traumatis. Kadang-kadang istri dan anak-anak mengajakku menonton di bioskop 21, tetapi dasar aku memang tidak begitu hobby menonton di bioskop, hanya sekali-sekali saja permintaan mereka aku turuti. Selebihnya aku menikmati bacaan-bacaan yang sengaja dibelikan oleh anak lelakiku di toko loakan sebagai teman mengisi liburan. Pada masa liburan itu pulalah aku sempat mengurus kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, kartu Askes, dan tetek bengek urusan perbankan dan kartu-kartu kepegawaian.

Setelah istirahat seminggu, senin kedua Januari 2005 aku mulai masuk kerja. Aku sudah berketetapan hati untuk tidak lagi menceriterakan pengalaman-pengalamanku di Aceh. Aku sungguh lelah menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Di kantor aku lebih senang mengurung diri, tetapi teman-teman tetap saja datang berkunjung ke ruanganku. Rupanya kegelisahanku terbaca oleh pimpinan. Sesmenko kemudian mengadakan acara syukuran atas keselamatan tim yang bertugas di Aceh pada waktu tsunami. Dalam kesempatan syukuran tersebutlah, Bapak Wagimin sebagai ketua tim dan yang lebih dituakan menceriterakan segala apa yang kami alami di aceh pada saat tsunami dan pasca tsunami di hadapan teman-teman karyawan Kemenko Polhukam. Alhamdulillah dengan demikian aku tidak lagi direpotklan untuk menceriterakan hal yang sama karena semua karyawan telah mendengar ceritera lengkapnya.

Dua tahun Kemudian

            Dua tahun telah berjalan. Tampak semua telah berjalan normal kembali. Saat itu akan sedang menjalani masa pendidikat Diklat PIM III. Menjelang akhir pendidikan aku mendapat kabar bahwa aku akan ditugaskan menangani proyek Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh untuk tahun 2007 dan seterusnya mengganti pemegang proyek sebelumnya. Aku sungguh paling tidak senang pekerjaan yang berurusan dengan uang. dari pengalaman berorganisasi hanya satu pekerjaan yang tidak pernah aku tangani adalah menjadi bendahara atau tugas-tugas lain berhubungan dengan mengelola anggaran. Namun karena ini sudah menjadi keputusan pimpinan tanpa meminta persetujuanku, terpaksa aku jalani. Aku minta waktu untuk menyelesaikan pendidikan diklat PIM III-ku.

            Aku ditugaskan sebagai verifikator, sedangkan Ketua Satkernya adalah Bapak Wagimin dan Bendaharanya adalah sdr. Zulhan sementara Kepala proyeknya tetap dipegang oleh Bapak Harry Kadir. Kebetulan teman diklatku ada yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepadanya aku bertanya banyak hal tentang tugas verifikator dan konsekuensi-konsekuensi apa saja yang bisa menjerat dan menjerumuskannya. Tugas tim di Aceh adalah untuk membantu rehabilitasi aceh dengan memajukan kelompok-kelompok masyarakat melalui bantuan sosial sekaligus berperan membangun dan menjaga perdamaian Aceh. 


Dompetku Kembali Lagi
           
Setelah dua bulan di Aceh, ada seorang gadis, namanya Nur Hasanah mencari-cari diriku. Ia bertanya ke sana kemari, dan akhirnya bertanya di mess Polhukam yang dulu dimana saya tidak bertempat tinggal di sana lagi. Dari sana ada seorang bekas supir, namanya Bambang mengantarkan gadis itu menemuiku di kantor Satker Polhukam di Kuta Alam.

            Gadis itu menyalami dan mencium tanganku. ”Nama saya Nur Hasanah. Saya yang terdampar di mess Bapak waktu tsunami. Maaf pak, saya yang telah mengambil dompet bapak. Saya tak punya siapa-siapa lagi. Waktu itu saya sungguh khilaf. Saya hanya berpikir bagaimana caranya melanjutkan hidup dan mengobati luka-luka di kaki saya.”

            ”Bagaimana kau bisa mengenali nama saya ? dan mengapa baru sekarang, setelah dua tahun berlalu kau mencari saya.” tanyaku ingin menggali ceriteranya.

            ”Saya tahu nama bapak dari KTP di dompet ini. Maaf pak. baru sekarang saya dapat mengumpulkan uang untuk mengganti uang di dompet bapak yang saya ambil.”

            ”Ini sudah dua tahun berlalu. Mengapa timbul di pikiranmu untuk mencari saya dan mengembalikan uang itu.”

            ”Selama dua tahun itu hidup saya tidak tenang, Pak. Nama bapak selalu menghantui hidup saya, dan saya tidak akan pernah hidup tenang sebelum mengembalikan dompet bapak,” katanya sambil menyodorkan dompet yang warna dan bentuknya tidak berubah.

            Sudah tiga kali ia menyodorkan dompet itu kepada. ”Jadi kau ingin mengembalikan duit dan dompet saya ? Mana duitnya ? tanyaku.        Ia mengambil duit dari tas kecilnya dan menyodorkan kepadaku bersama dompetnya. ”Jumlahnya berapa ?” tanyaku tanpa menyentuh dompet dan uang yang ia sodorkan.

            ”Satu juta lima puluh ribu rupiah, Pak.”

            Tepat. ku hafal betul jumlah duit di dompetku saat itu. ”sekarang apa yang kau kerjakan ?”

            ”Saya kuliah Pak.”

            ”Sudah semester berapa ?”

            ”Semester akhir. Saya sedang menyusun skripsi, Pak.”


            Beruntung duit yang ia sodorkan itu tak pernah kusentuh. Bayangkan kalau duit yang jumlah cukup besar itu ada dalam genggamanku, mungkin aku berpikir seribu kali untuk melepaskannya. Padahal aku ingat betul bahwa aku telah mengikhlaskan dompet dan duit itu jika memang diambil oleh orang. ”Begini, nak...!” tiba-tiba aku memanggilnya anak. ”Sebenarnya waktu kehilangan itu, aku telah mengikhlaskannya. Jadi sekarang, pergunakanlah uang itu untuk biaya penyusunan skripsimu. Dompet itupun telah kuikhlaskan dan semua surat-surat di dalammya telah bapak ganti dengan yang baru. Jadi, kalau kau tidak keberatan berikanlah dompet itu dengan keikhlasan yang sama kepadaku untuk aku jadikan kenang-kenangan.”

            Ia menyerahkan dompetnya dan mencium  tanganku. Aku melihat ada dua embun mengkristal di kedua pelupuk matanya. Aku hanya menepuk dan mengusap pundaknya sebagai tanda sayang dan bangga pada kepribadian dan kejujurannya. Kalau saja watak dan moralis pejabat negeri ini dapat seperti sikap Nur Hasanah yang selalu gelisah memegang uang yang bukan haknya. Subhanallah negeri ini akan di ridhoi Allah Azza Wa Jalla.



Episode selanjutnya, 
”Kutemukan anak angkatku yang cantik 
dan menggagas panggung sosialisasi”

0 komentar:

Posting Komentar