Sepulang dari Aceh aku berniat membayar lunas
semua kelelahan badan dan pikiran yang
terkuras habis di tengah bencana tsunami di Aceh dengan menikmati tidur
sepuas-puasnya. Tetapi niat itu tak pernah mampu kubayar lunas. Ada saja
hal-hal lain yang mengganggu istirahatku. Keluarga yang datang silih berganti
mengucapkan syukur karena aku masih selamat betul-betul menyita waktuku. Setiap
kali mereka datang, mereka meminta aku berceritera tentang pengalaman tragis
yang aku alami. Mereka begitu antusias mendengar segala perih, penderitaan dan pengalamanku,
tetapi mereka tidak tahu betapa aku tersiksa harus menceriterakan itu
berulang-ulang kepada mereka. Aku tidak mempersalahkan keingintahuan mereka,
tetapi mereka juga harus memahami kondisi kejiwaanku. Bayangkan dalam satu hari
kadang aku harus menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Kadang timbul di
pikiranku untuk merekam ceritera itu dan membagi-bagikan kepada mereka yang
datang untuk menengok dan mendengar ceriteraku.
Tidur pada malam haripun aku selalu terganggu dan
terbangun. Setiap kali istriku bergerak aku langsung kaget dan terbangun
seolah-olah sedang terjadi gempa. Mendengar suara tikus di atas flafonpun aku
bisa langsung terperanjat dan bangun. Sungguh sulit untuk mendapatkan tidur
yang betul-betul nyenyak. Aku mengalami semacam traumatis tetapi tidak sampai
mengganggu keseimbangan jiwaku. Aku bahkan pernah sekali dua kali terkaget dari
bangun dan langsung berteriak ketika bencana tsunami itu hadir kembali sebagai
ranjau-ranjau tidur.
Selama tiga hari sejak ke pulangan dari Aceh aku
tidak pernah merasakan makan yang enak dan nyaman. Aku tidak lagi bisa makan
dengan mempergunakan tangan, padahal makan dengan tangan itu bagiku merupakan
cara bersantap yang paling nikmat tanpa alat bantu sendok maupun garpu.
Bagaimana aku bisa makan dengan mempergunakan tangan jika aku masih merasa
bahwa tanganku masih berbau mayat. Walaupun aku mencoba mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan, tetap saja aku masih merasa adanya bau mayat melekat pada
kedua telapak tanganku.
Aku tahu istri dan anak-anak merasakan ada hal
yang kurang pada diriku pasca bencana tsunami itu. Biasanya anak-anak enggan
untuk menyapa dan menggangguku ketika berada di depan laptop atau sedang
membaca buku, majalah maupun koran. Sekarang ini anak-anak sering merapat dan
menceriterakan banyak hal kejadian-kejadian yang mereka alami di sekolah untuk
memancingku tersenyum atau tertawa. Kadang-kadang di saat menonton televisi
yang masih saja berisi berita-berita tentang tsunami, mereka tiba-tiba mengajak
bermain kartu remi dan mematikan televisi. Aku tahu semua itu mereka lakukan untuk
aku.
Sebenarnya kantor tempat aku bekerja memberikan
dispensasi kepadaku untuk beristirahat selama seminggu untuk memulihkan
traumatis. Kadang-kadang istri dan anak-anak mengajakku menonton di bioskop 21,
tetapi dasar aku memang tidak begitu hobby menonton di bioskop, hanya
sekali-sekali saja permintaan mereka aku turuti. Selebihnya aku menikmati
bacaan-bacaan yang sengaja dibelikan oleh anak lelakiku di toko loakan sebagai
teman mengisi liburan. Pada masa liburan itu pulalah aku sempat mengurus
kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, kartu Askes, dan tetek bengek urusan
perbankan dan kartu-kartu kepegawaian.
Setelah istirahat seminggu, senin kedua Januari
2005 aku mulai masuk kerja. Aku sudah berketetapan hati untuk tidak lagi
menceriterakan pengalaman-pengalamanku di Aceh. Aku sungguh lelah
menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Di kantor aku lebih senang
mengurung diri, tetapi teman-teman tetap saja datang berkunjung ke ruanganku.
Rupanya kegelisahanku terbaca oleh pimpinan. Sesmenko kemudian mengadakan acara
syukuran atas keselamatan tim yang bertugas di Aceh pada waktu tsunami. Dalam
kesempatan syukuran tersebutlah, Bapak Wagimin sebagai ketua tim dan yang lebih
dituakan menceriterakan segala apa yang kami alami di aceh pada saat tsunami
dan pasca tsunami di hadapan teman-teman karyawan Kemenko Polhukam.
Alhamdulillah dengan demikian aku tidak lagi direpotklan untuk menceriterakan
hal yang sama karena semua karyawan telah mendengar ceritera lengkapnya.
Dua tahun Kemudian
Dua tahun telah berjalan.
Tampak semua telah berjalan normal kembali. Saat itu akan sedang menjalani masa
pendidikat Diklat PIM III. Menjelang akhir pendidikan aku mendapat kabar bahwa
aku akan ditugaskan menangani proyek Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh
untuk tahun 2007 dan seterusnya mengganti pemegang proyek sebelumnya. Aku
sungguh paling tidak senang pekerjaan yang berurusan dengan uang. dari
pengalaman berorganisasi hanya satu pekerjaan yang tidak pernah aku tangani
adalah menjadi bendahara atau tugas-tugas lain berhubungan dengan mengelola
anggaran. Namun karena ini sudah menjadi keputusan pimpinan tanpa meminta
persetujuanku, terpaksa aku jalani. Aku minta waktu untuk menyelesaikan
pendidikan diklat PIM III-ku.
Aku ditugaskan sebagai
verifikator, sedangkan Ketua Satkernya adalah Bapak Wagimin dan Bendaharanya
adalah sdr. Zulhan sementara Kepala proyeknya tetap dipegang oleh Bapak Harry
Kadir. Kebetulan teman diklatku ada yang berasal dari Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Kepadanya aku bertanya banyak hal tentang tugas verifikator dan
konsekuensi-konsekuensi apa saja yang bisa menjerat dan menjerumuskannya. Tugas
tim di Aceh adalah untuk membantu rehabilitasi aceh dengan memajukan
kelompok-kelompok masyarakat melalui bantuan sosial sekaligus berperan
membangun dan menjaga perdamaian Aceh.
Dompetku Kembali Lagi
Setelah dua bulan di Aceh, ada seorang gadis,
namanya Nur Hasanah mencari-cari diriku. Ia bertanya ke sana kemari, dan
akhirnya bertanya di mess Polhukam yang dulu dimana saya tidak bertempat
tinggal di sana lagi. Dari sana ada seorang bekas supir, namanya Bambang
mengantarkan gadis itu menemuiku di kantor Satker Polhukam di Kuta Alam.
Gadis itu menyalami dan
mencium tanganku. ”Nama saya Nur Hasanah. Saya yang terdampar di mess Bapak
waktu tsunami. Maaf pak, saya yang telah mengambil dompet bapak. Saya tak punya
siapa-siapa lagi. Waktu itu saya sungguh khilaf. Saya hanya berpikir bagaimana
caranya melanjutkan hidup dan mengobati luka-luka di kaki saya.”
”Bagaimana kau bisa
mengenali nama saya ? dan mengapa baru sekarang, setelah dua tahun berlalu kau
mencari saya.” tanyaku ingin menggali ceriteranya.
”Saya tahu nama bapak dari
KTP di dompet ini. Maaf pak. baru sekarang saya dapat mengumpulkan uang untuk
mengganti uang di dompet bapak yang saya ambil.”
”Ini sudah dua tahun
berlalu. Mengapa timbul di pikiranmu untuk mencari saya dan mengembalikan uang
itu.”
”Selama dua tahun itu
hidup saya tidak tenang, Pak. Nama bapak selalu menghantui hidup saya, dan saya
tidak akan pernah hidup tenang sebelum mengembalikan dompet bapak,” katanya
sambil menyodorkan dompet yang warna dan bentuknya tidak berubah.
Sudah tiga kali ia
menyodorkan dompet itu kepada. ”Jadi kau ingin mengembalikan duit dan dompet
saya ? Mana duitnya ? tanyaku. Ia
mengambil duit dari tas kecilnya dan menyodorkan kepadaku bersama dompetnya.
”Jumlahnya berapa ?” tanyaku tanpa menyentuh dompet dan uang yang ia sodorkan.
”Satu juta lima puluh ribu
rupiah, Pak.”
Tepat. ku hafal betul
jumlah duit di dompetku saat itu. ”sekarang apa yang kau kerjakan ?”
”Saya kuliah Pak.”
”Sudah semester berapa ?”
”Semester akhir. Saya
sedang menyusun skripsi, Pak.”
Beruntung duit yang ia
sodorkan itu tak pernah kusentuh. Bayangkan kalau duit yang jumlah cukup besar
itu ada dalam genggamanku, mungkin aku berpikir seribu kali untuk
melepaskannya. Padahal aku ingat betul bahwa aku telah mengikhlaskan dompet dan
duit itu jika memang diambil oleh orang. ”Begini, nak...!” tiba-tiba aku
memanggilnya anak. ”Sebenarnya waktu kehilangan itu, aku telah
mengikhlaskannya. Jadi sekarang, pergunakanlah uang itu untuk biaya penyusunan
skripsimu. Dompet itupun telah kuikhlaskan dan semua surat-surat di dalammya
telah bapak ganti dengan yang baru. Jadi, kalau kau tidak keberatan berikanlah
dompet itu dengan keikhlasan yang sama kepadaku untuk aku jadikan
kenang-kenangan.”
Ia menyerahkan dompetnya
dan mencium tanganku. Aku melihat ada
dua embun mengkristal di kedua pelupuk matanya. Aku hanya menepuk dan mengusap
pundaknya sebagai tanda sayang dan bangga pada kepribadian dan kejujurannya.
Kalau saja watak dan moralis pejabat negeri ini dapat seperti sikap Nur Hasanah
yang selalu gelisah memegang uang yang bukan haknya. Subhanallah negeri ini
akan di ridhoi Allah Azza Wa Jalla.
Episode selanjutnya,
”Kutemukan anak angkatku yang cantik
dan menggagas
panggung sosialisasi”
0 komentar:
Posting Komentar