KETIKA MONAS BERWAJAH MURUNG

Jumat, 10 Januari 2014


Namanya Monumen Nasional. Siapapun tahu ia adalah anak kandung nasionalisme Indonesia. Sebagaimana aku, hampir semua orang memanggilnya Monas dan ia cukup merasa nyaman dengan nama panggilan itu. Sejak lahir aku telah mengenalnya, setidak-tidaknya mengenal namanya. Ia tak pernah mengunjungiku, walaupun aku seringkali mengunjunginya. Ia memang sangat bangga berada di tempatnya, tetapi bukan berarti ia sombong dan tidak peduli dengan yang lainnya. Matanya tak pernah istirahat melihat dan mengamati suasana di sekitarnya. Begitu banyak yang mengagumi dan menyebut-nyebut namanya, tetapi hingga saat ini ia tetap memilih untuk hidup sendiri. Alasannya sangat sederhana, ia tak ingin dimiliki oleh hanya seseorang atau sekelompok etnis tertentu. Ia lebih bangga menjadi milik semua orang.

24 tahun terakhir ini kami sangat bersahabat, lebih bersahabat dibandingkan yang lain. Ia satu-satunya sahabat yang tidak pernah berubah bahkan nyaris tak tampak dimakan usia. Tubuhnya tetap tinggi, ramping dan kokoh. Bentuk kepalanya agak oval dengan rambut kuning kebanggaannya. Kemilau rambutnya semakin indah saat matahari menyiramkan cahayanya. Aku hafal betul kebiasaan, kesenangan dan hal-hal yang bisa membuatnya gundah. Bagaimana tidak. Aku mengetahui hari-harinya sebagaimana ia mengetahui hari-hariku tiap kali melintas di jalan Medan Merdeka Barat tempat dimana aku bekerja.

Sore itu, Jumat, 10 Januari 2014 aku melihatnya lain daripada biasanya. Air yang mengucur dan membasahi wajahnya, bukan hanya bekas tetesan air hujan yang siang itu memandikan bumi. Tetesan air itu telah bercampur dengan peluh dan airmata Monas. Tak ada seorangpun yang memperhatikan airmata itu karena Monas sengaja menumpahkan tangisannya ketika hujan turun deras. Ia tak ingin orang-orang yang menguguminya ikut bersedih. Tetapi aku sungguh tahu kesedihan itu. Aku tahu ada air mata dan peluh yang bercampur dengan air hujan. Itu tampak sekali dari kemurungan wajahnya. “Apa yang membuatmu sedih sahabatku ?”

“Mendekatlah, Bung Komar. Jangan biarkan orang  gusar dengan obrolan kita,”

“Ada seorang anak manusia, sumber daya potensial bangsa ini pernah berjanji di hadapan khalayak bahwa jika ia melakukan hal-hal sebagaimana disangkakan kepadanya, maka ia minta di gantung pada badanku yang tinggi dan kokoh ini. Aku sempat terperanjat dan bertanya, “mengapa aku?” 

“Kau keberatan Sahabatku..?”

“Apa arti keberatanku, Bung Komar. Kalau mereka menginginkan, badanku tak pernah bergeser dari tempatnya. Bersedia ataupun tidak bersedia, badanku memang sesuatu yang tersedia. Leherku cukup kuat menahan tali gantungan. Tetapi ketika itu semua berlangsung bukan berarti semua persoalan selesai. Janji memang telah ditunaikan.  Tapi pada saat yang sama persoalan diriku baru dimulai.”

“Apa persoalanmu sahabatku..?”

"Setelah kejadian itu, orang tak lagi mengenalku sebagai Monas, tetapi sebagai tiang gantungan koruptor. Kau pikir aku bangga dengan julukan itu ? Kau pikir aku berharap semua itu terjadi ? Tanyanya dengan suara meninggi."

“Jadi apa yang kau harapkan sahabatku..?”

“Aku berharap, dia yang terlanjur berkata, berjanji, dan bersumpah itu mau menarik perkataan, janji, dan sumpahnya di hadapan publik.”

“Kalau ia bersikeras tak mau menarik kata-katanya ?”

“Aku berharap proses hukum pada dirinya tidak membuktikan bahwa ia adalah seorang koruptor.”

“Kalau terbukti…! Bagaimana sahabatku ?”

“Aku berharap, ia mau mengatakan kepada publik bahwa Monas yang dia maksud waktu berjanji dan bersumpah itu, bukanlah aku,” menunjukkan dadanya. “Melainkan areal monument nasional yang berada di sekitarku.”

Jakarta, 11/i/2014
 

0 komentar:

Posting Komentar