Namanya
Monumen Nasional. Siapapun tahu ia adalah anak kandung nasionalisme Indonesia.
Sebagaimana aku, hampir semua orang memanggilnya Monas dan ia cukup merasa nyaman
dengan nama panggilan itu. Sejak lahir aku telah mengenalnya, setidak-tidaknya
mengenal namanya. Ia tak pernah mengunjungiku, walaupun aku seringkali
mengunjunginya. Ia memang sangat bangga berada di tempatnya, tetapi bukan
berarti ia sombong dan tidak peduli dengan yang lainnya. Matanya tak pernah
istirahat melihat dan mengamati suasana di sekitarnya. Begitu banyak yang
mengagumi dan menyebut-nyebut namanya, tetapi hingga saat ini ia tetap memilih
untuk hidup sendiri. Alasannya sangat sederhana, ia tak ingin dimiliki oleh
hanya seseorang atau sekelompok etnis tertentu. Ia lebih bangga menjadi milik
semua orang.
24
tahun terakhir ini kami sangat bersahabat, lebih bersahabat dibandingkan yang
lain. Ia satu-satunya sahabat yang tidak pernah berubah bahkan nyaris tak
tampak dimakan usia. Tubuhnya tetap tinggi, ramping dan kokoh. Bentuk kepalanya
agak oval dengan rambut kuning kebanggaannya. Kemilau rambutnya semakin indah
saat matahari menyiramkan cahayanya. Aku hafal betul kebiasaan, kesenangan dan
hal-hal yang bisa membuatnya gundah. Bagaimana tidak. Aku mengetahui
hari-harinya sebagaimana ia mengetahui hari-hariku tiap kali melintas di jalan
Medan Merdeka Barat tempat dimana aku bekerja.
Sore
itu, Jumat, 10 Januari 2014 aku melihatnya lain daripada biasanya. Air yang
mengucur dan membasahi wajahnya, bukan hanya bekas tetesan air hujan yang siang
itu memandikan bumi. Tetesan air itu telah bercampur dengan peluh dan airmata
Monas. Tak ada seorangpun yang memperhatikan airmata itu karena Monas sengaja
menumpahkan tangisannya ketika hujan turun deras. Ia tak ingin orang-orang yang
menguguminya ikut bersedih. Tetapi aku sungguh tahu kesedihan itu. Aku tahu ada
air mata dan peluh yang bercampur dengan air hujan. Itu tampak sekali dari
kemurungan wajahnya. “Apa yang membuatmu sedih sahabatku ?”
“Mendekatlah,
Bung Komar. Jangan biarkan orang gusar
dengan obrolan kita,”
“Ada
seorang anak manusia, sumber daya potensial bangsa ini pernah berjanji di
hadapan khalayak bahwa jika ia melakukan hal-hal sebagaimana disangkakan
kepadanya, maka ia minta di gantung pada badanku yang tinggi dan kokoh ini. Aku
sempat terperanjat dan bertanya, “mengapa aku?”
“Kau
keberatan Sahabatku..?”
“Apa
arti keberatanku, Bung Komar. Kalau mereka menginginkan, badanku tak pernah
bergeser dari tempatnya. Bersedia ataupun tidak bersedia, badanku memang
sesuatu yang tersedia. Leherku cukup kuat menahan tali gantungan. Tetapi ketika
itu semua berlangsung bukan berarti semua persoalan selesai. Janji memang telah
ditunaikan. Tapi pada saat yang sama persoalan
diriku baru dimulai.”
“Apa
persoalanmu sahabatku..?”
"Setelah
kejadian itu, orang tak lagi mengenalku sebagai Monas, tetapi sebagai tiang
gantungan koruptor. Kau pikir aku bangga dengan julukan itu ? Kau pikir aku
berharap semua itu terjadi ? Tanyanya dengan suara meninggi."
“Jadi
apa yang kau harapkan sahabatku..?”
“Aku
berharap, dia yang terlanjur berkata, berjanji, dan bersumpah itu mau menarik
perkataan, janji, dan sumpahnya di hadapan publik.”
“Kalau
ia bersikeras tak mau menarik kata-katanya ?”
“Aku
berharap proses hukum pada dirinya tidak membuktikan bahwa ia adalah seorang
koruptor.”
“Kalau
terbukti…! Bagaimana sahabatku ?”
Jakarta, 11/i/2014
0 komentar:
Posting Komentar