MENGENAL PERBATASAN RI ( PAPUA ) - PNG

Selasa, 17 Desember 2013


Kenali perbatasan negaramu, maka kau akan mengenali bentuk,  situasi dan keadaan beranda terdepan negaramu. Siapapun yang melintasi perbatasan ia akan melihat sepintas beranda terdepan negara yang ia lintasi. Dengan sekali lihat, ia akan mempunyai gambaran awal bagaimana situasi di dalam negara tersebut. Atas dasar filosofi itulah kami berlima merasa perlu meninjau langsung daerah perbatasan RI – PNG yang biasa disebut daerah perbatasan Skouw – Wotung. Skou adalah daerah pernatasan RI, sedangkan Wotung adalah daerah perbatasan PNG.

Sebelum berangkat kami sudah melakukan kontak terlebih dahulu dengan petugas jaga di Skouw, dan melalui juru kunci menara suar perbatasan, Sahrul,  kami sudah mendapat jaminan bahwa situasi saat itu cukup aman dan cukup terkendali. Pada Minggu, 16 Desember 2012, Jam 10 pagi matahari cerah tetapi rinai gerimis ikut serta mengiringi perjalanan kami dari Kota Jayapura memasuki Abepura dan berbelok kiri mendaki jalan beraspal di perkampungan Nafri yang kiri kanannya masih banyak berupa hutan-hutan. Selanjutnya kami memasuki daerah transmigrasi Koya yang di kanan kirinya menghampar persawahan dan rumah-rumah penduduk yang jaraknya masih berjauhan, tetapi tampak sekali ada geliat ekonomi yang cukup ramai.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto daerah Koya dibuka dengan menempatkan transmigran yang berasal dari jawa. Tidak heran jika saat ini Koya dan juga Koya Timur termasuk daerah yang ramai dilintasi oleh para pengunjung yang akan pergi ke daerah perbatasan. Di Koya ini terdapat pasar buah dan juga jagung serta keripik yang dapat menjadi oleh-oleh bagi pengunjung yang akan pergi atau kembali dari perbatasan. Di koya pula terdapat beberapa areal pemancingan dan restoran yang cukup ramai dikunjungi oleh pendatang dari Jayapura dan Abepura serta pengunjung daerah perbatasan yang singgah makan menikmati berbagai jenis ikan dan ayam goreng yang nikmat. Penduduk Koya sebahagian besar adalah  beragama Islam tetapi di tempat ini tidak pernah terjadi kericuhan atau kerusuhan akibat perbedaan agama.

Dari Koya Timur kami masih membutuh 30 menit perjalanan untuk sampai ke perbatasan. Akhirnya setelah menempuh perjalanan sekitar 90 km dalam jangka waktu kurang lebih dua jam kami tiba di Skouw. Jika hanya untuk melewati perbatasan Skouw – Wotung, kami cukup melapor ke pos TNI dan meninggalkan KTP sebagai jaminan. Tetapi kalau bermaksud berlibur ke negara PNG bisa langsung lapor ke kantor imigrasi di Wutung dan jangan lupa menunjukkan paspor yang sudah ada visa Papua New Guinea nya. Visa PNG bisa didapat di kantor kedutaan PNG yang terdapat di daerah Entrop, Jayapura.


Daerah perbatasan biasanya identik dengan daerah yang tidak terjamah. Yang terkadang lupa akan kedaulatan Negaranya sendiri. Daerah dimana biasanya mata uang negara sebelah lebih memikat dibandingkan mata uang Negara sendiri. Namun tidak seperti itu yang terjadi di perbatasan antara Republik Indonesia dengan Papua New Guinea.

Di daerah perbatasan ini, ada yang namanya hari pasar. Hari dimana masyarakat kedua Negara saling bertemu dan berdagang. Hari pasar diadakan setiap hari Selasa, Kamis, dan hari Sabtu. Pasar yang bersebelahan dengan markas TNI-AD tersebut banyak dimanfaatkan penduduk Papua Nugini untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Warga PNG paling suka berbelanja di Skouw karena harga barang lebih murah. Pasar di Skouw ini dikelola secara bersama oleh loncing, Perhimpnan Pedagang Perbatasan. Transaksi bisa dengan kina (mata uang Papua Nugini) atau rupiah. Berbeda dengan di Port Moresby, ibu kota Papua Nugini, yang hanya memberlakukan dolar dan kina. Sejak diresmikan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Border Zone di Skouw-Wutung menjadi obyek wisata yang mulai banyak dikunjungi pendatang.

Dengan mengucapkan “Bismillahir Rahmanir Rahim” kami melintasi pintu gerbang intas perbatasan yang bertuliskan “welkam Long Papua Nugini” tanpa paspor dan visa tentu saja. Di Wotung PNG tidak ada pasar khusus sebagaimana di Skouw RI. Di Wotung kami hanya bisa berjalan di seputaran tanah seluas lapangan sepakbola. Di bahagian pinggir tersebar lapak-lapak yang menjual aneka souvenir PNG yang munkin saja produk Indonesia denganlabel PNG. Saya sendiri membeli topi Rp. 50.000, gantungan pemotong kuku Rp. 25.000, Gelas PNG Rp. 25.000, dan sebuah payung Rp. 50.000. Mereka juga menjual baju kaos PNG yang harganya lumayan mahal Rp. 150.000, Tas Noken Rp. 600.000, bahan kain Rp 170.000, sangkur Rp. 200.000,.
Sambil belanja kami sempatkan berphoto-photo di Pos Perbatasan, gerbang perbatasan, dan latar belakang mobil pick up PNG yang uniknya semua berwarnba putih-putih. Tidak lama kemudian penjaga pos perbatasan PNG memanggil saya dengan cara yang kurang ramah. Saya mendekati dan menyalaminya sambil mengingat-ingat kesalahan apa yang sudah saya lakukan.


“Bapak sedang apa ?” tanyanya penuh selidik.
“Hanya sekedar photo-photo untuk kenang-kenangan,” jawabku.
“Pakai video ?” tanyanya lagi
“Ini hanya kamera kecil biasa tidak ada fasilitas videonya,” jawabku teringat pesan seorang teman, kalau mengambil photo jangan mengangkat kamera lama-lama. Setelah ambil photo turunkan dulu, setelah agak lama baru ambil photo lagi. Petugas di PNG khawatir kalau kami merekam lewat video.

“Kalau kamera biasa boleh. Di sini dilarang mengambil video dan membuat film tentang PNG. Kami tidak inginkan publikasi tentang negara kami,” katanya menjelaskan dan mempersilahkan aku kembali berphoto-photo. 

Sementara itu empat teman lainnya Suryanto Nano, Ardiansyah, Dulawi, dan Muslimin naik ke menara suar perbatasan menyaksikan pemandangan wilayah perbatasan RI dan PNG.



0 komentar:

Posting Komentar