BERTEMU SAHABAT LAMA (33 TAHUN KEMUDIAN)

Minggu, 08 Maret 2015



Namanya, RR. Sri Wahyu Handayani, biasa disapa dengan panggilan akrab, Yenny. Kecantikannya tidak diragukan, kulitnya putih, rambut tergerai, badannya bagus, proporsional dan atletis. Ia adalah pribadi yang hangat, disenangi oleh teman-temannya, disegani oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya. Maklumlah ia adalah karate ban hitam. Banyak orang yang menaruh hati padanya terpaksa urung menyatakan niatnya karena dari awal Yenny telah mengatakan bahwa ia telah bertunangan dengan seorang taruna akabri.

Saya kebetulan berada dalam satu kampus dan satu jurusan dengannya, sehingga hampir di setiap saat berkuliahan kami bertemu dan saling menyapa. Kebetulan saya mahasiswa yang cukup menonjol baik dalam segi akademis maupun aktivitas kemahasiswaan di kampus sehingga banyak mahasiswa yang berusaha dekat denganku. Tentu saja akupun berusaha dekat dengan siapapun. Jujur saja teman-teman dekatku lebih banyak wanita dibandingkan lelaki. Apalagi aku berada di jurusan sastra yang hampir semua mahasiswinya cantik-cantik. Mahasiswi-mahasiswi di Fakultas sastra Unhas sering digelari bunga-bunganya kampus.

Kami biasa kumpul bersama, belajar dan berdiskusi bersama, jalan dan makan bersama, serta dalam banyak kesempatan saling mengunjungi. Saya, Yenny, Onna, Dewi Tally dan Mulyani Kone menjadi komunitas tersendiri di kampus. Jika kami telah berkumpul, barulah teman-teman yang lain ikut nimbrung. Jika sudah berada di kampus, kami belumlah merasa lengkap tanpa kehadiran Yenny. kami biasanya hanya duduk di pelataran kampus menunggu kehadiran Yenny.  Yenny biasa datang dengan honda bebek warna merahnya. Dari jauh biasanya sudah kami tebak kehadirannya karena teman-teman sudah mengenal motor dan juga gayanya berkendaraannya. Gaya berkendaraannya memang terkesan agak tomboy sehingga di jalan jarang ada orang yang berani mengganggunya.

Akulah satu-satunya lelaki dalam kumpulan wanita-wanita cantik itu. Mungkin Yenny dan teman-temannya menganggap, jika lelaki hadir dengan karakter buayanya, maka aku dianggap sebagai buaya yang mudah dijinakkan. Nyatanya memang begitu. Yenny dan teman-temannya seringkali berhasil memaksakan kehendaknya padaku. Apapun yang mereka rencanakan, aku biasanya ikut saja. Di dalam kampuspun kami sering memilih tempat duduk saling berdekatan.

Dalam aktivitas extra kurikuler Yenny-pun seringkali kami libatkan. Uniknya, walaupun ia memiliki banyak kebisaan, tetapi Yenny lebih sering ditempatkan sebagai bagian keamanan. Padahal sebenarnya banyak lelaki yang lebih garang dan berbadan kekar untuk mengambil tugas pengamanan. Suatu kali ada kelompok mahasiswa yang mengadakan protes atas kegiatan yang kami lakukan. Mereka di luar berteriak dan mendesak masuk ke aula pertemuan. Mendengar suara gaduh, Yenny segera bergegas keluar dan berdiri di depan pintu. Aku tentu saja khawatir dengannya, karena itu aku ikut keluar mendampinginya. Ia hanya mengatakan satu kalimat, kalimat singkat yang keluar tanpa raut gentar, ”Saya minta...! Jangan masuk..!” dan ia memasang badannya, mematung di depan pintu. Ia tidak melayani teriakan-teriakan aksi mahasiswa karena ia bukan type wanita debator. Ia hanya berdiri memastikan tidak ada yang masuk ke ruang pertemuan. Saya sempat mendengar ada satu mahasiswa yang memprovokasi rekannya, ”hanya perempuan”.....dan ia mundur ketika mendapat jawaban, ”Karateka Ban Hitam”. Yenny memang punya kharisma tersendiri, tanpa suara bentakan ataupun mimik di sangar-sangarkan atau di seram-seramkan, ternyata mahasiswa tidak berani masuk dan memilih untuk membubarkan diri.

Terlalu banyak ceritera tentang Yenny dan persahabatan kami. Waktu kebersamaan kami memang tak lama, tetapi ikatan emosional itu kuat melekat dalam memoriku. Pada masa itu budaya telepon seluler  belum ada, sehingga kami hanya bisa berkomunikasi secara langsung. Pada tahun 1982 Yenny tak pernah lagi menampakkan dirinya. Komunikasi dengannya praktis terputus. Saya masih sempat membantu sahabat-sahabat lain menyelesaikan tugas akhir perkuliahannya. Setiap kali kami berkumpul...Yenny menjadi topik pembicaraan, topik ke kangenan. Setelah aku selesai, akupun kembali ke jakarta dan praktis setelah itu hubungan dengan semua teman kampus terputus.

Sejujurnya aku harus menyatakan terimakasih kepada Facebook, karena karena dari media sosial inilah untuk pertama kalinya seorang sahabat, Halim Daties menemukan aku dan mengabarkan kepada teman-teman tentang keberadaanku di media sosial. Mulailah aku kembali mencari dan menemuka teman-teman lamaku. Aku bangga kepada adik-adik angkatanku yang kompak membangun jaringan bertemanannya, sementara aku dan angkutanku lost contact. Aku terus mencari dan selalu gagal menemukan mereka-mereka. Sementara sebuah forum silaturahim di FB yang dibentuk teman-teman juga gagal mendapatkan teman-teman angkatanku.

Begitulah....waktu terus berjalan. Tak terasa sudah 33 tahun aku berpisah dengan sahabat-sahabat cantikku. tetapi ceritera tentang mereka tak akan pernah terhapus dari ingatanku. Akhirnya,  dipenghujung penutupan bulan Febnruari 2015 aku menerima undangan resepsi pernikahan anak dari pimpinanku di kantor. Dari semua teks di kartu undangan tersebut, mataku terdiam lama pada sebuah nama, ”RR. Sri Wahyu Handayani” hati kecilku mengatakan, ”hanya ada satu wanita yang memiliki nama seperti ini, dan dia adalah sahabatku yang menghilang selama 33 tahun.” Tiga hari aku mencari kesempatan untuk menanyakan kepada pimpinanku, karena aku tidak terbiasa menghadap untuk sesuatu yang bukan urusan pekeerjaan.


Akhirnya waktu itu tiba juga. Menjelang pulang kantor aku bertemu pimpinanku lalu menanyakan, ”maaf Pak...apakah ibu pernah kuliah di makassar?” // dijawab ”Iya”. // ”Fakultas sastra,” tanyaku lagi.// dijawab ”Iya”. //”Kalau begitu, sampaikan salamku pada ibu. Katakan saja dari Zulkomar teman kuliahnya. Hanya ada satu nama Zulkomar di Sulawesi,” lalu aku pamit pulang.

Kamis, 5 Maret 2015, seusai menghadiri rapat, pada handphone yang tertinggal di ruang kerjaku ada SMS yang masuk lima menit yang lalu.
”Asslkm wrwb. Maaf ini pak Zulkomar ya ?
”Iya betul. ada yang bisa saya bantu ?”
”Ya Allah...Komar.....saya Yenny.”

Aku sungguh bahagia mengetahui bahwa RR. Sri Wahyu Handayani, ini adalah sahabatku. Tetapi aku juga menjadi bingung sendiri bagaimana nanti harus bersikap jika bertemu dengannya, mengingat bahwa saat ini ia adalah istri seorang marsekal, pimpinanku di kantor. Ada yang sedikit melegakan dari SMS Yenny, ”tetap panggil aku Yenny,” katanya. Aku sangat memaklumi, jika aku belum sempat berbicara dengannya karena ia pasti sangat disibuki oleh persiapan resepsi pernikahan anaknya.

Aku kemudian memutuskan untuk menghadiri undangannya yang dilaksanakan di Yokyakarta. Alhamdulillah berkat kebaikan seorang teman, aku mendapat tumpangan untuk berangkat ke Yokyakarta. Saya dan teman-teman masih sempat berjalan-jalan sejenak di kota Gudeg dan malamnya, 7 Maret 2015, pukul 19.00 WIB  menghadiri resepsi. Aku berusaha menerobos tempat tempat terdepat untuk cepat menjabat tangan pimpinanku dan sahabatku. Setelah tamu VIP selesai dan undangan dipersilahkan memberikan doa dan ucapan selamat. Aku segera ikut berbaris naik ke panggung pelaminan. Ingat benar aku berada di urutan ke 13. Pertama-tama aku ucapkan selamat kepada pimpinanku dan kemudian ia menyampaikan kepada Nyonya, ”Ini zulkomar...nanti ngobrol di sana ya...! Aku menjabat tangan dan memandang sejenak wajahnya, ”Subhanallah dia benar-benar Yenny”.  hanya satu kata yang terucap dari mulutnya, ”komar” lalu aku terdesak oleh tamu-tamu yang lain.

Waktu memang belum tepat untuk berceritera banyak, tetapi waktu itu akan tiba. Dari Yenny pulalah aku akhirnya juga menemukan jejak Dewi Tally dll. Dunia ternyata begitu sempit bagi sebuah persahabatan.

0 komentar:

Posting Komentar