RUMAH ASPIRASI

Sabtu, 18 Januari 2014
Memposkan kembali tulisan lama
Mungkin masih menarik
Untuk mencatat wacana yang lalu



Sejumlah wakil rakyat mengusulkan adanya dana aspirasi atau dana fasilitasi pembangunan sebesar Rp 15 miliar bagi setiap anggota DPR per tahun untuk pembangunan daerah pemilihan (Kompas, 3-4/6/2010). Ide dana aspirasi itu diadopsi dari sejumlah negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Filipina, Afrika Selatan, Swedia, Norwegia, dan Denmark. Dana semacam itu disebut pork barrel atau uang propaganda pemilihan. Usulan dana aspirasi, atau juga disebut dana alokasi dapil, itu dibahas dalam rapat Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan, tetapi tidak semua partai politik sepakat. Ketika ide ini dilontarkan ke publik, publikpun spontan menolaknya.
       Setelah gagal dengan ide dana aspirasi, 4 bulan kemudian Badan Urusan Rumah Tangga menganggarkan pembangunan rumah aspirasi di setiap dapil sebesar Rp. 112 miliar pertahun atau Rp. 200 juta bagi setiap anggota Dewan. Sebagai pembenaran, katanya rumah aspirasi ini merupakan hasil studi banding anggota DPR ke luar negeri. Lagi-lagi mayoritas fraksi di DPR menolak dan meminta Badan Urusan Rumah Tangga DPR meninjau ulang rencana tersebut. Para pengamat menilai anggota Dewan telah dirasuki semangat individual dengan memanipulasi aspirasi rakyat. Publik tentu saja menjadi geram dan menolak mentah-mentah rencana rumah aspirasi tersebut.
          Masyarakat mulai awas dan  mengintai kalau-kalau ada lagi rencana lanjutan para wakil rakyat. Masyarakat pers terus memantau perkembangan politik dan geliat lobby-lobby partai politik. Tiba-tiba saja Pabbicara, wartawan senior salah satu surat kabar nasional mendapat info dari salah seorang korespondennya di Sengkang, Sulawesi Selatan, bahwa di salah satu kecamatan telah dibangun rumah aspirasi. Pabbicara melaporkan hal tersebut kepada pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi bisa saja menugaskan korespondennya untuk melakukan peliputan di sana. Tetapi pemimpin redaksi melihat info ini sebagai berita yang super eksklusif, dan untuk itu ia memerintahkan Pabbicara untuk segera berangkat ke Sengkang dengan membawa serta fotografer handalnya untuk melakukan peliputan dan wawancara mendalam tentang pembangunan rumah aspirasi tersebut.
          Pabbicara tidak menemui kesulitan untuk mendapatkan alamat rumah aspirasi karena ia juga ditemani oleh koresponden yang memberikannya info awal. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya mereka menemukan tempat yang dimaksud. Rumah aspirasi itu terbuat dari kayu berbentuk rumah panggung. Tampak depan sangat mewah karena pintu besarnya terbuat dari kayu jati. Rumah aspirasi tersebut di topang oleh 18 tiang. Di atas pintu utama tertulis jelas, “Aspirasi”. Photografer mulai sibuk memotret rumah aspirasi dari berbagai sudut.
          Pabbicara, photographer dan kurirnya menaiki tangga. Mereka diterima oleh seorang laki-laki hitam, berkumis, dengan wajah yang bersih. Pabbicara menduga pria itu tentu seseorang yang ditugaskan menjaga rumah aspirasi, atau setidak-tidaknya kepala bagian rumah tangga rumah aspirasi. “Assalamu Alaikum,” sapa Pabbicara.
          “Wa Alaikummussalam. Silahkan duduk Pak ! Mungkin ada keperluan yang bisa saya bantu.”
          “Saya Pabbicara, wartawan Ibukota. Kami ingin melakukan peliputan tentang rumah aspirasi ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan di rumah aspirasi ini dan kesempatan wawancara dengan anggota dewan yang telah membangun rumah aspirasi ini. Kami pastikan tulisan tentang ini nantinya sangat ditunggu-tunggu publik.”
          “Saya belum paham maksud kedatangan bapak-bapak ini”
          “Kapan rumah aspirasi ini mulai dibangun, Pak ?” tanya Pabbicara.
          “tepatnya empat bulan yang lalu dan baru selesai minggu kemarin.”
          “Boleh tahu berapa dana yang dihabiskan untuk merampungkan rumah aspirasi ini ?”
          “Kurang lebih Rp. 200 juta termasuk eksterior dan segala perabotan di dalamnya.”
          “Bagaimana proses pencairan dana APBN untuk membangun rumah aspirasi ini?” tanya Pabbicara semakin dalam menyelidiki.
          “Saya tidak mengerti maksud bapak.”
          “Rumah aspirasi ini dibangun dengan biaya APBN kan…?” tanya Pabbicara lebih jauh menginterogasi.
          “Rumah ini saya bangun dengan uang halal dari hasil penjualan tanah warisan orang tua dan hasil usaha saya selama bertahun-tahun,” jawab tuan rumah mulai tersinggung.
          “Ooh Bapak pemilik rumah aspirasi ini. Boleh tahu Bapak siapa?”
          “Saya, Aspirasi…!”
          “Nama Bapak….?” Tanya Pabbicara minta kejelasan
          “Nama saya, Aspirasi. Lengkapnya, dr. Aspirasi Muhammad Nganro”
          “Maaf…..Permisi Pak……Assalamu Alaikum……” ????????????????????


0 komentar:

Posting Komentar