Mungkin masih menarik
Untuk mencatat wacana yang lalu
Sejumlah
wakil rakyat mengusulkan adanya dana aspirasi atau dana fasilitasi pembangunan
sebesar Rp 15 miliar bagi setiap anggota DPR per tahun untuk pembangunan daerah
pemilihan (Kompas, 3-4/6/2010). Ide dana aspirasi itu diadopsi dari
sejumlah negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Filipina, Afrika Selatan,
Swedia, Norwegia, dan Denmark. Dana semacam itu disebut pork barrel atau uang
propaganda pemilihan. Usulan
dana aspirasi, atau juga disebut dana alokasi dapil, itu dibahas dalam rapat
Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Partai Pendukung Pemerintahan, tetapi tidak
semua partai politik sepakat. Ketika ide ini dilontarkan ke publik, publikpun
spontan menolaknya.
Setelah gagal dengan ide dana aspirasi, 4 bulan kemudian Badan Urusan
Rumah Tangga menganggarkan pembangunan rumah aspirasi di setiap dapil sebesar
Rp. 112 miliar pertahun atau Rp. 200 juta bagi setiap anggota Dewan. Sebagai
pembenaran, katanya rumah aspirasi ini merupakan hasil studi banding anggota
DPR ke luar negeri. Lagi-lagi mayoritas fraksi di DPR menolak dan meminta Badan
Urusan Rumah Tangga DPR meninjau ulang rencana tersebut. Para pengamat menilai
anggota Dewan telah dirasuki semangat individual dengan memanipulasi aspirasi
rakyat. Publik tentu saja menjadi geram dan menolak mentah-mentah rencana rumah
aspirasi tersebut.
Masyarakat mulai awas
dan mengintai kalau-kalau ada lagi rencana
lanjutan para wakil rakyat. Masyarakat pers terus memantau perkembangan politik
dan geliat lobby-lobby partai politik. Tiba-tiba saja Pabbicara, wartawan
senior salah satu surat kabar nasional mendapat info dari salah seorang
korespondennya di Sengkang, Sulawesi Selatan, bahwa di salah satu kecamatan
telah dibangun rumah aspirasi. Pabbicara melaporkan hal tersebut kepada
pemimpin redaksi. Pemimpin redaksi bisa saja menugaskan korespondennya untuk
melakukan peliputan di sana. Tetapi pemimpin redaksi melihat info ini sebagai
berita yang super eksklusif, dan untuk itu ia memerintahkan Pabbicara untuk
segera berangkat ke Sengkang dengan membawa serta fotografer handalnya untuk
melakukan peliputan dan wawancara mendalam tentang pembangunan rumah aspirasi
tersebut.
Pabbicara tidak menemui
kesulitan untuk mendapatkan alamat rumah aspirasi karena ia juga ditemani oleh
koresponden yang memberikannya info awal. Setelah bertanya kesana kemari
akhirnya mereka menemukan tempat yang dimaksud. Rumah aspirasi itu terbuat dari
kayu berbentuk rumah panggung. Tampak depan sangat mewah karena pintu besarnya
terbuat dari kayu jati. Rumah aspirasi tersebut di topang oleh 18 tiang. Di
atas pintu utama tertulis jelas, “Aspirasi”. Photografer mulai sibuk memotret rumah aspirasi dari berbagai sudut.
Pabbicara, photographer
dan kurirnya menaiki tangga. Mereka diterima oleh seorang laki-laki hitam, berkumis,
dengan wajah yang bersih. Pabbicara menduga pria itu tentu seseorang yang
ditugaskan menjaga rumah aspirasi, atau setidak-tidaknya kepala bagian rumah
tangga rumah aspirasi. “Assalamu Alaikum,” sapa Pabbicara.
“Wa Alaikummussalam.
Silahkan duduk Pak ! Mungkin ada keperluan yang bisa saya bantu.”
“Saya Pabbicara, wartawan
Ibukota. Kami ingin melakukan peliputan tentang rumah aspirasi ini,
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di rumah aspirasi ini dan kesempatan wawancara
dengan anggota dewan yang telah membangun rumah aspirasi ini. Kami pastikan
tulisan tentang ini nantinya sangat ditunggu-tunggu publik.”
“Saya belum paham maksud
kedatangan bapak-bapak ini”
“Kapan rumah aspirasi ini
mulai dibangun, Pak ?” tanya Pabbicara.
“tepatnya empat bulan yang
lalu dan baru selesai minggu kemarin.”
“Boleh tahu berapa dana
yang dihabiskan untuk merampungkan rumah aspirasi ini ?”
“Kurang lebih Rp. 200 juta
termasuk eksterior dan segala perabotan di dalamnya.”
“Bagaimana proses
pencairan dana APBN untuk membangun rumah aspirasi ini?” tanya Pabbicara
semakin dalam menyelidiki.
“Saya tidak mengerti
maksud bapak.”
“Rumah aspirasi ini
dibangun dengan biaya APBN kan…?” tanya Pabbicara lebih jauh menginterogasi.
“Rumah ini saya bangun
dengan uang halal dari hasil penjualan tanah warisan orang tua dan hasil usaha
saya selama bertahun-tahun,” jawab tuan rumah mulai tersinggung.
“Ooh Bapak pemilik rumah
aspirasi ini. Boleh tahu Bapak siapa?”
“Saya, Aspirasi…!”
“Nama Bapak….?” Tanya
Pabbicara minta kejelasan
“Nama saya, Aspirasi.
Lengkapnya, dr. Aspirasi Muhammad Nganro”
“Maaf…..Permisi
Pak……Assalamu Alaikum……” ????????????????????
0 komentar:
Posting Komentar