REPORTASE PAGI DI AWAL TAHUN 2014

Rabu, 01 Januari 2014


Awal tahun, Rabu, 1 Januari 2014 di ufuk ujung timur cahaya merah saga membias dari balik bukit. Itu adalah tanda bagi burung-burung terbang meninggalkan dahan ranting peristirahatannya, menyapa pagi dengan siulan-siulan riangnya dan gemericik bunyi dedaunan yang tersambar kepakan sayapnya. Sementara ayam dan unggas lainnya sibuk mengais sisa-sisa ikan bakar dan makanan yang tercecer di tanah. Tidak seperti biasanya, kali ini mentari pagi yang wajahnya masih bersembunyi di balik bukit tidak mendengar riuh suara-suara mahluk bumi yang biasa menunggu dan menyambut kehadirannya.

Beberapa menit kemudian mentari pagi mulai menampakkan sepertiga wajahnya menghangatkan pepohonan yang gigil oleh embun. Tetesan embun pada dedaunan tidak sebening biasanya. Permukaan daun yang hijau tampak berwajah kemerah-merahan oleh timpahan serpihan kembang api dan petasan yang semalam berdebat sahut menyahut mengusik kesunyian malam.

Mentari pagi bergerak perlahan dan pasti, merangkak dan beranjak naik menampakkan seluruh wajahnya yang bulat. Matanya membelalak ke sana kemari, menyapu seluruh permukaan bumi, mencari-cari dan tidak menemukan. Wajah mentari pagi memucat mengetahui tak ada yang menyambut kehangatannya. Ia menjadi gelisah, was-was, dan bertanya-tanya.   Adakah ia terlambat hadir ? Atau adakah sesuatu yang berubah pada dirinya. Atau kehangatanku tak lagi diperlukan oleh penghuni bumi. Kekecewaan mentari pagi tampak jelas dari sorot cahayanya yang dingin dan kosong.

“Kemana cahaya akan aku bagikan,” keluh mentari pagi. Cahaya sinar pagi hanya membentur dinding rumah dan tak sanggup menerobos kedalam karena pintu dan jendela tertutup rapat. Di halaman-halaman rumah belum lagi ada pakaian yang terbentang di tiang jemuran menanti hangat sinarku. Jalan-jalan raya legang, bising kendaraan tak terdengar, hanya ada segelintir manusia yang lalu lalang dan lamban tidak seperti hari hari sebelumnya dimana penduduk bumi melintasi jalan dengan tergesa-gesa saling kejar mengejar, dahulu mendahului. Di suatu sudut jalan seorang anak muda berkaos oblong merah tergeletak di trotoar. Tidur ataupun tertidur, ia tamak begitu lelap kelelahan. Wajahnya memerah ketika sinar mentari tepat mendarat di wajahnya. Seharusnya ia terbangun oleh silaunya dan menyadari keberadaan dirinya. Namun ia tampak tak berdaya untuk bangkit memenuhi panggilan mentari. Ia hanya bringsut sedikit membelakangi sinar mentari dan kembali terbaring tak berdaya. Ia rupanya mabuk berat sehabis pesta miras di malam tahun baru.

Sinar mentari begitu sedih melihat cahayanya bermain sendiri di hamparan pada kota yang pagi ini tampak mati. Di lapangan Monumen Nasional dan jalan-jalan protokol di sekitarnya tampak petugas kebersihan kota sibuk membersihkan sampah yang bertebaran. 10 karung sampah yang tersedia sepertinya tidak cukup untuk mengangkat sampah-sampah pesta tahun baru. Beruntunglah beberapa pemulang ikut membantunya memungut botol-botol plastik air mineral dan soft dring, memungut dan melipat kembali surat kabar dimana kabar tentang korupsi di Indonesia masih tercetak utuh di atasnya. Mengumpulkan kantong-kantong plastik yang masih utuh dan atau menemukan benda-benda lain yang masih cukup berharga untuk dijual. Bahkan beberapa diantaranya menemukan perhiasan-perhiasan yang tercecer. Bagi pemulung, pesta tahun baru ini memberi berkah yang lumayan. Ini adalah rezeki yang halal, begitu ucapnya ketika sinar pagi memergokinya memungut sebuah kalung emas di rerumputan.

Sinar pagi seharusnya tahu apa yang terjadi semalam suntuk di kota ini karena sebelum ia berangkat ke pembaringan, di pintu senja ia masih sempat melihat kesibukan warga kota mempersiapkan pestanya. Sinar pagi terus menyapu seluruh kota dengan setumpuk pertanyaan untuk mengobati rasa sedih dan kecewanya tidak disambut seperti biasa. Di sebuah jalan kampung, sinar mentari memberi cahaya yang lebih terik kepada sepasang suami istri yang baru pulang ke rumah di pagi hari. Sinar mentari begitu bahagia melihat senyum sepasang suami istri yang menghitung-hitung penghasilannya menjual minuman dan penganan ringan di pusat keramaian pesta tahun baru. “Sinarku akan menghilangkan segala gigilmu dan kau akan menikmati tidur yang cukup pagi ini,” begitu kata Sinar Mentari memberi hangat pada sepasang suami istri yang berbahagia itu.

Jakarta, 1/1/2014
 

0 komentar:

Posting Komentar