Assalamu Alaikum Wr.Wb.
Semua di antara kita
pernah diam, tetapi kita tak pernah memperhatikan atau mencatat “diam” sebagai
bagian dari jejak hidup, sebahagian dari proses hidup yang kita jalani,
sehingga menganggap “diam” sebagai
sesuatu yang tidak penting untuk disikapi dan juga tidak penting untuk dicatat
sebagai bagian dari sejarah hidup manusia.
Coba perhatikan dan
baca berbagai buku biografi maupun otobiografi tokoh-tokoh, baik tokoh agama,
negarawan, pengusaha, politisi, sastrawan, para penemu dan tokoh-tokoh keilmuan
lainnya, semua hanya berceritera tentang masa-masa hidupnya yang berhubungan
dengan berbuat sesuatu, melakukan sesuatu, memikirkan sesuatu, mengatakan
sesuatu hingga menemukan sesuatu, dan tak satupun yang berbicara soal diamnya.
Seolah-olah mereka tak pernah melakukan aksi diam dalam hidupnya.
Bayangkan bagaimana
hidup kalian tanpa ada waktu untuk diam. Diam adalah bagian dari hidup anda.
Jika anda tidak mencatat diamnya anda, berarti anda mengingkari diam sebagai
diam, dan itu berarti pula anda telah mendiamkan “diam” dalam bicara dan laku
anda.
Saya di atas panggung
inipun mengharapkan bapak-bapak dan ibu-ibu serta hadirin semua dapat diam.
Dengan diam, hadirin semua dapat mendengar dengan baik, dan itu berarti pula
anda telah memberi hak pada telinga anda untuk mendengar dengan baik berkat
toleransi anda untuk diam. Dengan demikian telinga anda dapat lebih fokus
mendengar satu sumber suara. Suara saya, ha ha ha. (tertawa terbahak-bahak)
Jadi selamaya saya berbicara, kalian lebih bijaksana untuk
diam. Tetapi anda akan menjadi tidak respek dan bijak jika mendiamkan saya.
Kalau kalian mendiamkan saya, itu artinya tidak menganggap saya ada. Padahal
adanya saya di panggung ini untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan. Hanya saja,
dalam mendengar, “bisakah kalian, diam ?” (dengan mimik memperingatkan)
(Perlahan-lahan
bergerak mundur dan duduk di sebuah bangku kayu. Bersandar dan
membolak-balikkan naskah teks, tanpa berbicara dan tanpa memperhatikan hadirin)
(Hadirin
mulai riuh dan saling berbincang melihat orator tidak melakukan apa-apa di atas
panggung. Orator kemudian berdiri mendadak, matanya menyapu ke semua hadirin,
menyorongkan wajahnya dan meletakkan jari telunjuk rapat pada kedua bibirnya)
Terimakasih, sekali
lagi terimakasih. Saya bukan presiden yang sedang memimpin siding kabinet,
bukan direktur perusahaan yang sedang memimpin rapat, bukan pula seorang
komandan di hadapan anak buahnya. Saya hanya seorang pembawa acara monolog. (Mulai
bangkit dari tempat duduknya) Jadi saya tidak perlu menunjukkan sikap geram dan
berteriak lantang, “DIAMMMMMM” untuk mendiamkan suara gemuruh tadi.
Saya lebih memilih
bahasa diam untuk mendiamkan……Terbukti diam lebih efektif untuk mendiamkan.
Maafkan sikap saya yang
mendiamkan diri sesaat, tadi. Saya pikir kalian-kalian akan mendiamkan, diamnya
saya. Saya lupa dan tidak membaca diamnya anda, sehingga kalian semua harus
bersuara gemuruh untuk memberi pengertian kepada saya bahwa diamnya kalian
adalah menunggu saya untuk berbicara. Tetapi diam yang terlalu lama, juga akan
menimbulkan tanya. Tanya yang diam.
Kita seringkali
menganggap bahwa diam adalah tidak berbicara. Anggapan itu tentu saja tidak
salah. Dalam diam, orang memang tidak berbicara. Maksudnya tidak berbicara
secara verbal. Namun jika kita telusuri, sesungguhnya dalam diam seseorang
berbicara. Apa yang dibicarakan ? Hanya mereka yang diam yang mengetahui apa
yang ia bicarakan dalam diamnya. Sementara orang-orang di luar dirinya hanya
menganggap bahwa ia didiamkan, lalu mereka-reka apa maksud dari diamnya. Dalam
mereka-reka maksud diam, seseorang sebenarnya berusaha memecahkan teka-teka apa
yang dibicarakan oleh si diam.
Pernah sekali saya
menulis status di akun facebook, begini :
Sejujurnya
aku merinduimu
Karena
itu aku memilih diam
Mengapa
diam kau tafsirkan marah
Dengan
juga memilih untuk diam
Status
itu dikomentari cukup ramai oleh teman-teman. Mereka serius melihat diam
sebagai sesuatu dari sudut pandangnya masing-masing. Sesungguhnya mereka semua
benar, kendati beberapa teman berdiskusi tentang diam dan tidak mempersoalkan
maksud dari status yang aku buat. Namun dari diskusi yang cukup serius itu,
ternyata persoalan diam bisa menimbulkan keriuhan, karena mereka berbicara
tentang diam dan tidak mendiamkan diam sebagai status diam.
Diam
dalam pengertian dan pandangan umum adalah situasi dimana seseorang tidak
melakukan sesuatu dan tidak mengatakan sesuatu, bahkan ketika orang sebenarnya mengharapkan ia melakukan dan/atau
mengatakan sesuatu.
Tetapi
status yang aku contohkan tadi, bukanlah diam sebagaimana pengertian diam yang
aku jelaskan. Melainkan diam sebagai suatu sikap.Sikap diam tentu saja
menimbulkan banyak tafsir, dan memang
bebas untuk ditafsirkan. Apapun penafsiran kita terhadap diam, si diam
tidak akan berbicara untuk memprotesnya, kecuali kau menunjukkan tafsir yang
pasti sehingga si diam terpaksa harus berbicara untuk meluruskan tafsirmu.
Namun dapat saja karena jengkel dengan tafsirmu yang sok tahu, si diam tetap
dalam sikap diamnya dan tidak perduli dengan tafsirmu.
Diam
adalah satu pilihan sikap. Seharusnya kita dapat menghargai pilihan itu. Tetapi
harus diakui bahwa diam adalah situasi yang paling tidak mengenakkan bagi yang
didiamkan. Masalahnya sebenarnya sederhana jika yang didiamkan memahami maksud
dan suasana hati yang diam, sehingga ia dapat mengambil posisi yang tepat
menyikapi “diam”. Barangkali dengan diam sejenak mencari moment yang tepat
untuk mencairkan suasana hati Si Diam, lalu mulai berbicara tenang menjelaskan
hal-hal yang melatarbelakangi diamnya Si Diam, sehingga Si Diam dapat memaklumi
bahwa diamnya Si Diam adalah reaksi emosional karena belum memahami persoalan
secara jelas.
Wow…luar
biasa…Ternyata reaksi emosional manusia dapat juga berupa diam. Oleh karena itu
jika Si Diam didiamkan karena ke-diam-annya, reaksi emosionalnya akan menjadi
lebih tinggi karena ia menganggap orang tidak memahami maksud diamnya.
Saya
sarankan, jika anda menemukan orang yang diam. Diam karena tidak tahu akan
melakukan atau mengatakan apa-apa, atau diam karena sikapnya, maka kita tak
perlu diam untuk diamnya. Berbicaralah agar Si Diam dapat mendiamkan amarahnya
yang tidak jelas. Tetapi itu bukan berarti kalian harus diam setelah membaca tulisan
tentang “diam” ini.
Jakarta, 27 Maret 2014
0 komentar:
Posting Komentar