TAK PERLU DIAM UNTUK SI DIAM

Kamis, 27 Maret 2014


Assalamu Alaikum Wr.Wb.

Semua di antara kita pernah diam, tetapi kita tak pernah memperhatikan atau mencatat “diam” sebagai bagian dari jejak hidup, sebahagian dari proses hidup yang kita jalani, sehingga menganggap “diam”  sebagai sesuatu yang tidak penting untuk disikapi dan juga tidak penting untuk dicatat sebagai bagian dari sejarah hidup manusia.

Coba perhatikan dan baca berbagai buku biografi maupun otobiografi tokoh-tokoh, baik tokoh agama, negarawan, pengusaha, politisi, sastrawan, para penemu dan tokoh-tokoh keilmuan lainnya, semua hanya berceritera tentang masa-masa hidupnya yang berhubungan dengan berbuat sesuatu, melakukan sesuatu, memikirkan sesuatu, mengatakan sesuatu hingga menemukan sesuatu, dan tak satupun yang berbicara soal diamnya. Seolah-olah mereka tak pernah melakukan aksi diam dalam hidupnya.

Bayangkan bagaimana hidup kalian tanpa ada waktu untuk diam. Diam adalah bagian dari hidup anda. Jika anda tidak mencatat diamnya anda, berarti anda mengingkari diam sebagai diam, dan itu berarti pula anda telah mendiamkan “diam” dalam bicara dan laku anda.

Saya di atas panggung inipun mengharapkan bapak-bapak dan ibu-ibu serta hadirin semua dapat diam. Dengan diam, hadirin semua dapat mendengar dengan baik, dan itu berarti pula anda telah memberi hak pada telinga anda untuk mendengar dengan baik berkat toleransi anda untuk diam. Dengan demikian telinga anda dapat lebih fokus mendengar satu sumber suara. Suara saya, ha ha ha. (tertawa terbahak-bahak)

Jadi selamaya  saya berbicara, kalian lebih bijaksana untuk diam. Tetapi anda akan menjadi tidak respek dan bijak jika mendiamkan saya. Kalau kalian mendiamkan saya, itu artinya tidak menganggap saya ada. Padahal adanya saya di panggung ini untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan. Hanya saja, dalam mendengar, “bisakah kalian, diam ?” (dengan mimik memperingatkan)

(Perlahan-lahan bergerak mundur dan duduk di sebuah bangku kayu. Bersandar dan membolak-balikkan naskah teks, tanpa berbicara dan tanpa memperhatikan hadirin)

(Hadirin mulai riuh dan saling berbincang melihat orator tidak melakukan apa-apa di atas panggung. Orator kemudian berdiri mendadak, matanya menyapu ke semua hadirin, menyorongkan wajahnya dan meletakkan jari telunjuk  rapat pada kedua bibirnya)

Terimakasih, sekali lagi terimakasih. Saya bukan presiden yang sedang memimpin siding kabinet, bukan direktur perusahaan yang sedang memimpin rapat, bukan pula seorang komandan di hadapan anak buahnya. Saya hanya seorang pembawa acara monolog. (Mulai bangkit dari tempat duduknya) Jadi saya tidak perlu menunjukkan sikap geram dan berteriak lantang, “DIAMMMMMM” untuk mendiamkan suara gemuruh tadi.
Saya lebih memilih bahasa diam untuk mendiamkan……Terbukti diam lebih efektif untuk mendiamkan.

Maafkan sikap saya yang mendiamkan diri sesaat, tadi. Saya pikir kalian-kalian akan mendiamkan, diamnya saya. Saya lupa dan tidak membaca diamnya anda, sehingga kalian semua harus bersuara gemuruh untuk memberi pengertian kepada saya bahwa diamnya kalian adalah menunggu saya untuk berbicara. Tetapi diam yang terlalu lama, juga akan menimbulkan tanya. Tanya yang diam.

Kita seringkali menganggap bahwa diam adalah tidak berbicara. Anggapan itu tentu saja tidak salah. Dalam diam, orang memang tidak berbicara. Maksudnya tidak berbicara secara verbal. Namun jika kita telusuri, sesungguhnya dalam diam seseorang berbicara. Apa yang dibicarakan ? Hanya mereka yang diam yang mengetahui apa yang ia bicarakan dalam diamnya. Sementara orang-orang di luar dirinya hanya menganggap bahwa ia didiamkan, lalu mereka-reka apa maksud dari diamnya. Dalam mereka-reka maksud diam, seseorang sebenarnya berusaha memecahkan teka-teka apa yang dibicarakan oleh si diam.

Pernah sekali saya menulis status di akun facebook, begini :
Sejujurnya aku merinduimu
Karena itu aku memilih diam
Mengapa diam kau tafsirkan marah
Dengan juga memilih untuk diam

Status itu dikomentari cukup ramai oleh teman-teman. Mereka serius melihat diam sebagai sesuatu dari sudut pandangnya masing-masing. Sesungguhnya mereka semua benar, kendati beberapa teman berdiskusi tentang diam dan tidak mempersoalkan maksud dari status yang aku buat. Namun dari diskusi yang cukup serius itu, ternyata persoalan diam bisa menimbulkan keriuhan, karena mereka berbicara tentang diam dan tidak mendiamkan diam sebagai status diam.

Diam dalam pengertian dan pandangan umum adalah situasi dimana seseorang tidak melakukan sesuatu dan tidak mengatakan sesuatu, bahkan ketika orang  sebenarnya mengharapkan ia melakukan dan/atau mengatakan sesuatu.

Tetapi status yang aku contohkan tadi, bukanlah diam sebagaimana pengertian diam yang aku jelaskan. Melainkan diam sebagai suatu sikap.Sikap diam tentu saja menimbulkan banyak tafsir, dan memang  bebas untuk ditafsirkan. Apapun penafsiran kita terhadap diam, si diam tidak akan berbicara untuk memprotesnya, kecuali kau menunjukkan tafsir yang pasti sehingga si diam terpaksa harus berbicara untuk meluruskan tafsirmu. Namun dapat saja karena jengkel dengan tafsirmu yang sok tahu, si diam tetap dalam sikap diamnya dan tidak perduli dengan tafsirmu.

Diam adalah satu pilihan sikap. Seharusnya kita dapat menghargai pilihan itu. Tetapi harus diakui bahwa diam adalah situasi yang paling tidak mengenakkan bagi yang didiamkan. Masalahnya sebenarnya sederhana jika yang didiamkan memahami maksud dan suasana hati yang diam, sehingga ia dapat mengambil posisi yang tepat menyikapi “diam”. Barangkali dengan diam sejenak mencari moment yang tepat untuk mencairkan suasana hati Si Diam, lalu mulai berbicara tenang menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi diamnya Si Diam, sehingga Si Diam dapat memaklumi bahwa diamnya Si Diam adalah reaksi emosional karena belum memahami persoalan secara jelas.

Wow…luar biasa…Ternyata reaksi emosional manusia dapat juga berupa diam. Oleh karena itu jika Si Diam didiamkan karena ke-diam-annya, reaksi emosionalnya akan menjadi lebih tinggi karena ia menganggap orang tidak memahami maksud diamnya.

Saya sarankan, jika anda menemukan orang yang diam. Diam karena tidak tahu akan melakukan atau mengatakan apa-apa, atau diam karena sikapnya, maka kita tak perlu diam untuk diamnya. Berbicaralah agar Si Diam dapat mendiamkan amarahnya yang tidak jelas. Tetapi itu bukan berarti kalian harus diam setelah membaca tulisan tentang “diam” ini.

Jakarta, 27 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar