DARI COBLOS KE CONTRENG

Selasa, 28 Januari 2014
"Aku poskan kembali 
surat terbuka lima tahun lalu
sebagai rasa hormatku
pada pribadi yang aku kagumi"


Paul J. Amalo
Di Blangpadang Banda Aceh

Salam Sejahtera Bapak Raja.
Kalau tak salah sudah memasuki tahun kedua Bapak bertugas di Banda Aceh. Itu berarti telah setahun lebih kita seng bisa kumpul-kumpul, diskusi, berdebat, saling lempar joke-joke dan ide-ide aneh, spekta yang kita sikapi dengan tertawa terbahak-bahak. Aku rindu dengan suasana seperti itu. Ternyata rindu adalah hak asazi dan tak seorangpun dapat mencegah kerinduanku.

Bapak Raja !
Pemilu legislatif tinggal menghitung hari. Pemilu tahun 2009 ini  disosialisasikan sebagai pemilu contreng, berarti pemilu 2004 kemarin adalah pemilu coblos. ”Coblos” dan ”contreng” bukanlah dua kata yang asing apalagi kata asing. Dua kata tersebut lahir dan tumbuh di bumi Indonesia dan masyarakat umum memahaminya tanpa dijelaskan sekalipun. Jangan mencari tahu tentang kedua kata tersebut, cukup dimengerti dan dilakukan demi suksesnya demokrasi. Mengapa ? kalau anda mencari tahu, maka anda tidak akan mendapatkan jawaban yang pasti, karena kedua kata tersebut tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus Indonesia – Inggris, Kamus Indonesia – Belanda, dan kamus-kamus lainnya.

Bapak Raja !
Aku tidak tahu bagaimana proses dan suasana kebatinan para wakil rakyat dalam berolah kata sehingga melahirkan kata ”coblos”, yang berarti tusuk sampai tembus. Kalau kata ”tusuk” saja belum tentu sampai tembus, kata ”tembus” juga tidak mewakili maksud coblos, seperti, kaca tembus pandang atau tembus cahaya yang tidak merusak kaca. Kata ”tikam” tentu berkonotasi negatif. Kata ”lubangi” terlalu sederhana untuk melukiskan aktivitas politik sesaat yang menghabiskan milyaran rupiah. Sudahlah. Memang hanya ”coblos” yang bisa mewakili maksud tindakan penentuan pilihan, walapun kata tersebut tidak terdapat dalam bahasa Indonesia yang baku. Anggap saja ”coblos” telah memperkaya khasanah kata Bahasa Indonesia dan kelak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Bapak Raja !
”Coblos” telah menjadi bangkai demokrasi walaupun ia masih hidup dalam benak publik. Coblos telah berganti nama menjadi contreng. Sebenarnya bukan keinginan coblos untuk diganti, bukan pula keinginan contreng untuk mengganti. Baik kata yang diganti maupun kata yang mengganti, kedua-duanya bukanlah kata yang punya hak hidup dalam Kamus Lengkap bahasa Indonesia. Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia hanya ada kata ”conteng” yang berarti tanda garis tebal dengan arang atau jelaga. Mengapa kata ”conteng” berubah menjadi ”contreng” ? Apa maksud sisipan huruf R pada contreng ? Barangkali R itu adalah inisial dari ”rakyat”. Jadi contreng adalah rakyat yang menconteng calon wakil rakyat.

Jangan bingung Bapak ! Memang hanya orang-orang yang peduli pada Bahasa bangsanya saja yang dibuat bingung oleh kesalahkaprahan, kesalahserapan dan beribu-ribu kesalahan berbahasa. Sementara rakyat yang peduli dengan nasibnya hanya menerima kata ”contreng” sebagai sesuatu yang mesti mereka lakukan demi suksesnya pesta demokrasi.

Bapak Raja !
Dari semua celoteh di atas kita mengharapkan ada pakar bahasa yang mau menjelaskan dan meluruskan semua hal keliru yang dilakukan elite bangsa dan yang terpaksa ikut diamini oleh rakyat. Saya hanya mencatat satu hal bahwa anggota dewan ternyata tidak hanya berhak membuat undang-undang, mengawasi eksekutif, mengatur alokasi anggaran negara, tetapi juga diberi hak melahirkan kata tanpa pendampingan pakar bahasa.


Tanjung Priok, 16 Maret 2009
Hormat,
Bung Komar

SIAPA

Sabtu, 25 Januari 2014
Siapa gerangan dikau
menyembunyikan tangisan
di balik kata germis dan embun.

Siapa gerakangan dikau
mengungkap kerapuhan
lewat daun dan ranting kering

Siapa gerangan dikau
membungkus kesedihan dan kesusahan
dengan selimut kabut dan pekat

Siapa gerangan dikau
mengeluhkan beban
dengan badai dan gelombang

Siapa gerangan dikau
merasa telanjang
tanpa bahasa alam.


Jakarta, 25/1/2014

SEPENGGAL CERITERA KETIKA TSUNAMI MENGHANTAM ACEH (2)

Kamis, 23 Januari 2014

Sepulang dari Aceh aku berniat membayar lunas semua kelelahan badan dan pikiran  yang terkuras habis di tengah bencana tsunami di Aceh dengan menikmati tidur sepuas-puasnya. Tetapi niat itu tak pernah mampu kubayar lunas. Ada saja hal-hal lain yang mengganggu istirahatku. Keluarga yang datang silih berganti mengucapkan syukur karena aku masih selamat betul-betul menyita waktuku. Setiap kali mereka datang, mereka meminta aku berceritera tentang pengalaman tragis yang aku alami. Mereka begitu antusias mendengar  segala perih, penderitaan dan pengalamanku, tetapi mereka tidak tahu betapa aku tersiksa harus menceriterakan itu berulang-ulang kepada mereka. Aku tidak mempersalahkan keingintahuan mereka, tetapi mereka juga harus memahami kondisi kejiwaanku. Bayangkan dalam satu hari kadang aku harus menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Kadang timbul di pikiranku untuk merekam ceritera itu dan membagi-bagikan kepada mereka yang datang untuk menengok dan mendengar ceriteraku.

Tidur pada malam haripun aku selalu terganggu dan terbangun. Setiap kali istriku bergerak aku langsung kaget dan terbangun seolah-olah sedang terjadi gempa. Mendengar suara tikus di atas flafonpun aku bisa langsung terperanjat dan bangun. Sungguh sulit untuk mendapatkan tidur yang betul-betul nyenyak. Aku mengalami semacam traumatis tetapi tidak sampai mengganggu keseimbangan jiwaku. Aku bahkan pernah sekali dua kali terkaget dari bangun dan langsung berteriak ketika bencana tsunami itu hadir kembali sebagai ranjau-ranjau tidur.

Selama tiga hari sejak ke pulangan dari Aceh aku tidak pernah merasakan makan yang enak dan nyaman. Aku tidak lagi bisa makan dengan mempergunakan tangan, padahal makan dengan tangan itu bagiku merupakan cara bersantap yang paling nikmat tanpa alat bantu sendok maupun garpu. Bagaimana aku bisa makan dengan mempergunakan tangan jika aku masih merasa bahwa tanganku masih berbau mayat. Walaupun aku mencoba mencuci tangan dengan sabun sebelum makan, tetap saja aku masih merasa adanya bau mayat melekat pada kedua telapak tanganku.

Aku tahu istri dan anak-anak merasakan ada hal yang kurang pada diriku pasca bencana tsunami itu. Biasanya anak-anak enggan untuk menyapa dan menggangguku ketika berada di depan laptop atau sedang membaca buku, majalah maupun koran. Sekarang ini anak-anak sering merapat dan menceriterakan banyak hal kejadian-kejadian yang mereka alami di sekolah untuk memancingku tersenyum atau tertawa. Kadang-kadang di saat menonton televisi yang masih saja berisi berita-berita tentang tsunami, mereka tiba-tiba mengajak bermain kartu remi dan mematikan televisi. Aku tahu semua itu mereka lakukan untuk aku.



Sebenarnya kantor tempat aku bekerja memberikan dispensasi kepadaku untuk beristirahat selama seminggu untuk memulihkan traumatis. Kadang-kadang istri dan anak-anak mengajakku menonton di bioskop 21, tetapi dasar aku memang tidak begitu hobby menonton di bioskop, hanya sekali-sekali saja permintaan mereka aku turuti. Selebihnya aku menikmati bacaan-bacaan yang sengaja dibelikan oleh anak lelakiku di toko loakan sebagai teman mengisi liburan. Pada masa liburan itu pulalah aku sempat mengurus kembali Kartu Tanda Penduduk (KTP), SIM, kartu Askes, dan tetek bengek urusan perbankan dan kartu-kartu kepegawaian.

Setelah istirahat seminggu, senin kedua Januari 2005 aku mulai masuk kerja. Aku sudah berketetapan hati untuk tidak lagi menceriterakan pengalaman-pengalamanku di Aceh. Aku sungguh lelah menceriterakan hal yang sama berulang-ulang. Di kantor aku lebih senang mengurung diri, tetapi teman-teman tetap saja datang berkunjung ke ruanganku. Rupanya kegelisahanku terbaca oleh pimpinan. Sesmenko kemudian mengadakan acara syukuran atas keselamatan tim yang bertugas di Aceh pada waktu tsunami. Dalam kesempatan syukuran tersebutlah, Bapak Wagimin sebagai ketua tim dan yang lebih dituakan menceriterakan segala apa yang kami alami di aceh pada saat tsunami dan pasca tsunami di hadapan teman-teman karyawan Kemenko Polhukam. Alhamdulillah dengan demikian aku tidak lagi direpotklan untuk menceriterakan hal yang sama karena semua karyawan telah mendengar ceritera lengkapnya.

Dua tahun Kemudian

            Dua tahun telah berjalan. Tampak semua telah berjalan normal kembali. Saat itu akan sedang menjalani masa pendidikat Diklat PIM III. Menjelang akhir pendidikan aku mendapat kabar bahwa aku akan ditugaskan menangani proyek Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh untuk tahun 2007 dan seterusnya mengganti pemegang proyek sebelumnya. Aku sungguh paling tidak senang pekerjaan yang berurusan dengan uang. dari pengalaman berorganisasi hanya satu pekerjaan yang tidak pernah aku tangani adalah menjadi bendahara atau tugas-tugas lain berhubungan dengan mengelola anggaran. Namun karena ini sudah menjadi keputusan pimpinan tanpa meminta persetujuanku, terpaksa aku jalani. Aku minta waktu untuk menyelesaikan pendidikan diklat PIM III-ku.

            Aku ditugaskan sebagai verifikator, sedangkan Ketua Satkernya adalah Bapak Wagimin dan Bendaharanya adalah sdr. Zulhan sementara Kepala proyeknya tetap dipegang oleh Bapak Harry Kadir. Kebetulan teman diklatku ada yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepadanya aku bertanya banyak hal tentang tugas verifikator dan konsekuensi-konsekuensi apa saja yang bisa menjerat dan menjerumuskannya. Tugas tim di Aceh adalah untuk membantu rehabilitasi aceh dengan memajukan kelompok-kelompok masyarakat melalui bantuan sosial sekaligus berperan membangun dan menjaga perdamaian Aceh. 


Dompetku Kembali Lagi
           
Setelah dua bulan di Aceh, ada seorang gadis, namanya Nur Hasanah mencari-cari diriku. Ia bertanya ke sana kemari, dan akhirnya bertanya di mess Polhukam yang dulu dimana saya tidak bertempat tinggal di sana lagi. Dari sana ada seorang bekas supir, namanya Bambang mengantarkan gadis itu menemuiku di kantor Satker Polhukam di Kuta Alam.

            Gadis itu menyalami dan mencium tanganku. ”Nama saya Nur Hasanah. Saya yang terdampar di mess Bapak waktu tsunami. Maaf pak, saya yang telah mengambil dompet bapak. Saya tak punya siapa-siapa lagi. Waktu itu saya sungguh khilaf. Saya hanya berpikir bagaimana caranya melanjutkan hidup dan mengobati luka-luka di kaki saya.”

            ”Bagaimana kau bisa mengenali nama saya ? dan mengapa baru sekarang, setelah dua tahun berlalu kau mencari saya.” tanyaku ingin menggali ceriteranya.

            ”Saya tahu nama bapak dari KTP di dompet ini. Maaf pak. baru sekarang saya dapat mengumpulkan uang untuk mengganti uang di dompet bapak yang saya ambil.”

            ”Ini sudah dua tahun berlalu. Mengapa timbul di pikiranmu untuk mencari saya dan mengembalikan uang itu.”

            ”Selama dua tahun itu hidup saya tidak tenang, Pak. Nama bapak selalu menghantui hidup saya, dan saya tidak akan pernah hidup tenang sebelum mengembalikan dompet bapak,” katanya sambil menyodorkan dompet yang warna dan bentuknya tidak berubah.

            Sudah tiga kali ia menyodorkan dompet itu kepada. ”Jadi kau ingin mengembalikan duit dan dompet saya ? Mana duitnya ? tanyaku.        Ia mengambil duit dari tas kecilnya dan menyodorkan kepadaku bersama dompetnya. ”Jumlahnya berapa ?” tanyaku tanpa menyentuh dompet dan uang yang ia sodorkan.

            ”Satu juta lima puluh ribu rupiah, Pak.”

            Tepat. ku hafal betul jumlah duit di dompetku saat itu. ”sekarang apa yang kau kerjakan ?”

            ”Saya kuliah Pak.”

            ”Sudah semester berapa ?”

            ”Semester akhir. Saya sedang menyusun skripsi, Pak.”


            Beruntung duit yang ia sodorkan itu tak pernah kusentuh. Bayangkan kalau duit yang jumlah cukup besar itu ada dalam genggamanku, mungkin aku berpikir seribu kali untuk melepaskannya. Padahal aku ingat betul bahwa aku telah mengikhlaskan dompet dan duit itu jika memang diambil oleh orang. ”Begini, nak...!” tiba-tiba aku memanggilnya anak. ”Sebenarnya waktu kehilangan itu, aku telah mengikhlaskannya. Jadi sekarang, pergunakanlah uang itu untuk biaya penyusunan skripsimu. Dompet itupun telah kuikhlaskan dan semua surat-surat di dalammya telah bapak ganti dengan yang baru. Jadi, kalau kau tidak keberatan berikanlah dompet itu dengan keikhlasan yang sama kepadaku untuk aku jadikan kenang-kenangan.”

            Ia menyerahkan dompetnya dan mencium  tanganku. Aku melihat ada dua embun mengkristal di kedua pelupuk matanya. Aku hanya menepuk dan mengusap pundaknya sebagai tanda sayang dan bangga pada kepribadian dan kejujurannya. Kalau saja watak dan moralis pejabat negeri ini dapat seperti sikap Nur Hasanah yang selalu gelisah memegang uang yang bukan haknya. Subhanallah negeri ini akan di ridhoi Allah Azza Wa Jalla.



Episode selanjutnya, 
”Kutemukan anak angkatku yang cantik 
dan menggagas panggung sosialisasi”

CANDU

Rabu, 22 Januari 2014
Di meja kerja
selalu hadir kekasihku
kusediakan tempat istimewa
lengkap dengan pemantik birahi

Setiap kali aku ingin bercinta
kuraba dan kuremas lembut tubuhnya
kukobarkan bara di ujung hasratnya
lalu kukepit dan kukecup
berulang dan berulang kali
hingga kabut menyembur
dan bermain-main di mataku.

Zulkomar, 22/1/2014

HANYA KITA

Selasa, 21 Januari 2014

Yang saling bertemu
hanya kita
Yang saling memperhatikan
hanya kita
yang saling tertarik
hanya kita
yang saling menerima
hanya kita
mengijab dan mengkabul
hanya kita
Dalam bilik asmara
hanya kita
Pada peraduan
hanya kita
pada malam
hanya kita
membenih dan menyemai
hanya kita
Kau dan aku
hanya kita
Dimanapun kau
Dimanapun aku
selalu menyatu
Karena kau dan aku
telah menjadi kita

Zulkomar, 22/1/2014

MARI BINGUNG MENCARI KESALAHAN



Di setiap musim penghujan banjir dapat terjadi di mana-mana. Siapapun tahu kapan waktu musim penghujan dan setiap orang sudah memperkirakan bahwa setiap hujan deras berkepanjangan akan menimbulkan banjir. Masalahnya, bagaimana kita mengatasi agar banjir tidak sampai menjadi bencana besar yang merugikan banyak pihak dan melumpuhkan banyak aktivitas.

Banjir di berbagai daerah sudah terbiasa kita dengar dan dampak kerusakannya tidak begitu signifikan. Mereka di daerah sudah terbiasa mengalami dan mengatasi banjir. Lain ceritera jika Jakarta yang kebanjiran, Beritanya akan menjadi isu nasional dan biasanya menjadi komoditas politik. Orang nomor satu di DKI biasanya naik ke tampuk kekuasaan dengan menghantam incumbent dengan isu-isu kemacetan dan banjir yang tidak berhasil mereka atasi, kendati para penggantinya pun nanti tidak dapat mengatasi pula. Begitulah banjir di Jakarta dari tahun ke tahun. Begitulah kemacetan di Jakarta dari tahun ke tahun.

Siapa yang mau kita tuding sebagai penyebab kebanjiran ini ? Tentu saja tidak boleh kita persalahkan hujan yang deras, karena dari tahun ke tahun hujan deras memang terjadi di setiap musim penghujan. Tentu saja tidak tepat juga mempersalahkan karena Jakarta berada di dataran rendah dan Bogor berada di dataran tinggi. Dari dulu juga Bogor berada di dataran tinggi jadi sudah menjadi hukum alam jika curah hujan di dataran tinggi terkirim ke dataran rendah di Jakarta. Jadi jangan pernah mempersalahkan alam karena alam punya hukumnya sendiri. Lalu siapa yang patut kita persalahkan ? Apakah pihak swasta dan konglomerat yang yang membangun gedung bertingkat dan menanam beton-beton di perut bumi sehingga mengurangi resapan air. Apakah kesalahan masyarakat yang tidak disiplin membuang sampah sembarangan yang dapat membuat hambatan aliran air dan banjir setempat. Atau memang pemerintah dan pemerintah daerah yang tidak mampu mengatasi persoalan banjir dari ke tahun dengan berdalih bahwa kesalahan-kesalahan dasar telah dilakukan oleh pendahulunya.

Siapa yang berwenang menangani masalah banjir dan siapa yang bertanggungjawab atas bencana banjir. Setiap berbicara kewenangan, setiap pihak merasa dialah yang paling berwenang menangani dan karena itu patut diberi wewenang dan anggaran pendukungnya. Tetapi setiap kali berbicara tanggungjawab terhadap bencana banjir maka setiap pihak akan menyalahkan pihak yang lain. Kalaupun semua dianggap bertanggungjawab maka yang lainlah yang lebih bertanggungjawab. Begitulah, setiap pihak bersedia mengambil wewenang tetapi tidak bersedia bertanggungjawab dan dipersalahkan.
Akhirnya bangsa ini akan sampai pada satu lingkaran pengelakan diri dan penudingan pada yang lain. Sehingga situasi dan keadaan dalam masyarkat tiba pada kondisi, jangan pernah persalahkan yang salah, karena yang salah tentu saja  akan membela diri. Cara si salah membela diri adalah dengan menyalahkan yang lain, karena selalu harus ada yang salah. Padahal yang lain tentu saja tidak bersalah karena ia adalah pihak lain dari masalah. Yang lain menjadi bersalah karena ia dipersalahkan oleh yang membuat kesalahan, setidak-tidaknya salah dalam mempersalahkan orang lain.

Lalu siapa yang salah ? Jangan tanyakan pada mereka yang bersalah, karena mereka yang bersalah akan menjadikan hal yang salah tersebut menjadi demikian rumit dan berputar-putar sebagaimana putaran banjir yang mencari tempat kosong dan terendah. Sungguh malang siapapun yang menjadi rendah dan atau direndahkan karena ia hanya akan menjadi pusaran terakhir sebuah kesalahan yang diperbincangkan oleh mereka-mereka yang bersalah.

Sebenarnya dimana kesalahan itu ? 
Kalau anda menemukannya, Itu suatu kebetulan. 
Entahlah…mungkin tulisan ini juga sebuah kesalahan, 
karena sampai akhir tulisan 
saya tidak temukan titik kebenarannya. 
Mari kita bingung bersama.

Jakarta, 21/1/2014