AWAL
PENCAHARIAN
Suma mendengar ceritera ibunya
dengan perhatian yang besar, terutama pada bagian pengeluaran harta bagi
fisabilillah. Ia mulai berpikir kalau ayahnya mempunyai piutang begitu banyak
mengapa ia harus menderoita, menjual kue dan hidup miskin ? tapi kep[ada siapa
ia harus menagih piutang ayahnya ? Kepada Tuhan ? Dimana keeradaannya dan
bagaimana cara menagihnya ?
“Apakah ada bukti-bukti tertulis
tentang piutang itu ?” tanya Suma pada ibunya.
Tanpa berkata-kata Ibu suma pergi
mengambil kunci dan membuka koper kaleng yang ada dibawah ranjang. Ia keluarkan
bertumpuk-tum[uk kuitansi dan catatan catatan pengeluaran. Suma meneliti
surat-surat berharga itu dan yakin bahwa dengan menunjukkannya Tuhan tidak akan
mungkir dan akan segera membayarnya. Srkarang ia bertekad akan mencari dan
menagih Tuhan.
“Kita sangat berhutang budi pada
Ustadz Fahmi. Dimana beliau menetap sekarang, bu ?”
“Kalau kau bermaksud ingin
menemuinya pergilah ke masjid di kompleks perumahan di sebelah kampung ini.
Dulu, kita juga pernah memiliki rumah persis di hadapan masjid, tetapi sekarang
rumah itu sudah terjual. Ibi piker tempat ini juga cukup layak,” jawab ibunya
menjelaskan.
Setelah sholat subuh Suma pamit pada
ibunya untuk menemui Ustadz Fahmi. Secara diam-diam ia masukkan beberapa
pakaian dan kuitansi-kuitansi ke dalam tas ransel. “Saya berangkat, bu !”
“Sampaikan salam dan terimakasih ibu
pada Ustadz Fahmi,” kata ibunya seraya mengusap rambut Suma.
Ustadz Fahmi sedikit heran. Ada apa
bocah kecil ini mencarinya. Setelah Suma memperkenalkan diri dan menceriterakan
sedikit tentang ayahnya, barulah Ustadz Fahmi mengenal bahwa Suma adalah putra
tunggal dr. Hendra. “Ada keperluan apa, nak? Barangkali bapak bisa membantumu,”
tanya Ustadz Fahmi.
“Ustadz ! Almarhum ayah saya yang
tidak pernah saya lihat sejak lahir mempunyai piutang yang begitu banyak.
Kuitansi dan catatan-catatan pengluarannya lengkap di sini,” kata Suma
menunjukkan ransel di punggungnya.
“lalu ?”
“Saya sekarang membutuhkan duit, dan
saya ingin utang itu dibayar sekarang.”
“Bapak tidak pernah betrhutang pada
ayahmu, tetapi kalau kau membutuhkan uang bapak akan membantumu sedapatnya,”
kata Ustadz Fahmi sambil mencoba mengingat-ingat jasa dr. Hendra.
“bukan Ustadz yang berhutang, tetapi
Tuhan. Jadi Tuhanlah yang akan aku tagih,” jawab Suma menjelaskan.
Ustadz Fahmi tercengang. Baru
pertama kalinya ia mendengar sesrorang akan menagih Tuhan. Belum lagi ia sempat
berkata, kedengaran lagi anak itu menyambung.
“bukankah setiap kali kita memberi
uang untuk fisabilillah itu berarti memberi pinjaman pada Allah ?”
“Benar, nak.”
“bukankah Allah akan membayarnya
utangnya dengan berlipat ganda?”
“Benar.”
“Saya butuh uang. Saya ingin dibayar
sekarang. Tidak usah berlipat ganda cukup satu dibayar satu saja.”
“Nak ! Tuhan pasti membayar
hutangNya dan berlipat ganda. Kau tinggal menunggu. Kapan Doia akan membayarnya
tidak seorangpun yang tahu.”
“Saya ingin kepastian Ustadz.”
“Tidak ada yang dapat memastikan,
nak !”
“Saya membutuhkan biaya untuk
sekolah. Ibu sudah tua dan tidak dapat mencari nafkah lagi.”
“bersabar dan berdoalah!” kata
Ustadz Fahmi menenangkan hati Suma.
“Ustadz cukup tunjukkan saja dimana
Tuhan berada ? Biar saya saja sendiri yang akan menjumpai dan menagihNya,” kata
Suma bersikeras.
“Anakku,” kata Ustad Fahmi dengan
ibah “Aku sendiri tidak tahu dimana Tuhan berada.”
“Baiklah akan kucari sendiri.
Assalamu Alaikum…” Pamit Suma tanpa menunggu jawaban Ustadz Fahmi.
Bersambung......
0 komentar:
Posting Komentar