SUMA MENAGIH TUHAN (8)

Senin, 05 Juni 2017


AWAL PENCAHARIAN

            Suma mendengar ceritera ibunya dengan perhatian yang besar, terutama pada bagian pengeluaran harta bagi fisabilillah. Ia mulai berpikir kalau ayahnya mempunyai piutang begitu banyak mengapa ia harus menderoita, menjual kue dan hidup miskin ? tapi kep[ada siapa ia harus menagih piutang ayahnya ? Kepada Tuhan ? Dimana keeradaannya dan bagaimana cara menagihnya ?

            “Apakah ada bukti-bukti tertulis tentang piutang itu ?” tanya Suma pada ibunya.

            Tanpa berkata-kata Ibu suma pergi mengambil kunci dan membuka koper kaleng yang ada dibawah ranjang. Ia keluarkan bertumpuk-tum[uk kuitansi dan catatan catatan pengeluaran. Suma meneliti surat-surat berharga itu dan yakin bahwa dengan menunjukkannya Tuhan tidak akan mungkir dan akan segera membayarnya. Srkarang ia bertekad akan mencari dan menagih Tuhan.

            “Kita sangat berhutang budi pada Ustadz Fahmi. Dimana beliau menetap sekarang, bu ?”

            “Kalau kau bermaksud ingin menemuinya pergilah ke masjid di kompleks perumahan di sebelah kampung ini. Dulu, kita juga pernah memiliki rumah persis di hadapan masjid, tetapi sekarang rumah itu sudah terjual. Ibi piker tempat ini juga cukup layak,” jawab ibunya menjelaskan.

            Setelah sholat subuh Suma pamit pada ibunya untuk menemui Ustadz Fahmi. Secara diam-diam ia masukkan beberapa pakaian dan kuitansi-kuitansi ke dalam tas ransel. “Saya berangkat, bu !”

            “Sampaikan salam dan terimakasih ibu pada Ustadz Fahmi,” kata ibunya seraya mengusap rambut Suma.

            Ustadz Fahmi sedikit heran. Ada apa bocah kecil ini mencarinya. Setelah Suma memperkenalkan diri dan menceriterakan sedikit tentang ayahnya, barulah Ustadz Fahmi mengenal bahwa Suma adalah putra tunggal dr. Hendra. “Ada keperluan apa, nak? Barangkali bapak bisa membantumu,” tanya Ustadz Fahmi.


            “Ustadz ! Almarhum ayah saya yang tidak pernah saya lihat sejak lahir mempunyai piutang yang begitu banyak. Kuitansi dan catatan-catatan pengluarannya lengkap di sini,” kata Suma menunjukkan ransel di punggungnya.

            “lalu ?”

          “Saya sekarang membutuhkan duit, dan saya ingin utang itu dibayar sekarang.”

            “Bapak tidak pernah betrhutang pada ayahmu, tetapi kalau kau membutuhkan uang bapak akan membantumu sedapatnya,” kata Ustadz Fahmi sambil mencoba mengingat-ingat jasa dr. Hendra.

            “bukan Ustadz yang berhutang, tetapi Tuhan. Jadi Tuhanlah yang akan aku tagih,” jawab Suma menjelaskan.

            Ustadz Fahmi tercengang. Baru pertama kalinya ia mendengar sesrorang akan menagih Tuhan. Belum lagi ia sempat berkata, kedengaran lagi anak itu menyambung.

            “bukankah setiap kali kita memberi uang untuk fisabilillah itu berarti memberi pinjaman pada Allah ?”

            “Benar, nak.”

            “bukankah Allah akan membayarnya utangnya dengan berlipat ganda?”

            “Benar.”

            “Saya butuh uang. Saya ingin dibayar sekarang. Tidak usah berlipat ganda cukup satu dibayar satu saja.”

            “Nak ! Tuhan pasti membayar hutangNya dan berlipat ganda. Kau tinggal menunggu. Kapan Doia akan membayarnya tidak seorangpun yang tahu.”

            “Saya ingin kepastian Ustadz.”

            “Tidak ada yang dapat memastikan, nak !”

            “Saya membutuhkan biaya untuk sekolah. Ibu sudah tua dan tidak dapat mencari nafkah lagi.”

            “bersabar dan berdoalah!” kata Ustadz Fahmi menenangkan hati Suma.

            “Ustadz cukup tunjukkan saja dimana Tuhan berada ? Biar saya saja sendiri yang akan menjumpai dan menagihNya,” kata Suma bersikeras.

            “Anakku,” kata Ustad Fahmi dengan ibah “Aku sendiri tidak tahu dimana Tuhan berada.”

            “Baiklah akan kucari sendiri. Assalamu Alaikum…” Pamit Suma tanpa menunggu jawaban Ustadz Fahmi.

Bersambung......

0 komentar:

Posting Komentar