SUMA MENAGIH TUHAN (10)

Rabu, 07 Juni 2017


BUNG KONDANG YANG KAYA RAYA

            Bung kondang berjalan-jalan untuk melihat dan memeriksa jalannya perusahaan dan keadaan para karyawannya. Ia melintasi deretan gudang-gudang yang kokoh di sepanjang pantai. Sejenak ia berdiri mematung memandangi hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Ia kembali membayangkan bagaimana mula pertama ia membangun perusahaannya hingga mencapai tingkat seperti sekarang. Tiba-tiba dari belokan ia ditegur oleh seorang anak yang tampaknya sangat bersungguh sungguh.



            “Pak, tolong tunjukkan dimana Tuhan berada?”

            Bung Kondang berhenti, menoleh dan mengamati si penanya. Seumur hidupnya baru kali ini ia mendapat pertanyaan yang demikian. “Kamu tanyakan dimana Tuhan berada? tanya Bung Kondang mengulang pertanyaan Suma.

            “Benar pak.”

            “Apa keperluanmu dengan Tuhan?”

“Aku akan menagih piutangku.”

“Berapa banyak hutang Tuhan padamu?”

            “Sesuai janjiNya yang akan membayar berlipat ganda, seharusnya banyak sekali,” jawab Suma meyakinkan.

            Bung Kondang bertanya bagaiaman Tuhan sampai berhutang, dan suma menjelaskan segala apa yang telah dilakukan oleh Almarhum ayahnya. Ia juga menunjukkan semua dokumen dan kuitansi bukti pengeluaran ayahnya. Bung Kondang akhirnya maklum bahwa anak ini telah memahami isi Al Qur’an dengan cara yang kurang tepat.

            Bung Kondang merangkul pundak Suma dan membimbingnya berjalan di sepanjang gudang. “Anak muda, seluruh gudang ini adalah milikku, atau amanat Allah yang dipercayakan padaku untuk mengelolanya. Pada mulanya saya ini hanya seorang kuli pengangkut barang dari perahu ke gudang. Saya berhemat dan menyimpan sebahagian pendapatan saya.”

            Seterusnya Bung Kondang menceriterakan bahwa pemilik gudang sebelumnya terkena mudibah dan membutuhkan uang. Ia memberikan uang simpanannya dan menjadikan mereka sebagai partner usaha. Bahkan Bung Kondang diangkat sebagai anak, karena si pemilik gudang tidak mempunyai keluarga. Ketika si pemilik gudang meninggal, ia memberikan seluruh hak waris kepada Bung Kondang. Dengan kerja keras gudang yang tadinya hanya satu sekarang telah berderet di sepanjang pantai ini.

            Kemudian Bung Kondang menunjukkan perahu-perahu kapal miliknya yang terhampar di pantai. “Semua itu milik saya,” kata Bung Kondang.

            “Apa resepnya pak sehingga berkah berlimpah kepada Bapak?” tanya Suma penuh kekaguman.

            “Ini adalah karena infak. Baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang, aku tetap berinfak. Dan ini adalah bentuk pembayaran Allah pada pinjamanku selama ini. Bagaimana kalau hutang Tuhan yang ingin kau tagih, aku bayar sekarang,” tawar Bung Kondang dengan serius.

            Suma melepaskan rangkulan tangan Bung Kondang. “oh, tidak Pak. Aku tidak mau menerima bayaran dari seseorang yang bukan meminjam uangku. Saya sudah mendengar penjelasan Bapak, tetapi masalah saya dengan Tuhan lain. Tuhan tidak mungkin berbohong dengan ayat-ayatNya,” kata Suma ketus. “Permisi. Saya mau melanjutkan perjalanan.”

            “Tunggu dulu, nak,” kata Bung Kondang berusaha menahan Suma. “Tampaknya tekadmu betul betul sudah bulat,” kata Bung Kondang menepuk-nepuk pundak Suma. “Kalau begitu. Jika kau menjumpai Tuhan, tolong katakana bahwa ada seorang hartawan yang senantiasa mengeluarkan zakat hartanya, bersedekah pada fakir miskin dan berinfak di jalan Allah, tetapi ia tyidak dapat tidur nyenyak dan tidak dapat meradakan nikmatnya makanan.”

Bersambung ......
 

0 komentar:

Posting Komentar