BUNG KONDANG YANG KAYA RAYA
Bung
kondang berjalan-jalan untuk melihat dan memeriksa jalannya perusahaan dan
keadaan para karyawannya. Ia melintasi deretan gudang-gudang yang kokoh di
sepanjang pantai. Sejenak ia berdiri mematung memandangi hasil kerja kerasnya
selama bertahun-tahun. Ia kembali membayangkan bagaimana mula pertama ia
membangun perusahaannya hingga mencapai tingkat seperti sekarang. Tiba-tiba
dari belokan ia ditegur oleh seorang anak yang tampaknya sangat bersungguh
sungguh.
“Pak,
tolong tunjukkan dimana Tuhan berada?”
Bung Kondang
berhenti, menoleh dan mengamati si penanya. Seumur hidupnya baru kali ini ia
mendapat pertanyaan yang demikian. “Kamu tanyakan dimana Tuhan berada? tanya Bung
Kondang mengulang pertanyaan Suma.
“Benar
pak.”
“Apa
keperluanmu dengan Tuhan?”
“Aku akan menagih piutangku.”
“Berapa banyak hutang Tuhan padamu?”
“Sesuai
janjiNya yang akan membayar berlipat ganda, seharusnya banyak sekali,” jawab
Suma meyakinkan.
Bung
Kondang bertanya bagaiaman Tuhan sampai berhutang, dan suma menjelaskan segala
apa yang telah dilakukan oleh Almarhum ayahnya. Ia juga menunjukkan semua
dokumen dan kuitansi bukti pengeluaran ayahnya. Bung Kondang akhirnya maklum
bahwa anak ini telah memahami isi Al Qur’an dengan cara yang kurang tepat.
Bung Kondang
merangkul pundak Suma dan membimbingnya berjalan di sepanjang gudang. “Anak
muda, seluruh gudang ini adalah milikku, atau amanat Allah yang dipercayakan
padaku untuk mengelolanya. Pada mulanya saya ini hanya seorang kuli pengangkut
barang dari perahu ke gudang. Saya berhemat dan menyimpan sebahagian pendapatan
saya.”
Seterusnya
Bung Kondang menceriterakan bahwa pemilik gudang sebelumnya terkena mudibah dan
membutuhkan uang. Ia memberikan uang simpanannya dan menjadikan mereka sebagai
partner usaha. Bahkan Bung Kondang diangkat sebagai anak, karena si pemilik
gudang tidak mempunyai keluarga. Ketika si pemilik gudang meninggal, ia
memberikan seluruh hak waris kepada Bung Kondang. Dengan kerja keras gudang
yang tadinya hanya satu sekarang telah berderet di sepanjang pantai ini.
Kemudian
Bung Kondang menunjukkan perahu-perahu kapal miliknya yang terhampar di pantai.
“Semua itu milik saya,” kata Bung Kondang.
“Apa
resepnya pak sehingga berkah berlimpah kepada Bapak?” tanya Suma penuh
kekaguman.
“Ini
adalah karena infak. Baik dalam keadaan susah maupun dalam keadaan senang, aku
tetap berinfak. Dan ini adalah bentuk pembayaran Allah pada pinjamanku selama
ini. Bagaimana kalau hutang Tuhan yang ingin kau tagih, aku bayar sekarang,”
tawar Bung Kondang dengan serius.
Suma
melepaskan rangkulan tangan Bung Kondang. “oh, tidak Pak. Aku tidak mau
menerima bayaran dari seseorang yang bukan meminjam uangku. Saya sudah
mendengar penjelasan Bapak, tetapi masalah saya dengan Tuhan lain. Tuhan tidak
mungkin berbohong dengan ayat-ayatNya,” kata Suma ketus. “Permisi. Saya mau
melanjutkan perjalanan.”
“Tunggu
dulu, nak,” kata Bung Kondang berusaha menahan Suma. “Tampaknya tekadmu betul
betul sudah bulat,” kata Bung Kondang menepuk-nepuk pundak Suma. “Kalau begitu.
Jika kau menjumpai Tuhan, tolong katakana bahwa ada seorang hartawan yang
senantiasa mengeluarkan zakat hartanya, bersedekah pada fakir miskin dan
berinfak di jalan Allah, tetapi ia tyidak dapat tidur nyenyak dan tidak dapat
meradakan nikmatnya makanan.”
Bersambung ......
0 komentar:
Posting Komentar