MEREKA HANYA BICARA DAN TERUS BERBICARA

Minggu, 20 Oktober 2013
Sebuah Kritik atas Program Indonesia Lawyers Club


Kita memiliki dua telinga dan satu mulut agar dapat mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara. Namun karena mulut kita jauh lebih besar dari liang telinga, maka orang lebih banyak berbicara daripada mendengar. Akibatnya mereka selalu mengatakan sesuatu tentang dirinya tetapi jarang mau mendengar prihal orang lain. Ia ingin menjadikan dirinya pusat perhatian orang tetapi tidak mau memperhatikan orang. Kalau tabiat seperti ini menjangkiti elite bangsa, itu sama saja ia kembali ke dunia anak-anak. Lihatlah dunia anak-anak yang suka berbicara. Mereka berbicara tentang apapun kendati ia tidak paham dengan apa yang ia bicarakan, bahkan kadang ia memaksa orang tuanya untuk mendengar apapun yang ia bicarakan. Dunia anak sungguh dunia bicara.

Ada fenomena bahwa elite bangsa ini juga mulai dijangkiti dunia bicaranya anak-anak.
Sudahkah kalian tonton tayangan televisi kebangggan bangsamu ? Dimana  ratingnya yang terus menerus beranjak naik. Pengelola pertelevisian jarang mau berpikir soal dampak tayangan. Mereka membiarkan dampak menjadi persoalan masyarakat. Industri tayangan terus berkreasi soal keuntungan. Berkreasi untuk mencuri waktu-waktu penting kita, dan atas nama pendidikan dan pencerdasan, kitapun terkunci pada ruang malas berpikir.

Coba lihat, perhatikan dan dengar di segmen Indonesia lawyers Club mereka bersilat lidah. Berbagai profesi hadir sebagai tukang ngomong. Mereka tampil dengan embel-embel akademik dan kepakaran. Semua ingin berbicara dan semua ingin didengar. Mereka berbicara tajam mengatasnamakan bangsanya. Tapi kata-kata yang meluncur dari tarian mulutnya, adalah suara kepentingan pribadi, titipan kelompok atau golongan. Mereka bisa demikian vokal membela ini dan itu. Tentu saja agar mereka yang dibela. tidak merasa rugi menggelontorkan rupiah.

Omongan dimana-mana, interupsi bertalu-talu. Gemuruh suara bagai deru knalpot kendaraan ibukota. Di depan kotak kaca kita tersenyum dan berdecak kagum akan betapa pandainya mereka berbicara. Hasil apa yang diberikan buat bangsa ? Tidak ada…..ya…tidak ada. Mereka hanya berbicara dan setelahnya selesai. Apakah penonton menjadi lebih cerdas ? yang ada penonton menjadi semakin bingung tentang kebenaran.

Lihat, dengar, dan simak celoteh cerdas mereka. Mereka berbicara banyak soal kisruh PSSI. PSSI tetap kisruh. Mereka berbicara soal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Korupsi tumbuh subur di lingkungan mereka. Mereka prihatin soal gang motor dan peradilan jalanan. Tetapi mereka sah-sah saja mengadili lawan politiknya. Mereka menyoroti kebijakan badan anggaran. Padahal mereka adalah bagian dari kebijakan itu. Mereka berbicara tegas soal penegakan hukum. Sementara mereka bermain-main dengan hukum. Mereka berbicara soal kemiskinan dan kondisi bangsa. Sementara mereka sibuk memperkaya diri.

Begitu banyak kata-kata yang berseliweran dalam ruang ver-AC, Sampai tidak tahu lagi apa saja yang sudah mereka katakan. Antara kebenaran dan kebohongan tak lagi bertirai.
Bagaimana mungkin semua tampak sebagai kebenaran, Jika suara-suara perdebatan itu penuh pertentangan. Jangan-jangan semua suara adalah kebohongan, sehingga yang diperoleh oleh pemirsa adalah kumpulan kebohongan yang dibungkus dalam kemasan kebenaran. Sehingga ketika bungkus kebenaran terbuka, maka berhamburanlah kebohongan. Bagaimana tidak..! Semua hal mereka bicarakan. Tak satupun yang mereka selesaikan. Menurut mereka, urusan selesainya sebuah persoalan bukan pada mereka yang berbicara, tetapi pada mereka yang mendengar.

Aku di sini merenung dalam. Aku merindukan pemimpin yang diam karena berpikir. Kalaupun berbicara, ia hanya berbicara tentang hal-hal yang ia dengar. Ini pernah aku saksikan dalam suatu Rapat Paripurna. Pemimpin rapat duduk di tengah-tengah peserta rapat. Bukan pada kursi di ujung meja sebagaimana lazimnya tempat duduk pemimpin rapat. Saya baru tahu bahwa beliau pemimpin rapat ketika beliau mempersilahkan peserta rapat berbicara. Setiap peserta rapat berbicara sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya masing-masing. Sepanjang rapat, pemimpin rapat hanya mendengar, menyimak dan sekali-sekali mencatat. Setiap peserta rapat diberi kesempatan untuk berbicara, dan sepanjang rapat berlangsung, pemimpin rapat memposisikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Pada sesi terakhir barulah pemimpin rapat memberi kesempatan pada dirinya untuk berbicara, dan pembicaraan yang disampaikan adalah kesimpulan dan langkah-langkah penyelesaian tentang hal-hal yang didengarnya

Warga bangsa ini memang diberi hak untuk berbicara oleh konstitusi, Tetapi kalau hanya berbicara dan terus berbicara, kapan waktu untuk berbuat. Sementara mereka yang perlu berbuat juga akan terganggu karena dipaksa untuk mendengar. Kita tahu bahwa penyakit si pembicara adalah menuntut orang untuk mendengar dan membenarkan pembicaraannya. Padahal pembicaraan para doyan bicara tidak pernah menyatu dalam solusi. Oleh karena itu, kadang diperlukan sebuah peringatan :

BERHENTILAH BERBICARA....!

BERI KESEMPATAN KAMI BERPIKIR.

0 komentar:

Posting Komentar