Kita memiliki dua telinga dan satu mulut
agar dapat mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara. Namun karena
mulut kita jauh lebih besar dari liang telinga, maka orang lebih banyak berbicara
daripada mendengar. Akibatnya mereka selalu mengatakan sesuatu tentang dirinya
tetapi jarang mau mendengar prihal orang lain. Ia ingin menjadikan dirinya
pusat perhatian orang tetapi tidak mau memperhatikan orang. Kalau tabiat
seperti ini menjangkiti elite bangsa, itu sama saja ia kembali ke dunia
anak-anak. Lihatlah dunia anak-anak yang suka berbicara. Mereka berbicara
tentang apapun kendati ia tidak paham dengan apa yang ia bicarakan, bahkan
kadang ia memaksa orang tuanya untuk mendengar apapun yang ia bicarakan. Dunia anak sungguh dunia bicara.
Ada fenomena bahwa elite bangsa ini juga
mulai dijangkiti dunia bicaranya anak-anak.
Sudahkah kalian tonton tayangan televisi
kebangggan bangsamu ? Dimana ratingnya
yang terus menerus beranjak naik. Pengelola pertelevisian jarang mau berpikir
soal dampak tayangan. Mereka membiarkan dampak menjadi persoalan masyarakat. Industri tayangan terus berkreasi soal
keuntungan. Berkreasi untuk mencuri waktu-waktu penting kita, dan atas nama
pendidikan dan pencerdasan, kitapun terkunci pada ruang malas berpikir.
Coba
lihat, perhatikan dan dengar di segmen Indonesia lawyers Club mereka
bersilat lidah. Berbagai profesi hadir sebagai tukang ngomong. Mereka tampil
dengan embel-embel akademik dan kepakaran. Semua ingin berbicara dan semua
ingin didengar. Mereka berbicara tajam mengatasnamakan bangsanya. Tapi
kata-kata yang meluncur dari tarian mulutnya, adalah suara kepentingan pribadi,
titipan kelompok atau golongan. Mereka bisa demikian vokal membela ini dan itu.
Tentu saja agar mereka yang dibela. tidak
merasa rugi menggelontorkan rupiah.
Omongan dimana-mana, interupsi
bertalu-talu. Gemuruh suara bagai deru knalpot kendaraan ibukota. Di depan
kotak kaca kita tersenyum dan berdecak kagum akan betapa pandainya mereka berbicara.
Hasil apa yang diberikan buat bangsa ? Tidak ada…..ya…tidak ada. Mereka hanya
berbicara dan setelahnya selesai. Apakah penonton menjadi lebih cerdas ? yang
ada penonton menjadi semakin bingung tentang kebenaran.
Lihat, dengar, dan simak celoteh cerdas
mereka. Mereka berbicara banyak soal kisruh PSSI. PSSI tetap kisruh. Mereka
berbicara soal pencegahan dan pemberantasan korupsi. Korupsi tumbuh subur di
lingkungan mereka. Mereka prihatin soal gang motor dan peradilan jalanan. Tetapi
mereka sah-sah saja mengadili lawan politiknya. Mereka menyoroti kebijakan
badan anggaran. Padahal mereka adalah bagian dari kebijakan itu. Mereka
berbicara tegas soal penegakan hukum. Sementara mereka bermain-main dengan
hukum. Mereka berbicara soal kemiskinan dan kondisi bangsa. Sementara mereka
sibuk memperkaya diri.
Begitu banyak kata-kata yang berseliweran
dalam ruang ver-AC, Sampai tidak tahu lagi apa saja yang sudah mereka katakan. Antara
kebenaran dan kebohongan tak lagi bertirai.
Bagaimana mungkin semua tampak sebagai
kebenaran, Jika suara-suara perdebatan itu penuh pertentangan. Jangan-jangan
semua suara adalah kebohongan, sehingga yang diperoleh oleh pemirsa adalah
kumpulan kebohongan yang dibungkus dalam kemasan kebenaran. Sehingga ketika
bungkus kebenaran terbuka, maka berhamburanlah kebohongan. Bagaimana tidak..! Semua
hal mereka bicarakan. Tak satupun yang mereka selesaikan. Menurut mereka, urusan
selesainya sebuah persoalan bukan pada mereka yang berbicara, tetapi pada
mereka yang mendengar.
Aku di sini merenung dalam. Aku merindukan
pemimpin yang diam karena berpikir. Kalaupun berbicara, ia hanya berbicara
tentang hal-hal yang ia dengar. Ini pernah aku saksikan dalam suatu Rapat Paripurna. Pemimpin rapat duduk
di tengah-tengah peserta rapat. Bukan pada kursi di ujung meja sebagaimana
lazimnya tempat duduk pemimpin rapat. Saya baru tahu bahwa beliau pemimpin
rapat ketika beliau mempersilahkan peserta rapat berbicara. Setiap peserta rapat berbicara sesuai
dengan bidang tugas dan fungsinya masing-masing. Sepanjang rapat, pemimpin rapat hanya mendengar,
menyimak dan sekali-sekali mencatat. Setiap peserta rapat diberi kesempatan
untuk berbicara, dan sepanjang rapat berlangsung, pemimpin rapat memposisikan
dirinya sebagai pendengar yang baik. Pada sesi terakhir barulah pemimpin rapat
memberi kesempatan pada dirinya untuk berbicara, dan pembicaraan yang
disampaikan adalah kesimpulan dan langkah-langkah penyelesaian tentang hal-hal
yang didengarnya
Warga bangsa ini memang diberi hak untuk
berbicara oleh konstitusi, Tetapi kalau hanya berbicara dan terus berbicara,
kapan waktu untuk berbuat. Sementara mereka yang perlu berbuat juga akan
terganggu karena dipaksa untuk mendengar. Kita tahu bahwa penyakit si pembicara
adalah menuntut orang untuk mendengar dan membenarkan pembicaraannya. Padahal pembicaraan para doyan bicara
tidak pernah menyatu dalam solusi. Oleh karena itu, kadang diperlukan sebuah
peringatan :
BERHENTILAH BERBICARA....!
0 komentar:
Posting Komentar