Saudaraku, Philips Turandy…!
Rasanya baru sebulan lebih aku
tinggalkan tanah Papua, tapi kerinduanku untuk berkumpul mulai menagih. Aku
teringat bagaimana kita makan papeda bersama, sementara saudara-saudara kita
yang lain menyaksikan penuh selera, padahal di hadapannya telah tersedia nasi
panas dan ikan gurame goreng. Mereka tentu bertanya-tanya bagaimana nikmatnya
papeda, tetapi mereka tidak bertanya dan kitapun tidak menjelaskan. “Mereka seharusnya mencoba, agar bisa merasa,”
itu kata-katamu.
Aku juga teringat bagaimana kita menikmati air kata-kata (bir kaleng) di
terasmu. Matamu merah, wajah hitammu juga mulai memerah dan kau masih berusaha
membuka kaleng lainnya. Aku menahan tanganmu dan kita saling tatap. “Kita minum
untuk bersenang-senang. Nikmatilah sekedarnya, jangan sampai kita mabuk
dibuatnya. Bagaimana kita bisa menikmati kesenangan ini kalau kita mabuk,” itu
kata-kataku. Terimakasih kasih kau mau mendengar. Kita saudara sebangsa memang wajib
untuk saling mengingatkan. Beberapa kali hal itu sudah kita lakukan
bersama.
Saudaraku….!
Tetaplah fokus membangun
kehidupanmu, menyekolahkan anak-anakmu. Tuhan telah memberikan hamparan bumi ini untukmu dan untuk kita semua. Jangan
biarkan dirimu larut dalam kegalauan karena kehadiran para pendatang. Mereka
adalah saudaramu yang dapat kau jadikan partner dan guru. Aku ingat daerah
asalku, suatu perkampungan di jazirah Sulawesi Selatan. Suatu kabupaten yang dikarunia
berlimpah hasil bumi. Masyarakatnya hidup berkecukupan sandang dan pangan. Alam
begitu memanjakan masyarakatnya sehingga membuat mereka malas bekerja. Namun
seiring berjalannya waktu, para pendatang masuk dan mengajarkan kami bagaimana
mengelola hasil bumi sehingga dapat memberi nilai tambah, bukan hanya sekedar
untuk konsumsi masyarakat. Para pendatang pula yang mengajarkan kami bagaimana
cara berniaga, bagaimana menjadikan rotan tidak hanya sekedar tali pengikat
tetapi juga menjadi furniture, bagaimana menjadikan tanah liat menjadi batu
bata, dan bagaimana mengambil bagian penting dalam setiap geliat pembangunan.
Saudaraku….!
Ingatlah….! Negara kita begitu besar. Jangan pula kita kecilkan dengan
membentuk negara dalan negara. Pace tentu masih ingat waktu kita duduk minum
kopi di bawah pohon rindang di depan kantor Gubernur Papua. Pohon besar itu
memberikan kita perlindungan dari teriknya mentari. “lihatlah akar-akarnya begitu besar tampak di permukaan tanah. Coba kita
bayangkan bagaimana akar-akar pohon itu mencengkeram dan merambati tanah untuk
mencari air dan makanan, sehingga batangnya dapat kokoh berdiri dan tinggi
menjulang. Dari batang yang kokoh tumbuh banyak cabang. Dari setiap cabangnya
tumbuh cabang-cabang lainnya yang setiap saat menjadi semakin kuat. Dari
setiap cabangnya tumbuh ranting-ranting. Dari ranting-ranting tumbuh
ranting-ranting kecil lainnya. Dari ranting-ranting kecil ini tumbuhlah daun
yang rimbun yang memberikan kita perlindungan dan keteduhan. Ranting-ranting
itu ada yang bertempat di bawah, di tengah dan di atas sehingga daun yang
dihasilkan berlapis-lapis. Ranting-ranting itu ada yang berdekatan bahkan
bersinggungan, tetapi lebih banyak ranting-ranting yang saling berjauhan dan
menjauh. Bagaimana mendekatkan dan menyatukan ranting-ranting itu. ?”
“Ranting-ranting itu sudah
menyatu dalam pohon,” jawabmu ketika itu.
“Jawaban sekenanya tapi mengena.
Betul saudaraku. Ranting-ranting itu punya cara yang sederhana untuk dekat dan
menyatu. Setiap ranting merasa sadar dan sadar merasa bahwa mereka berasal dari
batang pohon yang sama.”
“Papua ini berbeda, Daeng”
Aku suka setiap kali kau menyapa
dengan sebutan, Daeng sebagaimana aku bahagia menyapamu dengan, Pace. “Kita berbeda setiap kali berpikir
berbeda. Kita akan sama setiap kali kita berpikir sama. Saudara kembar selalu
menemukan perbedaan jika ia mencari-cari perbedaannya. Sementara kita berdua
menemukan banyak persamaan. Ingatlah apa kata Ernest Renant, bangsa hakikatnya
lahir dari masyarakat yang memiliki kesamaan di banyak hal, dan melupakan
banyak hal yang berbeda. Masyarat Indonesia lahir dari dua entitas besar, yaitu
keberagaman dan keberagamaan. Wajar jika ada kecenderungan untuk saling
menonjolkan identitas masing-masing. Asalkan jangan menganggap diri paling
berharga dan yang lainnya menjadi berbeda”
Saudaraku…Philips Turandy
Bukankah kita sudah sepakat bahwa pilihannya hanya ada dua, kita ingin beda
atau kita ingin sama. Kalau kita ingin beda, maka kita akan mengingkari
fakta-fakta tentang kesamaan kita. Kalau kita ingin sama, marilah kita lupakan
hal-hal kecil yang berbeda.
Lihatlah bagaimana saudara-saudara kita yang berusaha mematahkan
ranting-ranting. Mereka coba mengumpulkan dan menyatukan ranting-ranting patah
dalam ikatan yang mereka labeli dengan berbagai argumen. Waktu berjalan, waktu
memberi pelajaran, dan waktu membuktikan bahwa ranting-ranting yang sengaja
mereka patahkan itu lama kelamaan hanya akan menjadi ranting-ranting kering
yang menjadi kerontang dan lapuk dimakan tanah. Sejarah akan terus bergerak,
dan sipematah ranting masih akan terus bermunculan. Inilah mungkin dinamika
berbangsa yang harus kita lalui. Kita boleh saja bersedih dengan kondisi
seperti itu, tapi percayalah bangsa yang besar ini akan merangkul warganya, dan
mereka yang keliru akan menemukan jalan kembali yang terbaik. Sementara kita yang
tidak punya kuasa, cukuplah berdoa agar ranting-ranting NKRI tetap kokoh pada
cabang dan batangnya.
Saudaraku…..!
Jika saudara-saudaramu menyerukan “merdeka”. Sambutlah seruan ini dengan
mengatakan, “Setiap hari kami merayakan kemerdekaan ini dengan bersyukur. Kami
merdeka untuk berbicara, kami merdeka bekerja dan mencari nafkah, kami merdeka
untuk mengecap pendidikan, kami merdeka berinteraksi dengan saudara-saudara
kami dari berbagai daerah, kami merdeka untuk bertempat tinggal dimana saja di
wilayah Indonesia ini, kami merdeka menduduki jabatan penting dalam negara ini
melalui proses demokrasi yang disepakati bersama.”
Saudaraku…Philips Turandy…!
Selalulah kabarkan diri dan
lingkunganmu agar kami juga mengabarkan banyak hal di sini.
Hormat kasih.
Bung Komar
0 komentar:
Posting Komentar