Kemarin, 29 Oktober 2013, saya menghadiri sebuah diskusi publik dengan tema. "Pengaruutamaan Gender" . Pembicaraan yang tidak fokus dan melebar kemana-mana. Pembicara wanita dan pria seperti saling serang dengan argumennya masing-masing. Dan pada akhir diskusi publik tidak ada kesimpulan kunci yang dapat diambil. Dan semua peserta kembali dengan tanyanya masing-masing. Kembali ke rumah, saya menuliskan sebuah diskusi ringan 7 tahun yang lalu.
Dalam
suatu dialog publik di LPP TVRI Banda Aceh di pertengahan bulan September 2006,
dalam program acara, “Duek Besamo” yang diadakan oleh BRR, Satker Kemenko
Polhukam, mengangkat tema, “Peran Wanita Dalam Kancah Politik” dengan
menghadirkan tiga orang nara sumber dan saya sebagai penanggap. Saya sudah lupa
bagaimana awalnya, tiba-tiba diskusi beralih pada soal kesetaraan gender.
Dua
pembicara yang kebetulan seorang wanita menuntut perlunya suatu gerakan bukan
hanya dari kalangan wanita, tetapi juga dari kalangan pria untuk sama-sama
memperjuangkan adanya kesetaraan antara lelaki dan wanita baik dalam mengelola
negara maupun mengelola kehidupan di wilayah domestik, karena kultur budaya di
Indonesia tidak memberi ruang yang cukup bagi wanita untuk berkembang.
Sementara pembicara lain dari kaum adam berbicara seputar kodrat wanita sebagai
seorang ibu bagi anak-anaknya, dan istri bagi suaminya serta segala konsekuensi
yang menyertai kedua peran tersebut. Tentu saja diskusi menjadi demikian hangat
hingga dialog publik berakhir tanpa kesimpulan.
Pembicara
wanita yang kebetulan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Banda
Aceh mengeluhkan bahwa hasil ujian mata kuliahnya ternyata menunjukkan bahwa
nilai akademik laki-laki jauh lebih baik dibandingkan wanita. Apakah itu satu
indikator bahwa lelaki jauh lebih pandai dibandingkan wanita? Ibu Dosen itu
tidak menerima kebenaran asumsi tersebut. Hasil ujian itu betul betul
mengganggu pikirannya. Ia tahu betul bahwa ia memberikan perhatian yang sedikit
lebih kepada mahasiswinya di setiap sesi perkuliahannya.
Untuk
menjawab gangguan pikirannya, Ibu dosen itu melakukan penelitian kecil-kecilan
di suatu kelurahan dengan melibatkan beberapa mahasiswanya. Tidak kurang 100
kuisioner disebar. Kuisioner berisi 20 pertanyaan dengan daftar jawaban yang
telah tersedia. Setelah melakukan coding data, maka ditemukan satu kesimpulan
bahwa minat baca lelaki jauh lebih tinggi dibandingkan minat baca wanita. Ibu dosen
itu masih dihantui pertanyaan, mengapa minat baca lelaki jauh lebih tinggi
dibandingkan wanita. Jawaban dalam kuisioner tidak memberikan jawaban apa-apa,
namun ada asumsi-asumsi yang perlu pembuktian.
Akhirnya
Ibu Dosen melakukan penelitian lanjutan di lokasi yang sama dengan melibatkan
mahasiswa yang sama, tentu saja dengan materi kuisioner yang berbeda. 100
kuisioner di sebar serentak selama dua hari. Setelah melakukan coding data,
maka ditemukanlah suatu kesimpulan yang miris tetapi memuaskan hatinya.
Ternyata telah terjadi ketidakadilan peran dalam wilayah domestik (Dalam
lingkungan rumah tangga). Waktu wanita terlalu banyak tersita untuk berbagai
pekerjaan di wilayah domestic sehingga hampir tidak punya waktu untuk membaca.
Jangankan untuk membaca teks book atau buku-buku lain, menikmati surat kabar
harianpun mereka tidak lagi sempat. Sementara lelaki memiliki waktu yang cukup
banyak untuk membaca di wilayah domestik. Bahkan pada pagi hari ketika wanita
sibuk mempersiapkan segala sesuatu di dapur, kaum lelaki dengan santainya
membaca surat kabar ditemani secangkir kopi yang dibuat oleh wanita.
Terimakasih infonya, salam hangat dari PEMBICARA WANITA