Bujuk Diri Sendiri Untuk Tidak Korupsi

Minggu, 20 Oktober 2013
Korupsi memiliki sejarah yang sangat panjang  beriringan dengan perkembangan peradaban manusia. Di Indonesia sendiri korupsi telah terjadi sejak zaman kerajaan. Bahkan VOC mengalami kebangkrutan pada abad ke-20 akibat korupsi yang merajalela di tubuh organisasinya. Setelah proklamasi kemerdekaan dimana para petinggi Belanda kembali ke negaranya, kaum pribumi pegawai pemerintah Belanda (amtenar) yang tumbuh dan terbina di lingkungan korup pada masa kolonial mengisi kekosongan tersebut. Kebiasaan korupsi yang terpelihara tersebut berlanjut hingga masa pemerintahan Orde Lama. Di awal Pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto telah melakukan berbagai langkah untuk memberantas korupsi, namun kita ketahui pula bahwa kejatuhan Soeharto tidak lain salah satunya karena isu korupsi yang merajalela di pemerintahannya.

            Gelombang reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa berhasil menurunkan Soeharto yang sekaligus sebagai tanda berakhirnya sistem otoriter Orde Baru. Mahasiswa menyampaikan enam tuntutan yang salah satunya adalah ciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai tindaklanjut tuntutan gerakan reformasi, pada tahun 1998, MPR menetapkan Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN. Tap MPR inilah yang menjadi landasan berbagai undang-undang dan regulasi ikutannya untuk memberantas korupsi.

            Jangan tanyakan kepada siapapun hasilnya, karena semua jawaban akan bernada sama, yaitu kekecewaan. Tetapi itu bukanlah alasan untuk berhenti mencari terobosan dan formula-formula baru untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Rasa frustrasi publik bukannya tanpa alasan. Tengok saja betapa gejala penyakit korupsi di Indonesia telah begitu kronis bahkan berlangsung secara sistematis di semua lini. Apakah korupsi telah membudaya atau telah menjadi budaya di Indonesia ? Saya tidak berani mengatakan bahwa korupsi adalah budaya., Mengapa ? Karena saya  sama tidak beraninya menjuluki para koruptor sebagai budayawan.

            Selama ini kita telah diperlihatkan melalui media massa bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil menciduk para koruptor kelas kakap dari pejabat publik, anggota parlemen, politisi handal, dan pengusaha besar yang selama ini jarang tersentuh hukum. Namun koruptor bukannya berkurang, malah tampak gejala selalu saja lahir koruptor-koruptor baru.          Bangsa ini memang perlu sebuah gerakan jangka panjang dan terencana untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Atas pertimbangan itu pula pemerntah mengeluarkan Inpres no. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Sebagai tindaklanjutnya telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Salah satu strateginya adalah Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi (PBAK) sebagai bagian dari usaha melembagakan dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi bagi penyelenggara negara. Jika pada awal tulisan kita tidak setuju menyebut korupsi sebagai budaya bangsa, mengapa ada strategi budaya anti korupsi ? Sebenarnya Budaya Anti Korupsi bukanlah sebuah budaya. Budaya Anti Korupsi hanyalah sebuah bungkus yang diterminologikan dimana di dalamnya berisi budaya transparansi, budaya disiplin, budaya kejujuran, dan budaya cinta serta peduli pada negara.

            Untuk menanamkan Budaya Anti Korupsi, maka perlu dilakukan melalui aktivitas informasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai transparansi, disiplin, kejujuran secara terencana, konsepsional dan berkesinambungan. Dalam rangka penyusunan strategi komunikasi tersebut maka perlu terlebih dahulu mengukur persepsi korupsi aparatur negara dalam suatu ikatan instansional untuk menentukan tujuan dan sasaran komunikasi yang akan diterapkan.

            Tampaknya, hampir di semua kementerian/lembaga menerapkan strategi komunikasi dengan pola menyarankan (suggest), memotivasi (motivating), dan membujuk (persuasif) penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Lihatlah berbagai slogan anti korupsi terpampang dimana-mana. Mulai dari baliho dan spanduk spanduk besar di jalan dan halaman-halaman kementerian/lembaga, banner-banner di sudut-sudut trategis lalu lalangnya para pegawai, running slogan di videotron dan situs-situs kementerian, serta seruan-seruan di berbagai media cetak.

            Muyu Dg. Pabarrang, salah seorang pegawai kementerian, eselon IV dan kebetulan dipercaya sebagai Pemegang komitmen (Pimpinan  Proyek) bertanya-tanya dalam hati setiap kali membaca slogan anti korupsi. “Sesungguhnya siapa menyarankan siapa ? Siapa memotivasi siapa ?, dan siapa membujuk siapa ?” Siapa yang menyarankan dan siapa yang disarankan ? Siapa yang memotivasi dan siapa yang dimotivasi ? Siapa yang membujuk dan siapa yang dibujuk ?”  Rentetan pertanyaan itu terus saja berulang dan berputar dalam labirin yang tak pernah selesai di benak Muyu Dg. Pabarrang.

            Pada puncak gelisah dalam renungan panjangnya di sepertiga malam, Muyu Dg. Pabarrang berketetapan hati bahwa untuk menghindari prilaku korupsi maka seseorang harus menyarankan, memotivasi, dan membujuk dirinya sendiri untuk tidak korupsi. Slogan-slogan anti korupsi tidak hanya menjadi sekedar slogan yang habis dalam kata-kata. Bahasa slogan seharusnya mampu membakar jiwa dan menjadikannya sebagai Kristal nilai-nilai budaya bangsa.

Keesokan harinya, di depan meja Muyu Dg. Pabarrang terpampang tulisan dibawah  kaca pelamis meja, “Mengapa aku Dipercaya sebagai Pemegang Komitmen?” dengan tanda Tanya besar. Lalu dibawahnya tertulis dengan huruf Kapital yang lebih besar, “TUHAN SEDANG MENGUJIKU.” Semenjak itu, Muyu mulai dapat mengendalikan diri untuk memahami bahwa anggaran yang dikelolanya adalah uang negara yang ditujukan untuk pembangunan bangsanya. Bukannya tidak sering ia mendapat masukan dan godaan hadiah dari rekan-rekannya, pengguna anggaran, dan rekanan. Tetapi Muju dengan sederhana hanya mengatakan, “Lebih baik berkeringat mengumpul recehan, dari pada berkeringat di ruang pengadilan.” 

0 komentar:

Posting Komentar