Korupsi memiliki sejarah yang sangat panjang beriringan dengan perkembangan peradaban
manusia. Di Indonesia sendiri korupsi telah terjadi sejak zaman kerajaan.
Bahkan VOC mengalami kebangkrutan pada abad ke-20 akibat korupsi yang
merajalela di tubuh organisasinya. Setelah proklamasi kemerdekaan dimana para
petinggi Belanda kembali ke negaranya, kaum pribumi pegawai pemerintah Belanda
(amtenar) yang tumbuh dan terbina di lingkungan korup pada masa kolonial
mengisi kekosongan tersebut. Kebiasaan korupsi yang terpelihara tersebut
berlanjut hingga masa pemerintahan Orde Lama. Di awal Pemerintahan Orde Baru,
Presiden Soeharto telah melakukan berbagai langkah untuk memberantas korupsi,
namun kita ketahui pula bahwa kejatuhan Soeharto tidak lain salah satunya
karena isu korupsi yang merajalela di pemerintahannya.
Gelombang reformasi yang dipelopori
oleh mahasiswa berhasil menurunkan Soeharto yang sekaligus sebagai tanda
berakhirnya sistem otoriter Orde Baru. Mahasiswa menyampaikan enam tuntutan
yang salah satunya adalah ciptakan pemerintahan yang bersih dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sebagai tindaklanjut tuntutan gerakan reformasi,
pada tahun 1998, MPR menetapkan Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan bebas KKN. Tap MPR inilah yang menjadi landasan berbagai
undang-undang dan regulasi ikutannya untuk memberantas korupsi.
Jangan tanyakan kepada siapapun
hasilnya, karena semua jawaban akan bernada sama, yaitu kekecewaan. Tetapi itu
bukanlah alasan untuk berhenti mencari terobosan dan formula-formula baru untuk
mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Rasa frustrasi publik bukannya
tanpa alasan. Tengok saja betapa gejala penyakit korupsi di Indonesia telah begitu
kronis bahkan berlangsung secara sistematis di semua lini. Apakah korupsi telah
membudaya atau telah menjadi budaya di Indonesia ? Saya tidak berani mengatakan bahwa korupsi adalah budaya., Mengapa ?
Karena saya sama tidak beraninya
menjuluki para koruptor sebagai budayawan.
Selama ini kita
telah diperlihatkan melalui media massa bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) telah berhasil menciduk para koruptor kelas kakap dari pejabat publik,
anggota parlemen, politisi handal, dan pengusaha besar yang selama ini jarang
tersentuh hukum. Namun koruptor bukannya berkurang, malah tampak gejala selalu
saja lahir koruptor-koruptor baru. Bangsa
ini memang perlu sebuah gerakan jangka panjang dan terencana untuk mencegah dan
memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Atas pertimbangan itu pula
pemerntah mengeluarkan Inpres no. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012. Sebagai tindaklanjutnya telah dikeluarkan
Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Salah satu strateginya adalah Pendidikan
dan Budaya Anti Korupsi (PBAK) sebagai bagian dari usaha melembagakan dan
menanamkan nilai-nilai anti korupsi bagi penyelenggara negara. Jika pada awal
tulisan kita tidak setuju menyebut korupsi sebagai budaya bangsa, mengapa ada
strategi budaya anti korupsi ? Sebenarnya Budaya Anti Korupsi bukanlah sebuah
budaya. Budaya Anti Korupsi hanyalah sebuah bungkus yang diterminologikan
dimana di dalamnya berisi budaya transparansi, budaya disiplin, budaya
kejujuran, dan budaya cinta serta peduli pada negara.
Untuk
menanamkan Budaya Anti Korupsi, maka perlu dilakukan melalui aktivitas
informasi dan mengkomunikasikan nilai-nilai transparansi, disiplin, kejujuran
secara terencana, konsepsional dan berkesinambungan. Dalam rangka penyusunan
strategi komunikasi tersebut maka perlu terlebih dahulu mengukur persepsi
korupsi aparatur negara dalam suatu ikatan instansional untuk menentukan tujuan
dan sasaran komunikasi yang akan diterapkan.
Tampaknya,
hampir di semua kementerian/lembaga menerapkan strategi komunikasi dengan pola
menyarankan (suggest), memotivasi (motivating), dan membujuk (persuasif)
penyelenggara negara untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Lihatlah
berbagai slogan anti korupsi terpampang dimana-mana. Mulai dari baliho dan
spanduk spanduk besar di jalan dan halaman-halaman kementerian/lembaga,
banner-banner di sudut-sudut trategis lalu lalangnya para pegawai, running
slogan di videotron dan situs-situs kementerian, serta seruan-seruan di
berbagai media cetak.
Muyu Dg.
Pabarrang, salah seorang pegawai kementerian, eselon IV dan kebetulan dipercaya
sebagai Pemegang komitmen (Pimpinan
Proyek) bertanya-tanya dalam hati setiap kali membaca slogan anti
korupsi. “Sesungguhnya siapa menyarankan siapa ? Siapa memotivasi siapa ?, dan
siapa membujuk siapa ?” Siapa yang menyarankan dan siapa yang disarankan ?
Siapa yang memotivasi dan siapa yang dimotivasi ? Siapa yang membujuk dan siapa
yang dibujuk ?” Rentetan pertanyaan itu terus
saja berulang dan berputar dalam labirin yang tak pernah selesai di benak Muyu
Dg. Pabarrang.
Pada puncak
gelisah dalam renungan panjangnya di sepertiga malam, Muyu Dg. Pabarrang
berketetapan hati bahwa untuk menghindari prilaku korupsi maka seseorang harus
menyarankan, memotivasi, dan membujuk dirinya sendiri untuk tidak korupsi.
Slogan-slogan anti korupsi tidak hanya menjadi sekedar slogan yang habis dalam
kata-kata. Bahasa slogan seharusnya mampu membakar jiwa dan menjadikannya
sebagai Kristal nilai-nilai budaya bangsa.
0 komentar:
Posting Komentar