HUBUNGAN PEMERNTAH DAN MEDIA MASSA ANTARA STABILITAS DAN KEBEBASAN

Selasa, 22 Oktober 2013
Dalam menyelenggarakan kekuasaan negara adalah suatu keharusan mutlak bahwa persatuan dan kesatuan nasional dalam rangka menjaga stabilitas merupakan prioritas utama di hampir semua negara, sehingga menjadi tugas utama sebuah pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi,  stabilitas politik dan stabilitas keamanan nasionalnya. Sementara di sisi lain bahwa kematangan dan kedewasaan politik yang diperjuangankan oleh negara akan terlihat dari sampai sejauh mana kebebasan media massa sebagai cermin kebebasan berpendapat masyarakatnya mendapat tempat di dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jika kita melihat aspek stabilitas dan aspek kebebasan sebagai dua aspek yang berada dalam kutub berbeda, maka kita akan selalu dihadapkan oleh persoalan  panjang tentang anggapan bahwa salah satunya lebih penting dari yang lainnya, dan yang satu menjadi hambatan bagi lainnya. Padahal dalam kenyataannya, keduanya (pemerintah dan media massa) mempunyai hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan, karena masing-masing mempunyai kepentingan dan masing-masing saling membutuhkan. Media massa membutuhkan berita dan informasi untuk publikasi yang sebahagian besar bersumber dari aktivitas birokrasi yang dijalankan oleh pemerintah. Begitupun juga pemerintah membutuhkan adanya pemberitaan agar segala hal yang telah dilakukan oleh birokrasi di ketahui dan dipahami oleh masyarakat, Dalam hal ini media massa menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakatnya.
Tidak mudah meyakinkan media massa akan pentingnya hubungan kemitraan antara pemerintah dan media massa bahwa keduanya mengorientasikan seluruh aktifitasnya pada kepentingan publik, mengingat kesan traumatik pada masa pemerintahan orde baru dimana dominasi dan hegemoni negara begitu besar dalam mengatur urusan publik, termasuk mengatur kehidupan pers. Pada masa itu media massa dipergunakan sebagai alat propaganda pemerintah dalam rangka melindungi ideologi negara, bahkan secara prakmatis dipergunakan untuk melindungi kepentingan penguasa. Namun demikian, perjalanan sejarah bangsa yang ditandai dengan reformasi telah meruntuhkan semua itu.
Lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32 tahun 2002  tentang Penyiaran sebagai buah reformasi melegitimasi berakhirnya rezim negara terhadap kehidupan media massa. Selanjutnya urusan pengaturan media diserahkan pada publik melalui Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Ibarat sebuah perjuangan panjang, media massa telah menemukan apa yang mereka perjuangkan, yaitu kemerdekaan dan kebebasannya. Di masa-masa euphoria tersebut, media massa tumbuh bak jamur di musin hujan tidak hanya di pusat pemerintahan tetapi juga menjamur hingga ke berbagai daerah provinsi di Indonesia. Sehingga dengan demikian media dapat berperan sebagai wadah pemikiran dan aspirasi bagi warga negara.
Namun sangat disayangkan, secara gamblang terrlihat bahwa media massa saat ini telah mengalami pemusatan kepemilikan oleh hanya beberapa koorporasi media. Media massa tentu saja tetap dapat menyediakan ruang publik bagi masyarakatnya, tetapi ruang itu telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh kepentingan pemiliknya. Walhasil politik redaksional media tidak lagu berorientasi pada warga negara tetapi lebih kepada politik pemilik media yang secara prakmatis adalah juga aktor-aktor politik.
Mencermati isi pemberitaan media massa dan bagaimana media mengembangkan opini, tampak sekali bahwa yang hadir di dalamnya adalah kepentingan politik pemilik media. Sedangkan warga negara tergiring sebagai subyek yang pasif untuk ikut bermain dalam opini yang dikemas media. Kebebasan media massa yang pada awalnya menggembirakan, berubah menjadi kekhawatiran bahkan oleh para pejuang kebebasan media massa pada masa lalu. Media massa telah mendapatkan kebebasan lebih dari yang mereka perjuangankan, tetapi kehil;angan sebahagian besar tanggungjawabnya pada publik.
Akhirnya publik yang kritispun memberi kesan bahwa situasi saat ini hanya pergantian rezim, dari rezim negara terhadap media ke pada rezim media terhadap negara. Perbedaan keduanya hanya terletak pada mekanisme kontrol dan pengendalian. Pada masa rezim negara terhadap media dilakukan secara sistemik melalui perangkat regulasi yang mengendalikan media, sedangkan kuasa rezim media saat ini dilakukan melalui wacana dan pembentukan opini publik yang mampu memberikan tekanan pada negara dan pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang kurang bersesuai dengan kepentingan pemilik media.
Iklim dominasi media atas opini publik dan daya tekannya terhadap negara tentu saja kurang baik bagi bangunan tatatanan demokrasi, sama tidak baiknya ketika negara mendominasi media. Negara dan media massa seyogianya tidak saling mendominasi tetapi saling memberi dan mengisi untuk melayani kepentingan publik. Ketahuilah bahwa media massa mustahil hidup dan berkembang di suatu wilayah tanpa ada pemerintah dan masyarakat, sebab wilayah tanpa kekuatan pengatur cenderung menjadi rimba bagi serigala-serigala yang menghuninya. Ketahui pula bahwa pemerintahan tanpa media massa sebagai jembatan komunikasi dan pengontrol sosial hanya akan melahirkan suatu pemerintahan yang tiran, otoriter dan mengabaikan kepentingan masyarakatnya. Jadi tidak ada satu alasanpun untuk meniadakan adanya hubungan koordinasi dan kemitraan strategis antara pemerintah dan media massa, karena nyata keduanya memang saling membutuhkan dan saling bergantung.
Di Kementerian Koordinaror Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ada satu kedeputian yang berhubungan erat dengan bidang kerja komunikasi dan informasi, yaitu Deputi VII/Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur, dimana salah satu asisten deputinya adalah Adsep koordinasi bidang media massa. Untuk membangun koordinasi dan kemitraan dengan media massa, minimal dapat dilakukan melalui tiga pintu dimana pada setiap pintunya dapat dilakukan berbagai kegiatan koordinasi, singkronisasi dan komunikasi.
Pintu pertama, adalah tetap mendukung dan mendorong independensi pers yang bebas dan bertanggungjawab. Dalam hal ini, birokrasi diharapkan membuka diri bagi media massa untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah (right to know), dan membuka ruang publik bagi terselenggaranya kewajiban pemerintah untuk memberitahu masyarakat (obligation to tell) tentang segala hal yang terjadi di pemerintahan baik melalui media cetak, elekrtonik, maupun situs kementerian, atau melalui konperensi pers dan menyebaran siaran pers kementerian. Semangat ini sejalan dengan undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan undang-undang tentang Pelayanan Publik.
Pintu Kedua, adalah memahami tugas dan peran media massa sesuai dengan  UU Pers, serta ikut mendorong agar  Kode Etik Jurnalistik sungguh-sungguh ditegakkan. Saya percaya pers nasional tidak pernah secara sengaja melanggar Kode Etik yang mereka sepakati, karena itu sama artinya mencederai tata nil;ai diri sendiri. Namun kita saksikan bahwa masih banyak pelanggaran-pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang tanpa sengaja dilakukan oleh jurnalis. Ketidaksengajaan ini umumnya terjadi karena spirit jurnalis yang berlebihan sehingga kadang mengabaikan hak-hak sumber beritanya dan mengaabaikan tata cara mendapatkan berita, atau juga tekanan deadline yang membuat jurnalis kurang jeli dan teliti menggunakan diksi yang tepat sebagai bahasa media massa, sehingga berita yang tersaji menjadi bias makna bahkan melenceng dari maksud nara sumber. Oleh karena itu, disamping selfcencorship yang telah dilakukan oleh jurnalis, pemerintah dan masyarakatpun dapat membantu media massa melalui monitoring pemberitaan untuk mengingatkan pelanggaran-pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang terjadi, tentu saja lewat kerjasama dengan Dewan Kehormatan PWI dan Dewan Pers.
Pintu Ketiga, adalah membangun kerjasama kemitraan bagi peningkatan mutu jurnalistik yang bebas dan bertanggungjawab. Bagaimanapun mutu jurnalistik bukan hanya menjadi tanggungjawab dan kehendak pengelola media massa, tetapi juga menjadi beban tanggungjawab pemerintah. Suatu pemerintahan demokratis yang baik biasanya tergambar dari mutu jurnalistik yang berkembang di dalamnya. Untuk itulah kerjasama kemitraan antara pemerintah dan media massa mutlak diperlukan karena kedua-duanya berkewajiban melayani publik. Pemerintah berkewajiban untuk memberi rasa aman kepada publik dengan jaminan stabilitas ekonomi, sosial dan keamanan. Sementara media massa berkewajiban memberikan informasi yang mendidik kepada publik serta ikut mendorong kecerdasan intelektual publik melalui ruang ekspresi berpendapat yang disediakan oleh media massa.
Jika semua bersikap terbuka dan bersinerji memajukan masyarakat Indonesia, maka tugas dan tanggungjawab pemerintah diorientasikan untuk menjaga stabilitas dengan tetap menjamin kebebasan berpendapat masyarakatnya. Tugas dan tanggungjawab media massa diorientasikan untuk memberi ruang kebebasan informasi yang senantiasa mempertimbangkan stabilitas negara.

0 komentar:

Posting Komentar