Dalam menyelenggarakan kekuasaan negara adalah suatu
keharusan mutlak bahwa persatuan dan kesatuan nasional dalam rangka menjaga
stabilitas merupakan prioritas utama di hampir semua negara, sehingga menjadi
tugas utama sebuah pemerintahan adalah menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan stabilitas keamanan
nasionalnya. Sementara di sisi lain bahwa kematangan dan kedewasaan politik
yang diperjuangankan oleh negara akan terlihat dari sampai sejauh mana
kebebasan media massa sebagai cermin kebebasan berpendapat masyarakatnya
mendapat tempat di dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jika kita melihat aspek stabilitas dan aspek kebebasan
sebagai dua aspek yang berada dalam kutub berbeda, maka kita akan selalu
dihadapkan oleh persoalan panjang
tentang anggapan bahwa salah satunya lebih penting dari yang lainnya, dan yang
satu menjadi hambatan bagi lainnya. Padahal dalam kenyataannya, keduanya
(pemerintah dan media massa) mempunyai hubungan saling ketergantungan dan
saling membutuhkan, karena masing-masing mempunyai kepentingan dan
masing-masing saling membutuhkan. Media massa membutuhkan berita dan informasi
untuk publikasi yang sebahagian besar bersumber dari aktivitas birokrasi yang
dijalankan oleh pemerintah. Begitupun juga pemerintah membutuhkan adanya
pemberitaan agar segala hal yang telah dilakukan oleh birokrasi di ketahui dan
dipahami oleh masyarakat, Dalam hal ini media massa menjadi jembatan komunikasi
antara pemerintah dan masyarakatnya.
Tidak mudah meyakinkan media massa akan pentingnya
hubungan kemitraan antara pemerintah dan media massa bahwa keduanya
mengorientasikan seluruh aktifitasnya pada kepentingan publik, mengingat kesan
traumatik pada masa pemerintahan orde baru dimana dominasi dan hegemoni negara
begitu besar dalam mengatur urusan publik, termasuk mengatur kehidupan pers.
Pada masa itu media massa dipergunakan sebagai alat propaganda pemerintah dalam
rangka melindungi ideologi negara, bahkan secara prakmatis dipergunakan untuk
melindungi kepentingan penguasa. Namun demikian, perjalanan sejarah bangsa yang
ditandai dengan reformasi telah meruntuhkan semua itu.
Lahirnya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 32
tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai
buah reformasi melegitimasi berakhirnya rezim negara terhadap kehidupan media
massa. Selanjutnya urusan pengaturan media diserahkan pada publik melalui Dewan
Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia. Ibarat sebuah perjuangan panjang, media
massa telah menemukan apa yang mereka perjuangkan, yaitu kemerdekaan dan
kebebasannya. Di masa-masa euphoria tersebut, media massa tumbuh bak jamur di
musin hujan tidak hanya di pusat pemerintahan tetapi juga menjamur hingga ke
berbagai daerah provinsi di Indonesia. Sehingga dengan demikian media dapat
berperan sebagai wadah pemikiran dan aspirasi bagi warga negara.
Namun sangat disayangkan, secara gamblang terrlihat bahwa
media massa saat ini telah mengalami pemusatan kepemilikan oleh hanya beberapa
koorporasi media. Media massa tentu saja tetap dapat menyediakan ruang publik
bagi masyarakatnya, tetapi ruang itu telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh
kepentingan pemiliknya. Walhasil politik redaksional media tidak lagu
berorientasi pada warga negara tetapi lebih kepada politik pemilik media yang
secara prakmatis adalah juga aktor-aktor politik.
Mencermati isi pemberitaan media massa dan bagaimana
media mengembangkan opini, tampak sekali bahwa yang hadir di dalamnya adalah
kepentingan politik pemilik media. Sedangkan warga negara tergiring sebagai
subyek yang pasif untuk ikut bermain dalam opini yang dikemas media. Kebebasan
media massa yang pada awalnya menggembirakan, berubah menjadi kekhawatiran
bahkan oleh para pejuang kebebasan media massa pada masa lalu. Media massa telah
mendapatkan kebebasan lebih dari yang mereka perjuangankan, tetapi kehil;angan
sebahagian besar tanggungjawabnya pada publik.
Akhirnya publik yang kritispun memberi kesan bahwa
situasi saat ini hanya pergantian rezim, dari rezim negara terhadap media ke
pada rezim media terhadap negara. Perbedaan
keduanya hanya terletak pada mekanisme kontrol dan pengendalian. Pada masa rezim
negara terhadap media dilakukan secara sistemik melalui perangkat regulasi yang
mengendalikan media, sedangkan kuasa rezim media saat ini dilakukan melalui
wacana dan pembentukan opini publik yang mampu memberikan tekanan pada negara
dan pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang kurang bersesuai dengan
kepentingan pemilik media.
Iklim dominasi media atas opini publik dan daya tekannya
terhadap negara tentu saja kurang baik bagi bangunan tatatanan demokrasi, sama
tidak baiknya ketika negara mendominasi media. Negara dan media massa seyogianya tidak saling
mendominasi tetapi saling memberi dan mengisi untuk melayani kepentingan
publik. Ketahuilah bahwa
media massa mustahil hidup dan berkembang di suatu wilayah tanpa ada pemerintah
dan masyarakat, sebab wilayah tanpa kekuatan pengatur cenderung menjadi rimba
bagi serigala-serigala yang menghuninya. Ketahui pula bahwa pemerintahan tanpa
media massa sebagai jembatan komunikasi dan pengontrol sosial hanya akan melahirkan
suatu pemerintahan yang tiran, otoriter dan mengabaikan kepentingan
masyarakatnya. Jadi tidak ada satu alasanpun untuk meniadakan adanya hubungan
koordinasi dan kemitraan strategis antara pemerintah dan media massa, karena
nyata keduanya memang saling membutuhkan dan saling bergantung.
Di Kementerian Koordinaror Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan ada satu kedeputian yang berhubungan erat dengan bidang kerja
komunikasi dan informasi, yaitu Deputi VII/Koordinasi Komunikasi, Informasi dan
Aparatur, dimana salah satu asisten deputinya adalah Adsep koordinasi bidang
media massa. Untuk membangun koordinasi dan kemitraan dengan media massa,
minimal dapat dilakukan melalui tiga pintu dimana pada setiap pintunya dapat
dilakukan berbagai kegiatan koordinasi, singkronisasi dan komunikasi.
Pintu
pertama, adalah tetap
mendukung dan mendorong independensi pers yang bebas dan bertanggungjawab.
Dalam hal ini, birokrasi diharapkan membuka diri bagi media massa untuk
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah (right to know), dan membuka ruang publik
bagi terselenggaranya kewajiban pemerintah untuk memberitahu masyarakat (obligation to tell) tentang segala hal
yang terjadi di pemerintahan baik melalui media cetak, elekrtonik, maupun situs
kementerian, atau melalui konperensi pers dan menyebaran siaran pers
kementerian. Semangat ini sejalan dengan undang-undang tentang Keterbukaan
Informasi Publik, dan undang-undang tentang Pelayanan Publik.
Pintu
Kedua, adalah memahami
tugas dan peran media massa sesuai dengan
UU Pers, serta ikut mendorong agar
Kode Etik Jurnalistik sungguh-sungguh ditegakkan. Saya percaya pers
nasional tidak pernah secara sengaja melanggar Kode Etik yang mereka sepakati,
karena itu sama artinya mencederai tata nil;ai diri sendiri. Namun kita
saksikan bahwa masih banyak pelanggaran-pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang
tanpa sengaja dilakukan oleh jurnalis. Ketidaksengajaan ini umumnya terjadi
karena spirit jurnalis yang berlebihan sehingga kadang mengabaikan hak-hak
sumber beritanya dan mengaabaikan tata cara mendapatkan berita, atau juga
tekanan deadline yang membuat jurnalis kurang jeli dan teliti menggunakan diksi
yang tepat sebagai bahasa media massa, sehingga berita yang tersaji menjadi
bias makna bahkan melenceng dari maksud nara sumber. Oleh karena itu, disamping
selfcencorship yang telah dilakukan oleh jurnalis, pemerintah dan masyarakatpun
dapat membantu media massa melalui monitoring pemberitaan untuk mengingatkan
pelanggaran-pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang terjadi, tentu saja lewat
kerjasama dengan Dewan Kehormatan PWI dan Dewan Pers.
Pintu Ketiga, adalah membangun kerjasama kemitraan bagi
peningkatan mutu jurnalistik yang bebas dan bertanggungjawab. Bagaimanapun mutu
jurnalistik bukan hanya menjadi tanggungjawab dan kehendak pengelola media
massa, tetapi juga menjadi beban tanggungjawab pemerintah. Suatu pemerintahan
demokratis yang baik biasanya tergambar dari mutu jurnalistik yang berkembang
di dalamnya. Untuk itulah kerjasama kemitraan antara pemerintah dan media massa
mutlak diperlukan karena kedua-duanya berkewajiban melayani publik. Pemerintah
berkewajiban untuk memberi rasa aman kepada publik dengan jaminan stabilitas
ekonomi, sosial dan keamanan. Sementara media massa berkewajiban memberikan
informasi yang mendidik kepada publik serta ikut mendorong kecerdasan
intelektual publik melalui ruang ekspresi berpendapat yang disediakan oleh
media massa.
Jika semua bersikap terbuka dan bersinerji memajukan
masyarakat Indonesia, maka tugas dan tanggungjawab pemerintah diorientasikan
untuk menjaga stabilitas dengan tetap menjamin kebebasan berpendapat
masyarakatnya. Tugas dan tanggungjawab media massa diorientasikan untuk memberi
ruang kebebasan informasi yang senantiasa mempertimbangkan stabilitas negara.
0 komentar:
Posting Komentar