Panggung untuk mempertunjukkan jati diri dan prestasinya pelajar bukan lagi di sekolah, di Sport Hall atau di Youth Centre, melainkan telah beralih ke jalan-jalan raya.
Pada suatu kesempatan di kantin sekolah sebuah SLTA, aku menguping
pembicaraan beberapa siswa. ”lu lihat nih photo gue sama Irwan pas ngelempar
batu,” kata siswa bertopi dengan sombongnya menunjukkan sebuah suratkabar
ibukota. Kemudian ditimpali oleh kawan-kawannya yang lain, ”Yang paling jelas
di tayangan TV, jelas banget gue ayun-ayunkan samurai dan anak-anak SMA sekian
lari terbirit-birit.” Ditimpali lagi oleh lelaki hitam di sampingnya,
”Iye...gue aja sempat ngerekam tayangannya. Lumayan buat kenang-kenangan.”
Sambil menyeruak kopi panas aku berucap, ”astagfirulllah,” rupanya pelajar-pelajar
ini bangga dengan pemberitaan media dan tayangan TV mengenai tawuran yang
mereka lakukan. padahal masyarakat prihatin dan meratap atas hilangnya nyawa
anak manusia secara sia-sia hanya untuk persoalan begitu sepele. Jangan-jangan
mereka berpikir dan membenarkan bahwa dengan tawuran, eksistensi dan jati diri
mereka lebih mudah terekspose media. Lalu
kalau mereka sampai berpikir demikian, siapa yang akan kita persalahkan ?
Sudahkan tersedia ruang ekspresi yang cukup bagi mereka ? Sudahkah kita semua
cukup waktu untuk duduk bersama dengan anak-anak kita, mengajarkan pada mereka
bagaimana membangun diri, bagaimana mengekspresikan diri. Kita, para orang tua
terlalu sibuk dengan panggung kita sendiri dan lupa bahwa anak-anak kita juga
membutuhkan panggung untuk dirinya.
Setelah melihat begitiu besar angka kematian pelajar akibat tawuran, apa
yang ada dalam pikiran pelajar ? Apakah mereka lupa tentang siapa diri mereka
bagi bangsa ini ? Ataukah para pendahulu dan tetua republik ini tidak pernah
mengingatkan tentang siap dan akan menjadi apa mereka di panggung bangsa ini. Pengamat
pendidikan dari Univ. Paramadina, Abduhzen mengatakan, ”tawuran ini merupakan
ekspresi dari kegelisahan dan ketegangan yang ada di masyarakat, utamanya kaum
muda.” Pernyataan senada dari Utomo Danan Jaya, ”Kondisi sosial masyarakat
turut mempengaruhi pembentukan karakter pelajar. Para pelajar banyak
dipertontonkan perilaku buruk tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi
teladan.”
Sumber masalahnya dimana ? Pada diri pelajarkah atau pada diri pengelola
bangsa ini, atau timpakan kesalahan pada para pendidik dan mereka yang
berhubungan dengan pembentukan karakter pelajar ?
Benarlah rupanya bangsa ini sedang terkotak dalam dua gagasan, yang satu
berpaling ke masa lalu, sementara yang lain menatap masa depan. Mereka yang
berpaling ke masa lalu mengkotakkan diri dalam panggung kekinian, sementara
kotak satunya lagi mereka peruntukkan untuk dia yang menatap masa depan menuju
panggung yang ia dambakan.
Panggung itu sekarang dipergunakan oleh mereka yang berpaling ke masa lalu.
Mereka mengingat-ingat apa yang telah
mereka lakukan, dan dengan siapa mereka lakukan di masa lalu sehingga merasa
berhak atas panggung kekinian. Mereka tidak menyisakan sedikit ruang
pertunjukan bagi mereka yang berpaling ke masa depan. Panggung besar itu
dipenuhi oleh mereka dari masa lalu. Tak ada lagi panggung tersisa bagi si penatap masa depan. Tak ada lagi
ruang youth center, tak ada lagi ruang sporthall, ruang-ruang kosong bagi
ekspresi muda para relajar telah dipenuhi oleh pusat-pusat perbelanjaan dan
hiburan-hiburan tanpa makna. Sementara para pelajar yang dipersiapkan untuk
menatap masa depan tak punya ruang ekspresi antara sebelum masuk panggung utama
menggantikan peran yang dimainkan oleh si penatap masa lalu yang berkuasa atas
kekinian.
Wahai para penguasa kekinian..! Ingatlah…! Anak-anakmu lah pemilik masa
depan. Ingatlah kekinianpun akan runtuh berganti masa depan, sebagaimana masa
lalu berakhir dan berganti kekinian. Para relajar kita adalah orang-orang yang
telah dipanggil oleh kehidupan. Mereka pasti akan menuju ke masa depan, mengikuti langkah dengan kepala
tegak. Ketidakperdualianmu tidak akan menmghentikan langkah mereka. Panggung-panggung
yang engkau penuhi tidak akan membuat mereka kehilangan energi berekspresi.
Para pelajar adalah benih yang disemai di sebuah ladang oleh tangan Tuhan yang
akan menyeruak dari sekamnya dengan segala kekuatan pertumbuhannya. Ia tidak
akan berhenti berekspresi walau kalian tidak menyediakan wadahnya, wadah yang
sesuai dengan jiwa pertumbuhannya.
Wahai para penguasa kekinian...! Mengapa engkau gusar ketika para pelajar
menjadikan jalan raya sebagai panggung ekspresi energinya ? Mengapa engkau
gusar ketika pelajar menjadikan tawuran sebagai medan kompetisinya ? Marilah
sama-sama kita renungkan bahwa mereka adalah anak-anak kita yang sedang menatap
masa depannya.
Menepilah ! beri ruang yang cukup bagi pelajar di panggung kehidupan agar
ia mengekspresikan energi masa depannya, menguatkan dirinya melalui berbagai
kompetisi yang terkendali. Jangan biarkan para pelajar, anak-anak kita,
anak-anak pemilik masa depan mengalihkan panggung ekspresinya di jalan-jalan
raya yang justru menggelisahkan banyak pihak.
0 komentar:
Posting Komentar