Ketika Panggung Pelajar Beralih ke Jalan

Kamis, 24 Oktober 2013




Panggung untuk mempertunjukkan jati diri dan prestasinya pelajar bukan lagi di sekolah, di Sport Hall atau di Youth Centre, melainkan telah beralih ke jalan-jalan raya.


Pada suatu kesempatan di kantin sekolah sebuah SLTA, aku menguping pembicaraan beberapa siswa. ”lu lihat nih photo gue sama Irwan pas ngelempar batu,” kata siswa bertopi dengan sombongnya menunjukkan sebuah suratkabar ibukota. Kemudian ditimpali oleh kawan-kawannya yang lain, ”Yang paling jelas di tayangan TV, jelas banget gue ayun-ayunkan samurai dan anak-anak SMA sekian lari terbirit-birit.” Ditimpali lagi oleh lelaki hitam di sampingnya, ”Iye...gue aja sempat ngerekam tayangannya. Lumayan buat kenang-kenangan.”

Sambil menyeruak kopi panas aku berucap, ”astagfirulllah,” rupanya pelajar-pelajar ini bangga dengan pemberitaan media dan tayangan TV mengenai tawuran yang mereka lakukan. padahal masyarakat prihatin dan meratap atas hilangnya nyawa anak manusia secara sia-sia hanya untuk persoalan begitu sepele. Jangan-jangan mereka berpikir dan membenarkan bahwa dengan tawuran, eksistensi dan jati diri mereka lebih mudah terekspose media.  Lalu kalau mereka sampai berpikir demikian, siapa yang akan kita persalahkan ? Sudahkan tersedia ruang ekspresi yang cukup bagi mereka ? Sudahkah kita semua cukup waktu untuk duduk bersama dengan anak-anak kita, mengajarkan pada mereka bagaimana membangun diri, bagaimana mengekspresikan diri. Kita, para orang tua terlalu sibuk dengan panggung kita sendiri dan lupa bahwa anak-anak kita juga membutuhkan panggung untuk dirinya.

Setelah melihat begitiu besar angka kematian pelajar akibat tawuran, apa yang ada dalam pikiran pelajar ? Apakah mereka lupa tentang siapa diri mereka bagi bangsa ini ? Ataukah para pendahulu dan tetua republik ini tidak pernah mengingatkan tentang siap dan akan menjadi apa mereka di panggung bangsa ini. Pengamat pendidikan dari Univ. Paramadina, Abduhzen mengatakan, ”tawuran ini merupakan ekspresi dari kegelisahan dan ketegangan yang ada di masyarakat, utamanya kaum muda.” Pernyataan senada dari Utomo Danan Jaya, ”Kondisi sosial masyarakat turut mempengaruhi pembentukan karakter pelajar. Para pelajar banyak dipertontonkan perilaku buruk tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi teladan.”

Sumber masalahnya dimana ? Pada diri pelajarkah atau pada diri pengelola bangsa ini, atau timpakan kesalahan pada para pendidik dan mereka yang berhubungan dengan pembentukan karakter pelajar ?



Benarlah rupanya bangsa ini sedang terkotak dalam dua gagasan, yang satu berpaling ke masa lalu, sementara yang lain menatap masa depan. Mereka yang berpaling ke masa lalu mengkotakkan diri dalam panggung kekinian, sementara kotak satunya lagi mereka peruntukkan untuk dia yang menatap masa depan menuju panggung yang ia dambakan.
Panggung itu sekarang dipergunakan oleh mereka yang berpaling ke masa lalu. Mereka mengingat-ingat  apa yang telah mereka lakukan, dan dengan siapa mereka lakukan di masa lalu sehingga merasa berhak atas panggung kekinian. Mereka tidak menyisakan sedikit ruang pertunjukan bagi mereka yang berpaling ke masa depan. Panggung besar itu dipenuhi oleh mereka dari masa lalu. Tak ada lagi panggung tersisa bagi si penatap masa depan. Tak ada lagi ruang youth center, tak ada lagi ruang sporthall, ruang-ruang kosong bagi ekspresi muda para relajar telah dipenuhi oleh pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan-hiburan tanpa makna. Sementara para pelajar yang dipersiapkan untuk menatap masa depan tak punya ruang ekspresi antara sebelum masuk panggung utama menggantikan peran yang dimainkan oleh si penatap masa lalu yang berkuasa atas kekinian.

Wahai para penguasa kekinian..! Ingatlah…! Anak-anakmu lah pemilik masa depan. Ingatlah kekinianpun akan runtuh berganti masa depan, sebagaimana masa lalu berakhir dan berganti kekinian. Para relajar kita adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh kehidupan. Mereka pasti akan menuju ke masa depan, mengikuti langkah dengan kepala tegak. Ketidakperdualianmu tidak akan menmghentikan langkah mereka. Panggung-panggung yang engkau penuhi tidak akan membuat mereka kehilangan energi berekspresi. Para pelajar adalah benih yang disemai di sebuah ladang oleh tangan Tuhan yang akan menyeruak dari sekamnya dengan segala kekuatan pertumbuhannya. Ia tidak akan berhenti berekspresi walau kalian tidak menyediakan wadahnya, wadah yang sesuai dengan jiwa pertumbuhannya.

Wahai para penguasa kekinian...! Mengapa engkau gusar ketika para pelajar menjadikan jalan raya sebagai panggung ekspresi energinya ? Mengapa engkau gusar ketika pelajar menjadikan tawuran sebagai medan kompetisinya ? Marilah sama-sama kita renungkan bahwa mereka adalah anak-anak kita yang sedang menatap masa depannya.

Menepilah ! beri ruang yang cukup bagi pelajar di panggung kehidupan agar ia mengekspresikan energi masa depannya, menguatkan dirinya melalui berbagai kompetisi yang terkendali. Jangan biarkan para pelajar, anak-anak kita, anak-anak pemilik masa depan mengalihkan panggung ekspresinya di jalan-jalan raya yang justru menggelisahkan banyak pihak.

0 komentar:

Posting Komentar