PAPUA BERARTI BAGI INDONESIA

Kamis, 31 Oktober 2013
Surat Terbuka Untuk Saudara Sebangsaku di Papua (II)


Saudaraku, Philips Turandy…!
Tiga pucuk suratmu belum juga sempat kubalas. Percayalah, tak ada niatan untuk memutuskan korespondensi. Semua karena begitu banyaknya persoalan hidup yang mau tidak mau harus kita pikirkan. Hidup ini hanya berarti ketika kita cukup berarti bagi yang lain, sekecil apapun itu. Setidak-tidaknya kita tidak termasuk pihak-pihak yang menjadi beban persoalan, kendatipun begitu banyak pihak yang mengatakan bahwa Papua sebuah persoalan.

Surat terakhirmu  yang penuh nada kekecewaan terhadap berbagai pemberitaan media massa sungguh menyita perhatianku.  Sungguh, aku membenarkannya. Kau mempertanyakan mengapa pemberitaan tentang Papua selalu berputar-putar soal Pepera, pelanggaran Ham, kemiskinan, keterbelakangan, kemalasan, Freeport, peran TNI, aktivitas intelijen dan berbagai tudingan tidak sedap pada pemerintah pusat dan daerah. Bukan hanya pengelola negara, kamipun rakyat Papua merasa tertekan dengan pemberitaan seperti itu, seolah-olah Papua ini tak pernah bergerak ke arah yang lebih baik setelah bertahun-tahun melepaskan diri dari penjajahan Belanda.

Pada lembaran lain, Pace juga menulis, ”Pemberitaan yang bersumber dari pemerintahpun sama kurang menyenangkannya bagi kami. Kami tahu pemerintah telah melakukan kewenangan dan kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua. Tetapi pemberitaan yang berulang-ulang tentang segala kemudahan dan bantuan dana yang dikucurkan bagi Provinsi Papua hanya akan membuat kami rakyat Papua seolah-olah sebagai anak bangsa yang belum mampu berbuat sesuatu bagi Indonesia. Pemberitaan seperti itu hanya akan melahirkan kesan panjang bahwa hanya NKRI yang selalu berarti bagi Provinsi Papua dan kami orang Papua belum mampu berarti bagi NKRI. Kesan seperti itu tidak akan pernah membangkitkan spirit kebangsaan masyarakat. Padahal beberapa tokoh Papua telah membuktikan bahwa mereka cukup berarti bagi Indonesia. Kami merindukan hadirnya pemberitaan yang lebih menekankan apa-apa yang telah kami perbuat bagi kemajuan bangsa Indonesia. Itu adalah sebuah rasa bangga bagi kami sebagai bangsa Indonesia, sehingga seluruh Bangsa Indonesiapun memiliki kebanggaan pada kami, masyarakat Papua.”

Saudaraku, Philips Turandy….!
Aku sangat memahami kegalauanmu. Papua telah memberikan apa yang mereka bisa. Begitu panjang daftar orang-orang yang telah memberikan arti bagi wilayah besar yang bernama Indonesia. Ari Sihasale, aktor ganteng Indonesia yang terus berkiprah memajukan industri perfilman Indonesia. Group Band Black Brother dan penyanyi bersuara emas Edo Kondologit telah semakin memperkaya seniman-seniman musik Indonesia. Septinus George Saa, pelajar Papua yang telah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional lewat kemampuannya meraih juara dalam olimpiade fisika dunia. Dalam bidang keilmuanpun ada almarhum Hans Waspakrik, ahli fisika ITB, ada Enos Rumansara dan Marlina Flassy yang cukup dikenal sebagai Antropolog dan giat memberikan ilmunya kepada bangsa Indonesia. Kita kenal juga pahlawan-pahlawan nasional bangsa Indonesia yang berasal dari Papua, seperti Frans Kaisiepo, Johannes Abraham DimaraMarthen Indey, Silas Papare dan banyak tokoh lainnya.

Saudaraku….!
Jika kau sering mengatakan, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tetapi bertanyalah apa yang telah kau berikan pada negara.” Maka aku tegaskan bahwa masyarakat Papua lewat peran-peran manusia bertalentanya telah memberikan banyak hal pada negara. Titus Bonay, Boaz dan Ortizan Salossa, Ellie Aiboy, Okta Maniani dan banyak talenta sepakbola lainnya telah memberi warna pada kekuatan kesebelasan nasional Indonesia. Begitupun juga atlet-atlet Papua dari cabang olahraga lainnya seperti
petinju Benny Maniani, Levi Rumbewas, binaragawan terbaik Indonesia, Ida Korwa atlet angkat besi, dan banyak atlet yang mengandalkan kemampuan fisik prima masyarakat Papua.

Tidak hanya di cabang-cabang olahraga dan keterampilan, tokoh-tokoh Papua dengan kualitas keilmuannya berhasil menduduki jabatan tinggi negara seperti Balthasar Kambuaya, Freddy Numbery, dan Manuel Kaisiepo, serta banyak politisi dan negarawan lainnya semacam Abraham Octavianus Atururi, Barnabas Suebu, Elias Jan BonaiIzaac Hindom, JP. SolossaMichael Manufandu, Jacob Pattipi, Velix Wanggai, Ali Mochtar Ngabalin, dan…lelah tanganku menulis sekian banyak nama tokoh Papua yang telah memberikan kontribusi terhadap kebijakan-kebijakan negara, termasuk kebijakan terhadap kemajuan masyarakat Papua.

Saudaraku, Philips Turandy..!
Sebelum kusudahi surat ini, aku mau kabarkan padamu bahwa pada tanggal 28 Agustus 2013 kemarin, dua perempuan asal Papua meraih penghargaan, “Perempuan Tangguh Indonesia” dalam acara Malam Penganugerahan Penata di Hall Cilandak Square. Ia adalah Ferdinando Ibo Yatipay sebagai fenomenal Legislator Women, dan Antie Solaiman, wanita kelahiran Yogyakarta yang menghabiskan hidupnya untuk mengabdi bagi masyarakat Papua sebagai tenaga medis di puskesmas dan sekaligus sebagai guru pada sekolah yang dibangun oleh masyarakat Papua. Ia dianugerahi sebagai Independen Women. Sama seperti kerisauanmu, akupun prihatin karena momentum tersebut tidak terliput secara luas oleh media massa. Aku berjanji akan menuliskan tentang Antie Solaiman pada surat-suratku berikutnya.

Saudaraku…Philips Turandy…!
Sekali lagi aku tekankan, Papua sangat berarti bagi Indonesia, sama berartinya daerah-daerah lain bagi panggung besar bernama Indonesia. Oleh karena itu, selalulah kabarkan diri dan lingkunganmu agar kami juga mengabarkan banyak hal di sini.

Hormat kasih.
Bung Komar   
(Telah Dimuat di Majalah "Nusa Khatulistiwa" Edisi September 2013)

Ketidakadilan di Wilayah Domestik



Kemarin, 29 Oktober 2013, saya menghadiri sebuah diskusi publik dengan tema. "Pengaruutamaan Gender" . Pembicaraan yang tidak fokus dan melebar kemana-mana. Pembicara wanita dan pria seperti saling serang dengan argumennya masing-masing. Dan pada akhir diskusi publik tidak ada kesimpulan kunci yang dapat diambil. Dan semua peserta kembali dengan tanyanya masing-masing. Kembali ke rumah, saya menuliskan sebuah diskusi ringan 7 tahun yang lalu.



Dalam suatu dialog publik di LPP TVRI Banda Aceh di pertengahan bulan September 2006, dalam program acara, “Duek Besamo” yang diadakan oleh BRR, Satker Kemenko Polhukam, mengangkat tema, “Peran Wanita Dalam Kancah Politik” dengan menghadirkan tiga orang nara sumber dan saya sebagai penanggap. Saya sudah lupa bagaimana awalnya, tiba-tiba diskusi beralih pada soal kesetaraan gender.

Dua pembicara yang kebetulan seorang wanita menuntut perlunya suatu gerakan bukan hanya dari kalangan wanita, tetapi juga dari kalangan pria untuk sama-sama memperjuangkan adanya kesetaraan antara lelaki dan wanita baik dalam mengelola negara maupun mengelola kehidupan di wilayah domestik, karena kultur budaya di Indonesia tidak memberi ruang yang cukup bagi wanita untuk berkembang. Sementara pembicara lain dari kaum adam berbicara seputar kodrat wanita sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, dan istri bagi suaminya serta segala konsekuensi yang menyertai kedua peran tersebut. Tentu saja diskusi menjadi demikian hangat hingga dialog publik berakhir tanpa kesimpulan.

Pembicara wanita yang kebetulan seorang dosen di salah satu perguruan tinggi di Banda Aceh mengeluhkan bahwa hasil ujian mata kuliahnya ternyata menunjukkan bahwa nilai akademik laki-laki jauh lebih baik dibandingkan wanita. Apakah itu satu indikator bahwa lelaki jauh lebih pandai dibandingkan wanita? Ibu Dosen itu tidak menerima kebenaran asumsi tersebut. Hasil ujian itu betul betul mengganggu pikirannya. Ia tahu betul bahwa ia memberikan perhatian yang sedikit lebih kepada mahasiswinya di setiap sesi perkuliahannya.

Untuk menjawab gangguan pikirannya, Ibu dosen itu melakukan penelitian kecil-kecilan di suatu kelurahan dengan melibatkan beberapa mahasiswanya. Tidak kurang 100 kuisioner disebar. Kuisioner berisi 20 pertanyaan dengan daftar jawaban yang telah tersedia. Setelah melakukan coding data, maka ditemukan satu kesimpulan bahwa minat baca lelaki jauh lebih tinggi dibandingkan minat baca wanita. Ibu dosen itu masih dihantui pertanyaan, mengapa minat baca lelaki jauh lebih tinggi dibandingkan wanita. Jawaban dalam kuisioner tidak memberikan jawaban apa-apa, namun ada asumsi-asumsi yang perlu pembuktian.
Akhirnya Ibu Dosen melakukan penelitian lanjutan di lokasi yang sama dengan melibatkan mahasiswa yang sama, tentu saja dengan materi kuisioner yang berbeda. 100 kuisioner di sebar serentak selama dua hari. Setelah melakukan coding data, maka ditemukanlah suatu kesimpulan yang miris tetapi memuaskan hatinya. Ternyata telah terjadi ketidakadilan peran dalam wilayah domestik (Dalam lingkungan rumah tangga). Waktu wanita terlalu banyak tersita untuk berbagai pekerjaan di wilayah domestic sehingga hampir tidak punya waktu untuk membaca. Jangankan untuk membaca teks book atau buku-buku lain, menikmati surat kabar harianpun mereka tidak lagi sempat. Sementara lelaki memiliki waktu yang cukup banyak untuk membaca di wilayah domestik. Bahkan pada pagi hari ketika wanita sibuk mempersiapkan segala sesuatu di dapur, kaum lelaki dengan santainya membaca surat kabar ditemani secangkir kopi yang dibuat oleh wanita.

Saat ini kita ketahui bahwa perjuangan pengarusutamaan gender tidak lagi dilakukan sendiri oleh wanita. Cukup banyak lelaki yang terlibat dalam berbagai tim pengarusutamaan gender untuk turut memperjuangkan kesetaraan gender. Kepada kaum adam yang terlibat dalam perjuangan pengarusutamaan gender, saya hanya mengingatkan, lakukanlah terlebih dahulu di wilayah domestik dimana saudara adalah sebagai kepala rumah tangga.

SUMPAH RAKYAT INDONESIA

Minggu, 27 Oktober 2013
Kami orang Jawa
Jawa Indonesia

Kami orang Sumatera

Sumatera Indonesia

Kami orang Kalimantan

Kalimantan Indonesia

Kami orang Sulawesi

Sulawesi Indonesia
...
Kami orang Irian

Irian Indonesia

Kami orang Bali

Bali Indonesia

Kami orang Maluku

Maluku Indonesia


Itulah Indonesia kami

Begitulah nasionalisme kami

ADA CINTA DI INDRAPRASTA

Kamis, 24 Oktober 2013

Lima belas
Kosong lima
Dua ribu dua belas
Kita berdua

Kau ketuk
Satu-satu kosong
Pintu kukuak
Kita saling menyongsong

Kau terduduk tak percaya
Aku bersimpuh tanpa kata
Kusingkap dua tangan penutup
Mata beradu dan saling kecup

Kita saling mencinta
Walau tanpa kata
Merenggut madu cinta
Pun tanpa kata

Hati bekerja
Logika terpenjara
Terekam di Indrapasta
Dan bahagia terbaca

Di sini tempat tidur
Di sana cermin diri
Di sini dua kursi
Di sana lampu berpijar
Hanya ada ruang
Sunyi yang riang
Kau.....................
Aku ...................

Ketika Panggung Pelajar Beralih ke Jalan





Panggung untuk mempertunjukkan jati diri dan prestasinya pelajar bukan lagi di sekolah, di Sport Hall atau di Youth Centre, melainkan telah beralih ke jalan-jalan raya.


Pada suatu kesempatan di kantin sekolah sebuah SLTA, aku menguping pembicaraan beberapa siswa. ”lu lihat nih photo gue sama Irwan pas ngelempar batu,” kata siswa bertopi dengan sombongnya menunjukkan sebuah suratkabar ibukota. Kemudian ditimpali oleh kawan-kawannya yang lain, ”Yang paling jelas di tayangan TV, jelas banget gue ayun-ayunkan samurai dan anak-anak SMA sekian lari terbirit-birit.” Ditimpali lagi oleh lelaki hitam di sampingnya, ”Iye...gue aja sempat ngerekam tayangannya. Lumayan buat kenang-kenangan.”

Sambil menyeruak kopi panas aku berucap, ”astagfirulllah,” rupanya pelajar-pelajar ini bangga dengan pemberitaan media dan tayangan TV mengenai tawuran yang mereka lakukan. padahal masyarakat prihatin dan meratap atas hilangnya nyawa anak manusia secara sia-sia hanya untuk persoalan begitu sepele. Jangan-jangan mereka berpikir dan membenarkan bahwa dengan tawuran, eksistensi dan jati diri mereka lebih mudah terekspose media.  Lalu kalau mereka sampai berpikir demikian, siapa yang akan kita persalahkan ? Sudahkan tersedia ruang ekspresi yang cukup bagi mereka ? Sudahkah kita semua cukup waktu untuk duduk bersama dengan anak-anak kita, mengajarkan pada mereka bagaimana membangun diri, bagaimana mengekspresikan diri. Kita, para orang tua terlalu sibuk dengan panggung kita sendiri dan lupa bahwa anak-anak kita juga membutuhkan panggung untuk dirinya.

Setelah melihat begitiu besar angka kematian pelajar akibat tawuran, apa yang ada dalam pikiran pelajar ? Apakah mereka lupa tentang siapa diri mereka bagi bangsa ini ? Ataukah para pendahulu dan tetua republik ini tidak pernah mengingatkan tentang siap dan akan menjadi apa mereka di panggung bangsa ini. Pengamat pendidikan dari Univ. Paramadina, Abduhzen mengatakan, ”tawuran ini merupakan ekspresi dari kegelisahan dan ketegangan yang ada di masyarakat, utamanya kaum muda.” Pernyataan senada dari Utomo Danan Jaya, ”Kondisi sosial masyarakat turut mempengaruhi pembentukan karakter pelajar. Para pelajar banyak dipertontonkan perilaku buruk tokoh masyarakat yang seharusnya menjadi teladan.”

Sumber masalahnya dimana ? Pada diri pelajarkah atau pada diri pengelola bangsa ini, atau timpakan kesalahan pada para pendidik dan mereka yang berhubungan dengan pembentukan karakter pelajar ?



Benarlah rupanya bangsa ini sedang terkotak dalam dua gagasan, yang satu berpaling ke masa lalu, sementara yang lain menatap masa depan. Mereka yang berpaling ke masa lalu mengkotakkan diri dalam panggung kekinian, sementara kotak satunya lagi mereka peruntukkan untuk dia yang menatap masa depan menuju panggung yang ia dambakan.
Panggung itu sekarang dipergunakan oleh mereka yang berpaling ke masa lalu. Mereka mengingat-ingat  apa yang telah mereka lakukan, dan dengan siapa mereka lakukan di masa lalu sehingga merasa berhak atas panggung kekinian. Mereka tidak menyisakan sedikit ruang pertunjukan bagi mereka yang berpaling ke masa depan. Panggung besar itu dipenuhi oleh mereka dari masa lalu. Tak ada lagi panggung tersisa bagi si penatap masa depan. Tak ada lagi ruang youth center, tak ada lagi ruang sporthall, ruang-ruang kosong bagi ekspresi muda para relajar telah dipenuhi oleh pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan-hiburan tanpa makna. Sementara para pelajar yang dipersiapkan untuk menatap masa depan tak punya ruang ekspresi antara sebelum masuk panggung utama menggantikan peran yang dimainkan oleh si penatap masa lalu yang berkuasa atas kekinian.

Wahai para penguasa kekinian..! Ingatlah…! Anak-anakmu lah pemilik masa depan. Ingatlah kekinianpun akan runtuh berganti masa depan, sebagaimana masa lalu berakhir dan berganti kekinian. Para relajar kita adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh kehidupan. Mereka pasti akan menuju ke masa depan, mengikuti langkah dengan kepala tegak. Ketidakperdualianmu tidak akan menmghentikan langkah mereka. Panggung-panggung yang engkau penuhi tidak akan membuat mereka kehilangan energi berekspresi. Para pelajar adalah benih yang disemai di sebuah ladang oleh tangan Tuhan yang akan menyeruak dari sekamnya dengan segala kekuatan pertumbuhannya. Ia tidak akan berhenti berekspresi walau kalian tidak menyediakan wadahnya, wadah yang sesuai dengan jiwa pertumbuhannya.

Wahai para penguasa kekinian...! Mengapa engkau gusar ketika para pelajar menjadikan jalan raya sebagai panggung ekspresi energinya ? Mengapa engkau gusar ketika pelajar menjadikan tawuran sebagai medan kompetisinya ? Marilah sama-sama kita renungkan bahwa mereka adalah anak-anak kita yang sedang menatap masa depannya.

Menepilah ! beri ruang yang cukup bagi pelajar di panggung kehidupan agar ia mengekspresikan energi masa depannya, menguatkan dirinya melalui berbagai kompetisi yang terkendali. Jangan biarkan para pelajar, anak-anak kita, anak-anak pemilik masa depan mengalihkan panggung ekspresinya di jalan-jalan raya yang justru menggelisahkan banyak pihak.