SUATU HARI DI PENGADILAN AGAMA

Sabtu, 05 November 2016


               Persoalan rumah tangga adik sepupuku yang berlarut-larut, mengantarkanku hadir di ruang sidang Pengadilan Agama Jakarta Utara. Ia memintaku untuk menjadi saksi gugatan cerai terhadap istri yang telah memberinya 4 orang anak. Sebuah bangunan rumahtangga yang sebenarnya cukup lama. Aku tak tahu persis apa yang mereka rasakan direntang waktu sepuluh tahunan itu. Adakah itu sebuah jejak-jejak kebahagiaan ataukah catatan daya tahan sebuah rumah tangga. Aku tak tahu bagaimana ceritera tentang mereka berawal, tetapi aku sering mendengar bagian-bagian akhir yang tidak harmonis.
kEBERSAMAAN KELUARGA PENGGUGAT DAN SAKSI


            Sejujurnya sempat terpikir bahwa kesaksianku terhadap penggugat seolah-olah ikut serta menceraikan beraikan sebuah bangunan rumah tangga. Tetapi mendengar dan menyaksikan sendiri bagian akhir yang tidak harmonis dari kehidupan rumah tangganya, maka aku sanggupi menjadi saksi. Kesaksianku hanya seputar apa yang aku tahu, apa yang aku lihat dan dengar sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.

            Rabu, 2 Nopember 2016, pukul 8.30 WIB aku sudah berada di gedung Pengadilan, setengah jam lebih awal dari jadwal sidang yang ditentukan. Sementara adik sepupuku baru datang jam 9.00 WIB. Ia datang tepat waktu, tetapi karena itu ia mendapat urutan kesembilan. Kami terpaksa harus berlama-lama di ruang tunggu. Sebenarnya Itu adalah situasi yang tidak mengenakkan, tetapi bagiku ini sebuah peluang bagi telinga yang haus ceritera untuk mendengar dan menyimak bisik-bisik orang orang di sekitar yang sedang bermasalah dengan perkawinannya.


            Kursi-kursi yang tersedia di ruang tunggu penuh, bahkan setelah petugas menambahkan dua baris kursi lagi kebelakang. Terbayang betapa banyaknya rumah tangga yang bermasalah, dan entah berapa angka perceraian hari ini, khususnya di wilayah Jakarta Utara. Seorang ibu muda di belakangku begitu bersemangat menceriterakan kemalasan dan keburukan suaminya kepada bapaknya yang hadir sebagai saksi. Bapaknya yang kurus dengan baju safari abu abu begitu sabar mendengar keluh kesah dan kemarahan anaknya. Telingaku tersentak kaget dan kagum ketika Sang Bapak memberikan jawaban pendek, “kamulah yang tahu bagaimana suamimu, karena kamu yang memilihnya sebagai suami. Sekarang, kalian juga yang akan memutuskan akan bagaimana kelanjutannya.” Kata-kata itu membuat si Ibu Muda terdiam mengontrospeksi diri dan keluarganya.

            Tiba-tiba semua orang terdiam ketika dari pengeras suara terdengar suara berat penuh perintah dari ruang sidang, “ kepada petugas security kami harapkan segera masuk ke ruang sidang..!” Rupanya ada perdebatan dan pertengkaran di ruang sidang yang tidak bisa dikendalikan oleh panelis hakim. Ini biasanya karena ada pihak yang menggugat cerai dan ada pihak lain yang tidak bersedia dicerai. Argumen masing-masing minta di dengar dan dipahami. Kedua-duanya ingin terus berbicara dan kedua-duanya tidak mau saling mendengar. Hakim tak punya banyak waktu untuk mendengar pertengkaran di luar kendali pengadilan, sehingga pihak security terpaksa memaksanya keluar dari ruang sidang. Ha ha tentu akan ada sidang lanjutan di lain waktu dan itu berarti tambahan biaya sidang lagi.

            Tidak tertutup kemungkinan ada orang yang tidak kuat menerima keputusan. Keputusan yang tidak ia harapkan. Ia berharap hakim dapat memahami posisinya dan rumah tangganya akan kembali membaik. Namun keputusan hakim tidak seperti yang ia harapkan. Jika emosinya tidak terkendali dan jantungnya lemah, kemungkinan terburuk dapat terjadi di ruang sidang pengadilan agama. Pantas saja di luar gedung aku melihat terparkir dengan posisi stand bye sebuah mobil ambulance.


            Lain lagi ceritera dua orang ibu yang duduk di sampingku. Sedari tadi ia sibuk mengurusi dua orang anaknya yang masih kecil, berlari diantara para penunggu. Terpikir olehku, ia juga akan mengajukan gugutan cerai sementara anak-anaknya masih kecil kecil. Dengan ramah aku menyapanya, “Ibu urutan sidang keberapa ?”

            “Kami mau minta dispensasi. Sesuai persyaratan usia wanita 16 tahun dan pria 19 tahun ,” Aku mengangguk memahami dan ia kemudian menjelaskan, “ calon wanitanya telah cukup umur, tetapi calon lelakinya baru 18 tahun. Kami akan minta dispensasi untuk diizinkan menikahkan mereka. Ini calon mantu saya, “ katanya menunjuk seorang gadis remaja di samping kirinya.

            “Bagaimana kalau hakim memutuskan agar pernikahannya ditunda tahun depan saja, biar usianya sesuai yang disyaratkan?” tanyaku menggoda.

            “Kalau begitu untuk apa kami minta dispensasi,” protesnya. “Anak-anaknya sudah siap nikah kok….dan kami orang tuanya sudah merestui untuk tahun ini,” katanya menegaskan.

            Baru saja aku tanyakan pengantin prianya, tiba-tiba seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu datang memberi salam dan mencium tangan ibu mantunya. “Ini calon pengantin prianya,’ katanya. Lalu si seragam putih abu-abu memberi salam dan mencium tanganku. “Terimakasih ..om,” begitu ia menjawab ucapan selamatku. Aku masih ingin mencari tahu pertimbangan diri dan keluarganya untuk sebuah pernikahan yang aku anggap dini, namun panggilan untuk masuk ke ruang siding menyudahi rencana investigasiku.

            Lima srikandi pengadil masing masing seorang hakim ketua dan tiga anggota hakim serta seorang panitera duduk di depan meja hijau mempersilahkan kami duduk di hadapannya. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan kepada penggugat, kini tiba giliranku sebagai saksi. Materi kesaksian sudah kupersiapkan secara matang dari rumah. Ceritera-ceritera dramatis yang ironis kuharapkan dapat mempengaruhi pertimbangan hakim sehingga dapat mempercepat proses perceraian yang diharapkan adik sepupuku. Namun kerangka dan alur ceritera yang kupersiapkan tersebut hancur berantakan karena hakim ketua meminta aku berdiri dan mengucapkan sumpah. Sumpah atas nama Allah untuk mengucapkan sesuatu yang benar. Terpaksa aku hanya menjawab apa yang ditanyakan hakim dan melupakan konsep ceritera yang kupersiapkan.

jakarta, 4 Nopember 2016



0 komentar:

Posting Komentar