Persoalan
rumah tangga adik sepupuku yang berlarut-larut, mengantarkanku hadir di ruang
sidang Pengadilan Agama Jakarta Utara. Ia memintaku untuk menjadi saksi gugatan
cerai terhadap istri yang telah memberinya 4 orang anak. Sebuah bangunan
rumahtangga yang sebenarnya cukup lama. Aku tak tahu persis apa yang mereka
rasakan direntang waktu sepuluh tahunan itu. Adakah itu sebuah jejak-jejak
kebahagiaan ataukah catatan daya tahan sebuah rumah tangga. Aku tak tahu
bagaimana ceritera tentang mereka berawal, tetapi aku sering mendengar
bagian-bagian akhir yang tidak harmonis.
kEBERSAMAAN KELUARGA PENGGUGAT DAN SAKSI |
Sejujurnya sempat terpikir bahwa
kesaksianku terhadap penggugat seolah-olah ikut serta menceraikan beraikan
sebuah bangunan rumah tangga. Tetapi mendengar dan menyaksikan sendiri bagian
akhir yang tidak harmonis dari kehidupan rumah tangganya, maka aku sanggupi
menjadi saksi. Kesaksianku hanya seputar apa yang aku tahu, apa yang aku lihat
dan dengar sebagai
bahan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.
Rabu, 2 Nopember 2016, pukul 8.30
WIB aku sudah berada di gedung Pengadilan, setengah jam lebih awal dari jadwal
sidang yang ditentukan. Sementara adik sepupuku baru datang jam 9.00 WIB. Ia
datang tepat waktu, tetapi karena itu ia mendapat urutan kesembilan. Kami
terpaksa harus berlama-lama di ruang tunggu. Sebenarnya Itu adalah situasi yang
tidak mengenakkan, tetapi bagiku ini sebuah peluang bagi telinga yang haus
ceritera untuk mendengar dan menyimak bisik-bisik orang orang di sekitar yang
sedang bermasalah dengan perkawinannya.
Kursi-kursi yang tersedia di ruang
tunggu penuh, bahkan setelah petugas menambahkan dua baris kursi lagi
kebelakang. Terbayang betapa banyaknya rumah tangga yang bermasalah, dan entah
berapa angka perceraian hari ini, khususnya di wilayah Jakarta Utara. Seorang
ibu muda di belakangku begitu bersemangat menceriterakan kemalasan dan
keburukan suaminya kepada bapaknya yang hadir sebagai saksi. Bapaknya yang
kurus dengan baju safari abu abu begitu sabar mendengar keluh kesah dan kemarahan
anaknya. Telingaku tersentak kaget dan kagum ketika Sang Bapak memberikan
jawaban pendek, “kamulah yang tahu bagaimana suamimu, karena kamu yang
memilihnya sebagai suami. Sekarang, kalian juga yang akan memutuskan akan
bagaimana kelanjutannya.” Kata-kata itu membuat si Ibu Muda terdiam
mengontrospeksi diri dan keluarganya.
Tiba-tiba semua orang terdiam ketika
dari pengeras suara terdengar suara berat penuh perintah dari ruang sidang, “
kepada petugas security kami harapkan segera masuk ke ruang sidang..!” Rupanya
ada perdebatan dan pertengkaran di ruang sidang yang tidak bisa dikendalikan
oleh panelis hakim. Ini biasanya karena ada pihak yang menggugat cerai dan ada
pihak lain yang tidak bersedia dicerai. Argumen masing-masing minta di dengar
dan dipahami. Kedua-duanya ingin terus berbicara dan kedua-duanya tidak mau saling
mendengar. Hakim tak punya banyak waktu untuk mendengar pertengkaran di luar
kendali pengadilan, sehingga pihak security terpaksa memaksanya keluar dari
ruang sidang. Ha ha tentu akan ada sidang lanjutan di lain waktu dan itu
berarti tambahan biaya sidang lagi.
Tidak tertutup kemungkinan ada orang
yang tidak kuat menerima keputusan. Keputusan yang tidak ia harapkan. Ia
berharap hakim dapat memahami posisinya dan rumah tangganya akan kembali
membaik. Namun keputusan hakim tidak seperti yang ia harapkan. Jika emosinya
tidak terkendali dan jantungnya lemah, kemungkinan terburuk dapat terjadi di
ruang sidang pengadilan agama. Pantas saja di luar gedung aku melihat terparkir
dengan posisi stand bye sebuah mobil ambulance.
Lain lagi ceritera dua orang ibu
yang duduk di sampingku. Sedari tadi ia sibuk mengurusi dua orang anaknya yang
masih kecil, berlari diantara para penunggu. Terpikir olehku, ia juga akan
mengajukan gugutan cerai sementara anak-anaknya masih kecil kecil. Dengan ramah
aku menyapanya, “Ibu urutan sidang keberapa ?”
“Kami mau minta dispensasi. Sesuai
persyaratan usia wanita 16 tahun dan pria 19 tahun ,”
Aku mengangguk memahami dan ia kemudian menjelaskan, “ calon wanitanya telah
cukup umur, tetapi calon lelakinya baru 18 tahun. Kami akan minta dispensasi
untuk diizinkan menikahkan mereka. Ini calon mantu saya, “ katanya menunjuk
seorang gadis remaja di samping kirinya.
“Bagaimana kalau hakim memutuskan
agar pernikahannya ditunda tahun depan saja, biar usianya sesuai yang
disyaratkan?” tanyaku menggoda.
“Kalau begitu untuk apa kami minta
dispensasi,” protesnya. “Anak-anaknya sudah siap nikah kok….dan kami orang
tuanya sudah merestui untuk tahun ini,” katanya menegaskan.
Baru saja aku tanyakan pengantin
prianya, tiba-tiba seorang lelaki dengan seragam putih abu-abu datang memberi
salam dan mencium tangan ibu mantunya. “Ini calon pengantin prianya,’ katanya.
Lalu si seragam putih abu-abu memberi salam dan mencium tanganku. “Terimakasih ..om,” begitu ia menjawab ucapan selamatku.
Aku masih ingin mencari tahu pertimbangan diri dan keluarganya untuk sebuah
pernikahan yang aku anggap dini, namun panggilan untuk masuk ke ruang siding menyudahi
rencana investigasiku.
Lima srikandi
pengadil masing masing seorang hakim ketua dan tiga anggota hakim serta seorang
panitera duduk di depan meja hijau mempersilahkan kami duduk di hadapannya.
Setelah mengajukan beberapa pertanyaan kepada penggugat, kini tiba giliranku sebagai
saksi. Materi kesaksian sudah kupersiapkan secara matang dari rumah.
Ceritera-ceritera dramatis yang ironis kuharapkan dapat mempengaruhi
pertimbangan hakim sehingga dapat mempercepat proses perceraian yang diharapkan
adik sepupuku. Namun kerangka dan alur ceritera yang kupersiapkan tersebut
hancur berantakan karena hakim ketua meminta aku berdiri dan mengucapkan
sumpah. Sumpah atas nama Allah untuk mengucapkan sesuatu yang benar. Terpaksa aku
hanya menjawab apa yang ditanyakan hakim dan melupakan konsep ceritera yang
kupersiapkan.
jakarta, 4 Nopember 2016
0 komentar:
Posting Komentar