Keinginan
untuk selalu beraktivitas mengantarkanku bergabung dengan teman-teman seniman
di salah satu sanggar seni. Menakar kemampuan diri aku hanya bisa berkecimpung
di dunia teather, itupun tidak pernah berperan sebagai tokoh utama. Lalu dengan
sedikit nekad aku juga ikut kegiatan tari. Lakon tari yang aku mainkan umumnya
tidak terlalu menuntut keluwesan gerak tubuh seperti tari Jawa dan Bali. Semua
kujalani saja sebagai bagian dari aktivitas mencari jati diri.
Hingga
suatu saat aku dijangkiti perasaan senang dan gelisah karena aku terdaftar
sebagai salah satu dari 26 orang tim kesenian tari yang akan mewakili Sulawesi Selatan
dalam Festival Tari Daerah dan Tari Kreasi antar provinsi di Ibukota Jakarta.
Festival ini merupakan kegiatan tahunan dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Aku tentu saja senang karena untuk pertama kali akan menginjakkan
kaki di Jakarta sebagai duta seni provinsi. Namun aku juga gelisah mengingat
kemampuan tariku yang hanya pas-pasan dan harus berkompetisi dengan penari
penari yang mungkin sudah sangat ahli dari berbagai provinsi di Indonesia.
Apalagi seniman-seniman tari dari Bali, Jawa dan Sumatera yang sudah terbiasa
tampil di TVRI dan event event lain.
Pada
waktu itu, tahun 1984 transportasi udara masih sangat mahal, sehingga rombongan
berangkat dengan kapal laut yang jarak tempuhnya dua malam tiga hari.
Keterbatasan anggaran dari sumbangan pemerintah daerah memaksa kami pembeli
tiket ekonomi, tetapi itu lebih menguntungkan karena kami dapat terus bersama-sama
dalam satu palka, berdiskusi dan mematangkan persiapan. Di atas bentangan tikar
ada saja yang kami kerjakan hingga larut malam. Kami tahu penumpang yang lain
merasa terganggu dengan ulah kami. Tetapi mengetahui kami adalah seniman duta
daerah, mereka sedikit terpaksa memakluminya. Bahkan kadang-kadang mereka ikut
nimbrung ngobrol hanya sekedar untuk mengenal kami. Ada sedikit rasa bangga
ketika mereka mulai menanyakan nama, alamat, dan tempat kami menginap. Semua
itu sangat membantu membangun kepercayaan diri kami.
Di
Jakarta, kami ditempatkan di Wisma PHI (Persatuan Haji Indonesia) di daerah
Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ini sebuah wisma yang dipergunakan sebagai asrama
haji ketika musim haji tiba. Maklumlah pada saat itu pemerintah belum membangun
asrama haji khusus seperti di Pondok Gede sekarang. Sementara pada saat itu
Indonesia ditetapkan sebagai negara rawan penyakit endemic, dan pemerintah Arab
Saudi mewajibkan calon jamaah haji Indonesia untuk dikarantina sebelum
berangkat dan sesudah kembali dari ibadah haji.
Di
Wisma PHI, kami bergabung dengan tim tari dari beberapa provinsi wilayah timur.
Tidak heran jika satu kamar kadang diisi oleh tiga sampai empat orang, dan juga
kamar rombongan kami terpisah-pisah. Bagi sebagian besar seniman masalah tempat
tidur bukan menjadi persoalan, yang penting kami leluasa melakukan aktivitas.
Untuk memudahkan konsolidasi dan berkumpul bersama, kami meminta kepada kepala
rumah tangga Wisma PHI agar disediakan satu ruangan sekretariat bersama sehingga
ketika ada informasi dari pihak Wisma dapat disampaikan untuk diteruskan kepada
semua rombongan tari. Usulan tersebut diterima. Namanya saja sekretariat
bersama tetapi aktivitas dalam ruang sekretariat dimonopoli oleh rombongan tari
Sulawesi selatan, sedangkan perwakilan rombongan tari dari daerah lain hanya
sekali-kali saja mampir. Di Wisma PHI ini kami merasa sebagai tuan rumah.
Satu
jam sebelum rombongan tari diberangkatkan ke Taman Ismail Marzuki (TIM),
seluruh rombongan telah berkumpul di lobby. Inilah saatnya Untuk menegaskan
keberadaan kami sebagai tim tari Sulawesi Selatan yang patut diperhitungkan.
Aku segera menyelinap keluar dari Wisma menuju telepon umum kira-kira 200 meter
dari Wisma PHI. Aku kemudian menelpon ke front office Wisma, “Hallo….Saya,
Sophan Sofyan. Tolong segera disampaikan kepada Tim tari dari Sulawesi Selatan
agar sebelum masuk ke arena lomba di TIM, harap menemui Sophan Sofyan di bagian
kanan pintu masuk.”
Kemudian
petugas front office mengumumkan lewat pengeras suara, “Mohon perhatian…mohon
perhatian. Sophan Sopyan menyampaikan pesan agar rombongan tari Sulawesi
Selatan setibanya di Taman Ismail Marzuki, sebelum memasuki gedung harap
menemui Bapak Sophan Sofyan di sisi kanan gerbang masuk TIM.”
0 komentar:
Posting Komentar