ULAH ISENG SENIMAN BIAR POPULER

Senin, 10 Oktober 2016


Keinginan untuk selalu beraktivitas mengantarkanku bergabung dengan teman-teman seniman di salah satu sanggar seni. Menakar kemampuan diri aku hanya bisa berkecimpung di dunia teather, itupun tidak pernah berperan sebagai tokoh utama. Lalu dengan sedikit nekad aku juga ikut kegiatan tari. Lakon tari yang aku mainkan umumnya tidak terlalu menuntut keluwesan gerak tubuh seperti tari Jawa dan Bali. Semua kujalani saja sebagai bagian dari aktivitas mencari jati diri.

Hingga suatu saat aku dijangkiti perasaan senang dan gelisah karena aku terdaftar sebagai salah satu dari 26 orang tim kesenian tari yang akan mewakili Sulawesi Selatan dalam Festival Tari Daerah dan Tari Kreasi antar provinsi di Ibukota Jakarta. Festival ini merupakan kegiatan tahunan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aku tentu saja senang karena untuk pertama kali akan menginjakkan kaki di Jakarta sebagai duta seni provinsi. Namun aku juga gelisah mengingat kemampuan tariku yang hanya pas-pasan dan harus berkompetisi dengan penari penari yang mungkin sudah sangat ahli dari berbagai provinsi di Indonesia. Apalagi seniman-seniman tari dari Bali, Jawa dan Sumatera yang sudah terbiasa tampil di TVRI dan event event lain.

Pada waktu itu, tahun 1984 transportasi udara masih sangat mahal, sehingga rombongan berangkat dengan kapal laut yang jarak tempuhnya dua malam tiga hari. Keterbatasan anggaran dari sumbangan pemerintah daerah memaksa kami pembeli tiket ekonomi, tetapi itu lebih menguntungkan karena kami dapat terus bersama-sama dalam satu palka, berdiskusi dan mematangkan persiapan. Di atas bentangan tikar ada saja yang kami kerjakan hingga larut malam. Kami tahu penumpang yang lain merasa terganggu dengan ulah kami. Tetapi mengetahui kami adalah seniman duta daerah, mereka sedikit terpaksa memakluminya. Bahkan kadang-kadang mereka ikut nimbrung ngobrol hanya sekedar untuk mengenal kami. Ada sedikit rasa bangga ketika mereka mulai menanyakan nama, alamat, dan tempat kami menginap. Semua itu sangat membantu membangun kepercayaan diri kami.

Di Jakarta, kami ditempatkan di Wisma PHI (Persatuan Haji Indonesia) di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ini sebuah wisma yang dipergunakan sebagai asrama haji ketika musim haji tiba. Maklumlah pada saat itu pemerintah belum membangun asrama haji khusus seperti di Pondok Gede sekarang. Sementara pada saat itu Indonesia ditetapkan sebagai negara rawan penyakit endemic, dan pemerintah Arab Saudi mewajibkan calon jamaah haji Indonesia untuk dikarantina sebelum berangkat dan sesudah kembali dari ibadah haji.

Di Wisma PHI, kami bergabung dengan tim tari dari beberapa provinsi wilayah timur. Tidak heran jika satu kamar kadang diisi oleh tiga sampai empat orang, dan juga kamar rombongan kami terpisah-pisah. Bagi sebagian besar seniman masalah tempat tidur bukan menjadi persoalan, yang penting kami leluasa melakukan aktivitas. Untuk memudahkan konsolidasi dan berkumpul bersama, kami meminta kepada kepala rumah tangga Wisma PHI agar disediakan satu ruangan sekretariat bersama sehingga ketika ada informasi dari pihak Wisma dapat disampaikan untuk diteruskan kepada semua rombongan tari. Usulan tersebut diterima. Namanya saja sekretariat bersama tetapi aktivitas dalam ruang sekretariat dimonopoli oleh rombongan tari Sulawesi selatan, sedangkan perwakilan rombongan tari dari daerah lain hanya sekali-kali saja mampir. Di Wisma PHI ini kami merasa sebagai tuan rumah.
Satu jam sebelum rombongan tari diberangkatkan ke Taman Ismail Marzuki (TIM), seluruh rombongan telah berkumpul di lobby. Inilah saatnya Untuk menegaskan keberadaan kami sebagai tim tari Sulawesi Selatan yang patut diperhitungkan. Aku segera menyelinap keluar dari Wisma menuju telepon umum kira-kira 200 meter dari Wisma PHI. Aku kemudian menelpon ke front office Wisma, “Hallo….Saya, Sophan Sofyan. Tolong segera disampaikan kepada Tim tari dari Sulawesi Selatan agar sebelum masuk ke arena lomba di TIM, harap menemui Sophan Sofyan di bagian kanan pintu masuk.”

Kemudian petugas front office mengumumkan lewat pengeras suara, “Mohon perhatian…mohon perhatian. Sophan Sopyan menyampaikan pesan agar rombongan tari Sulawesi Selatan setibanya di Taman Ismail Marzuki, sebelum memasuki gedung harap menemui Bapak Sophan Sofyan di sisi kanan gerbang masuk TIM.”

Pengumuman tersebut diulang berkali-kali. Bukan hanya rombongan tari dari daerah lain yang memperbincangkan relasi hubungan rombongan tari Sul-sel dengan aktor terkenal Sophan Sofyan, teman-teman tim dari Sulawesi Selatan juga terheran-heran dan saling menatap penuh tanya. Ketika aku masuk wisma, teman-teman mulai curiga dan saling sikut sikutan. Mereka saling berbisik, “Ini pasti ulah Patta Nasrah.” 

0 komentar:

Posting Komentar