“Ada
apa dengan lagu “Anak kukang”. Mengapa setiap kali aku mendengarnya, hatiku
serasa teriris-iris dan tanpa sadar meneteskan air mata. Ingatanku selalu saja
pada anakku yang lenyap terhempas gelombang tsunami. Adakah pesan mistis atau misterius pada lyrik
lagu dan alunan musiknya ?” begitu Teuku Sahrir tiba-tiba bertanya saat menelponku di suatu
malam.
Tiga pekan lalu Teuku Sahrir bertamu
ke rumahku. Dua malam kami habiskan waktu berceritera tentang banyak hal sambil
mendengarkan musik lagu-lagu daerah, salah satunya lagu makassar ciptaan Bora
Dg. Irate, berjudul, “Anak kukang”. Lagu tersebut begitu terkesan baginya
sehingga ia meminta diulang-ulang. Ketika akan kembali ke Aceh, ia memohon agar
DVD lagu tersebut diberikan padanya sebagai kenang-kenangan. Saya tentu saja
bangga ada seorang bangsawan Aceh yang senang dengan irama lagu Makassar,
sehingga saya dengan senang hati
memberikannya.
Bagaimana
aku harus menjelaskan pertanyaan sahabatku ini ? ia sepertinya sangat
mengharapkan jawaban. Sebelum aku jelaskan, terlebih dahulu aku translate lyrik
lagu tersebut ke dalam Bahasa Indonesia :
Kukana tuni pela tuni buang
ritamparang
(ku kisahkan diriku yang terbuang, yang di hanyutkan di sungai)
kuni ayukkan rije'ne narampung
tau maraeng
(Saat aku terhanyut, ku ditemukan oleh
Orang lain)
Caddi caddi dudu in'ja nana
pellaka anrongku
(Aku masih sangat kecil, saat ibu membuangku)
Mantang mama ka'leka'le tu'guru
je'nne matanku
(Tinggallah aku sebatang kara, bercucuran air mataku)
Aule sa'resa're na i kukang
sayang
(aduhai
diriku nasib Sianak sebatang kara)
Sa're tenama kucini lino empo
tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).
Aule sa'resa're na i kukang
sayang
(aduhai
diriku nasib Sianak sebatang kara)
Sa're tenama kucini lino empo
tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).
Menyimak isi lyrik lagu Anak Kukang,
tidak banyak ceritera yang terungkap. Tidak jelas bagaimana awalnya ia hidup
sebatangkara dan mengapa ia harus dihanyutkan ke sungai, Namun irama lagu dan
gerak musiknya seperti berceritera banyak,
yang hanya bisa dirasakan ketika seseorang mendengar alunan lagunya
dengan sungguh-sungguh, dan masuk dalam
pusaran gelombang iramanya.
Dengan hati-hati aku coba
menjelaskan makna lagu “Anak kukang”. Pertama-tama aku bertanya padanya,
“Percayakah Teuku ada seorang ibu yang sanggup membuang anak yang ia
lahirkan dengan alasan apapun ?” Tidak
seorang wanitapun yang mampu membuang anaknya kecuali untuk menyelamatkannya.
Kemudian aku membawa ia pada kesilaman. Ingatkah sebuah ceritera historis dan
religious yang termaktub dalam Kitab Suci Al Qur’an ? Ceritera tentang
kelahiran Nabi Musa AS.
Nabi
Musa dilahirkan di Negeri Mesir pada masa pemerintahan Raja Firaun. Raja Firaun
seorang raja yang lalim dan kejam. Waktu itu dikeluarkan undang-undang apabila
ada bayi lahir laki-laki, harus dibunuh dan apabila lahir bayi wanita dibiarkan
hidup saja. Ketika Musa lahir, ibunya takut dan khawatir Musa akan dibunuh oleh
Firaun. Cepat atau lambat kelahiran Musa pasti akan diketahui pihak kerajaan.
Untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan, ibunya menaruh si kecil Musa di dalam
peti kemudian dihanyutkan ke sungai Nil. Akhirnya, peti yang berisi bayi itu
ditemukan oleh Asyiyah istri Firaun. Asyiyah memohon kepada suaminya agar bayi
itu tidak dibunuh, tetapi dijadikan anak angkat saja. Seperti diketahui
kemudian, ibunya jugalah sebagai induk semang yang merawat Musa hingga tumbuh
besar dan menghancurkan kekuasaan Firaun.
Ingat
jugakah Teuku ceritera tentang Sawerigading, sebuah sejarah turunnya manusia
pertama di Luwu yang beberapa orang menganggapnya sebagai ceritera legenda. Terkisah
We Cudai, wanita yang dicintai sawerigading hamil tanpa mengetahui siapa yang
menghamili. Ia mengurung diri di biliknya hingga melahirkan seorang anak lelaki
bernama Lagaligo. Karena takut malu, bayi tersebut dihanyutkan di sungai.
Sawerigading kemudian menemukan bayi tersebut yang ternyata adalah anak
biologisnya. Singkat ceritera akhirnya Lagaligo berhasil menyatu kembali dengan
ibu yang telah membuangnya.
Ingat
pula ceritera dongeng dari rakyat Sumatera Utara berjudul, “Si Tanduk Panjang”.
Sepasang suami istri sangat mendambakan seorang anak lelaki. Setelah menunggu
cukup lama, akhirnya doanya terkabul. Istrinya melahirkan seorang anak lelaki,
tetapi sayang kepalanya bertanduk. Karena malu dan khawatir menjadi cemoohan
orang nantinya, maka orang tua tersebut membuang anaknya dengan menempatkannya
dalam sebuah peti, lalu menghanyutkannya ke sungai. Kakak perempuannya tidak
tega melihat adiknya dihanyutkan. Ia terus mengikuti adiknya hingga menjauh
dari desa asalnya. Setelah menepi dan mendapatkan adiknya tidak bertanduk lagi.
Singkat ceritera anak tersebut kembali ke orang tuanya dengan membawa kekayaan
yang berlimpah.
Itulah
beberapa kisah anak yang dibuang dengan menghanyutkannya di sungai. Mungkin
masih banyak ceritera lain yang sejenis dengan latar belakang dan atmosfir yang
berbeda-beda. Kembali pada lagu, “Anak Kukang”, silahkan sahabatku Teuku Sahrir
menginterpretasikan sendiri mengapa anak kukang itu dibuang dan dihanyutkan oleh
ibunya.
Lagu
“Anak Kukang” itu sendiri berkisah tentang suasana hati seorang anak kecil yang
dihanyutkan. Ia masih kecil, belum punya kemampuan mengatasi persoalan dirinya
sendiri. Kini dia dihanyutkan, hanya sendiri tanpa siapa-siapa. Di langit dan
di kanan kirinya tak tampak siapa-siapa (mantang mamo kale kale), bahkan
ikan-ikan pun tak tahu ada dirinya dalam aliran sungai yang sama. Satu-satunya
suara yang terdengar adalah suara tangisannya sendiri. Air matanya jatuh
bercucuran. Si anak kecil terus mengisahkan dirinya yang sebatangkara. Sebuah
nasib yang tidak ia kehendaki. Sungguh bukan keinginan Si Anak Sebatangkara
untuk menjadi sebatangkara. Tentu kemudian ia tak lagi sebatangkara ketika orang
lain menemukannya. Akan lain ceritera jika si Anak sebatangkara itu tak
ditemukan orang lain. Ia tentu akan terus sebatangkara hingga ke hulu sungai
dan kemudian berakhir di lautan lepas.
Ceriteraku
tak berputus hingga aku menyadari sedang berbicara dengan Teuku Sahrir di
telepon, “Hallo….Teuku….” sapaku untuk memastikan apakah ia masih mendengarku.
“Makasih
Bang Bungko,” jawabnya dengan isak yang tertahan. Lalu telepon di seberang sana
terputus, menyisakan hening.
Jakarta,
1 Desember 2016
0 komentar:
Posting Komentar