ANAK KUKANG (ANAK SEBATANGKARA)

Rabu, 30 November 2016


“Ada apa dengan lagu “Anak kukang”. Mengapa setiap kali aku mendengarnya, hatiku serasa teriris-iris dan tanpa sadar meneteskan air mata. Ingatanku selalu saja pada anakku yang lenyap terhempas gelombang tsunami.  Adakah pesan mistis atau misterius pada lyrik lagu dan alunan musiknya ?” begitu Teuku Sahrir  tiba-tiba bertanya saat menelponku di suatu malam.

            Tiga pekan lalu Teuku Sahrir bertamu ke rumahku. Dua malam kami habiskan waktu berceritera tentang banyak hal sambil mendengarkan musik lagu-lagu daerah, salah satunya lagu makassar ciptaan Bora Dg. Irate, berjudul, “Anak kukang”. Lagu tersebut begitu terkesan baginya sehingga ia meminta diulang-ulang. Ketika akan kembali ke Aceh, ia memohon agar DVD lagu tersebut diberikan padanya sebagai kenang-kenangan. Saya tentu saja bangga ada seorang bangsawan Aceh yang senang dengan irama lagu Makassar, sehingga saya dengan senang hati  memberikannya.

Bagaimana aku harus menjelaskan pertanyaan sahabatku ini ? ia sepertinya sangat mengharapkan jawaban. Sebelum aku jelaskan, terlebih dahulu aku translate lyrik lagu tersebut ke dalam Bahasa Indonesia :

Kukana tuni pela tuni buang ritamparang 
(ku kisahkan diriku yang terbuang, yang di hanyutkan di sungai)

kuni ayukkan rije'ne narampung tau maraeng
 (Saat aku terhanyut, ku ditemukan oleh Orang lain)

Caddi caddi dudu in'ja nana pellaka anrongku
(Aku masih sangat kecil, saat ibu membuangku)

Mantang mama ka'leka'le tu'guru je'nne matanku
(Tinggallah aku sebatang kara, bercucuran air mataku)

Aule sa'resa're na i kukang sayang
(aduhai diriku nasib Sianak sebatang kara)

Sa're tenama kucini lino empo tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).

Aule sa'resa're na i kukang sayang
(aduhai diriku nasib Sianak sebatang kara)

Sa're tenama kucini lino empo tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).


            Menyimak isi lyrik lagu Anak Kukang, tidak banyak ceritera yang terungkap. Tidak jelas bagaimana awalnya ia hidup sebatangkara dan mengapa ia harus dihanyutkan ke sungai, Namun irama lagu dan gerak musiknya seperti berceritera banyak,  yang hanya bisa dirasakan ketika seseorang mendengar alunan lagunya dengan  sungguh-sungguh, dan masuk dalam pusaran gelombang iramanya.

            Dengan hati-hati aku coba menjelaskan makna lagu “Anak kukang”. Pertama-tama aku bertanya padanya, “Percayakah Teuku ada seorang ibu yang sanggup membuang anak yang ia lahirkan  dengan alasan apapun ?” Tidak seorang wanitapun yang mampu membuang anaknya kecuali untuk menyelamatkannya. Kemudian aku membawa ia pada kesilaman. Ingatkah sebuah ceritera historis dan religious yang termaktub dalam Kitab Suci Al Qur’an ? Ceritera tentang kelahiran Nabi Musa AS.

                  Nabi Musa dilahirkan di Negeri Mesir pada masa pemerintahan Raja Firaun. Raja Firaun seorang raja yang lalim dan kejam. Waktu itu dikeluarkan undang-undang apabila ada bayi lahir laki-laki, harus dibunuh dan apabila lahir bayi wanita dibiarkan hidup saja. Ketika Musa lahir, ibunya takut dan khawatir Musa akan dibunuh oleh Firaun. Cepat atau lambat kelahiran Musa pasti akan diketahui pihak kerajaan. Untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan, ibunya menaruh si kecil Musa di dalam peti kemudian dihanyutkan ke sungai Nil. Akhirnya, peti yang berisi bayi itu ditemukan oleh Asyiyah istri Firaun. Asyiyah memohon kepada suaminya agar bayi itu tidak dibunuh, tetapi dijadikan anak angkat saja. Seperti diketahui kemudian, ibunya jugalah sebagai induk semang yang merawat Musa hingga tumbuh besar dan menghancurkan kekuasaan Firaun.

               Ingat jugakah Teuku ceritera tentang Sawerigading, sebuah sejarah turunnya manusia pertama di Luwu yang beberapa orang menganggapnya sebagai ceritera legenda. Terkisah We Cudai, wanita yang dicintai sawerigading hamil tanpa mengetahui siapa yang menghamili. Ia mengurung diri di biliknya hingga melahirkan seorang anak lelaki bernama Lagaligo. Karena takut malu, bayi tersebut dihanyutkan di sungai. Sawerigading kemudian menemukan bayi tersebut yang ternyata adalah anak biologisnya. Singkat ceritera akhirnya Lagaligo berhasil menyatu kembali dengan ibu yang telah membuangnya.

             Ingat pula ceritera dongeng dari rakyat Sumatera Utara berjudul, “Si Tanduk Panjang”. Sepasang suami istri sangat mendambakan seorang anak lelaki. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya doanya terkabul. Istrinya melahirkan seorang anak lelaki, tetapi sayang kepalanya bertanduk. Karena malu dan khawatir menjadi cemoohan orang nantinya, maka orang tua tersebut membuang anaknya dengan menempatkannya dalam sebuah peti, lalu menghanyutkannya ke sungai. Kakak perempuannya tidak tega melihat adiknya dihanyutkan. Ia terus mengikuti adiknya hingga menjauh dari desa asalnya. Setelah menepi dan mendapatkan adiknya tidak bertanduk lagi. Singkat ceritera anak tersebut kembali ke orang tuanya dengan membawa kekayaan yang berlimpah.

            Itulah beberapa kisah anak yang dibuang dengan menghanyutkannya di sungai. Mungkin masih banyak ceritera lain yang sejenis dengan latar belakang dan atmosfir yang berbeda-beda. Kembali pada lagu, “Anak Kukang”, silahkan sahabatku Teuku Sahrir menginterpretasikan sendiri mengapa anak kukang itu dibuang dan dihanyutkan oleh ibunya. 

Lagu “Anak Kukang” itu sendiri berkisah tentang suasana hati seorang anak kecil yang dihanyutkan. Ia masih kecil, belum punya kemampuan mengatasi persoalan dirinya sendiri. Kini dia dihanyutkan, hanya sendiri tanpa siapa-siapa. Di langit dan di kanan kirinya tak tampak siapa-siapa (mantang mamo kale kale), bahkan ikan-ikan pun tak tahu ada dirinya dalam aliran sungai yang sama. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara tangisannya sendiri. Air matanya jatuh bercucuran. Si anak kecil terus mengisahkan dirinya yang sebatangkara. Sebuah nasib yang tidak ia kehendaki. Sungguh bukan keinginan Si Anak Sebatangkara untuk menjadi sebatangkara. Tentu kemudian ia tak lagi sebatangkara ketika orang lain menemukannya. Akan lain ceritera jika si Anak sebatangkara itu tak ditemukan orang lain. Ia tentu akan terus sebatangkara hingga ke hulu sungai dan kemudian berakhir di lautan lepas.

Ceriteraku tak berputus hingga aku menyadari sedang berbicara dengan Teuku Sahrir di telepon, “Hallo….Teuku….” sapaku untuk memastikan apakah ia masih mendengarku.

“Makasih Bang Bungko,” jawabnya dengan isak yang tertahan. Lalu telepon di seberang sana terputus, menyisakan hening.


Jakarta, 1 Desember 2016

0 komentar:

Posting Komentar