Malam
minggu kemarin, 19 Nopember 2016, seorang sahabat mengupload status dalam
bentuk picture di facebook. Isinya :
Atas Berkat
Rohmat Allah Yang Maha Kuasa
Aku Cinta
Indonesia
Karena
Aku Orang
Indonesia
Aku
bukan orang Islam di Indonesia
Tapi
aku orang Indonesia yang beragama Islam.
Aku tahu maksud statusnya untuk
menunjukkan nasionalismenya. Tetapi karena status itu mempersandingkan
nasionalisme dengan spiritualisme, dalam hal ini agama Islam maka timbul kesan,
setidak-tidaknya kesan yang aku tangkap bahwa sahabatku tersebut menomorsatukan
Indonesia dan menomorduakan Agama Islam yang dianutnya. Aku tak tahu status
tersebut merupakan buah pemikirannya yang mendalam atau hanya share dari status
orang lain. Oleh karena itu aku merasa perlu meluruskan, setidak-tidaknya
menyatakan sikapku.
Aku
memberi komentar, “Saya orang Islam yang berdomisili di Indonesia.” Ia kemudian
membalas, “jadi orang Indonesia, siapa?” Aku jawab, “Saya”. Lalu ia kembali
menyanggah, “loh, katanya orang Islam yang berdomisi di Indonesia.” Aku jawab
lagi, “Iya…saya orang Islam, saya orang Indonesia, dan saya bukan orang Jawa
(karena saya orang bugis). Ternyata setelah itu ia malah menganggapku punya
identitas ganda.
Aku bingung apa yang dimaksud
sahabatku ini. Kalau aku orang Indonesia dan juga berkewarganegaraan Belanda,
bisalah disebut identitas kewarganegaraanku ganda. Kalau aku menganut dua agama
secara bersamaan, bisa pula disebut identitas keagamaanku ganda. Kalau aku
lelaki yang berkelakuan kewanita-wanitaan, aku terima saja jika dikatakan
beridentitas ganda. Tetapi kalau aku menyatakan diri sebagai orang Islam, dan
juga menyatakan diri sebagai orang Indonesia, tentu ini dua hal yang berbeda,
tidak dapat dikatakan berstatus ganda. Pernyataan pertama tentang identitas
keagamaanku dan pernyataan kedua adalah tentang status kewarganegaan atau
status kebangsaanku.
Secara umum pengertian identitas
adalah ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada diri seorang pribadi yang
menjadi ciri khas atau warna dirinya. Identitas seseorang sering dihubungkan
dengan atribut yang disematkan kepada individu yang sebenarnya sangat majemuk. Identitas jenis kelamin (lelaki atau wanita) yang hadir
secara kodrati pada seseorang sehinga ia memiliki nama tertentu yang
membedakankan dengan seseorang lainnya ternyata bergandengan dengan
identitas-identitas kodrati lain yang mungkin tak dapat ia tolak sejak lahir,
seperti Marga yang melekat pada namanya, suku, ras, kasta, kebangsaan dan
keyakinan agama yang dianutnya. Disamping itu melekat pula identitas yang
bersifat nin kodrati yang bisa ia lahirkan dari berbagai aktivitas dan usahanya
seperti status ekonomi, pendidikan, dan strata sosialnya. Seorang lelaki muslim
warga negara Indonesia adalah bersuku bangsa Bugis dan pada saat yang sama
kelas menengah, kelas terdidik dan pemuka masyarakat serta dikenal sebagai
jutawan.
Sahabatku itu terus saja mengejar komitmen nasionalisme
kebangsaanku. Ia kemudian mengajukan ilustrasi seandainya bangsa Indonesia
dipimpin dan dikuasai oleh non Islam dan hampir semua penduduknya non Islam,
bagaimana posisi anda ?
Secara emosional akhirnya saya menjawab, “ seandainya saya
harus memilih, saya merasa lebih baik meninggalkan status kebangsaan saya
daripada harus kehilangan status keyakinan saya sebagai seorang muslim. Seseorang
bisa saja pindah kewarganegaraannya, tetapi saya tidak bersedia menukar
keyakinan agama saya dibawah ancaman apapun”
Ungkapan emosional tersebut bukanlah ucapan yang membabi
buta. Ungkapan emosional itu sesungguhnya dilandasi oleh pemikiran yang
rasional. Menurutku identitas agama jauh lebih penting darpada identitas
nasional dan identitas lainnya. Identitas agama memberikan anda rasionalitas
dalam menentukan pilihan, Identitas agama bertumpuh pada tanggungjawab kita
atas apa yang kita perbuatan dan apa yang kita putuskan. Tanggungjawab untuk
memeluk agama tertentu tidak dapat diwakilkan oleh siapapun. Berbeda dengan
identitas kebangsaan, etnis dan ras. Kita dilahirkan di suatu daerah dan wilayah negara tertentu bukan atas kemauan
kita.
Identitas agama yang rasional merupakan penghubung antara
umat Islam dan umat beragama lainnya yang terbangun dari aspek-aspek universal
keagamaan. Secara internal umat Islam terhubung antara umat islam di suatu
negara dengan negara lainnya. Terhubung melalui kesamaan bahasa dalam sholat,
kesamaan arah menghadap kiblat, kesamaan sholat lima waktu, kesamaan berpuasa
di bulan Ramadhan, kesamaan kewajiban dalam berzakat, serta berhaji di temat
yang sama. Kesamaan-kesamaan itulah yang menyatukan umat Islam seluruh dunia,
kebersaudaraan itu tidak dapat disekat oleh perbedaan ras dan batas negara.
Jakarta, 26 Nopember 2016
0 komentar:
Posting Komentar