IDENTITAS AGAMA DAN IDENTITAS KEBANGSAAN

Sabtu, 26 November 2016


Malam minggu kemarin, 19 Nopember 2016, seorang sahabat mengupload status dalam bentuk picture di facebook. Isinya :

Atas Berkat Rohmat Allah Yang Maha Kuasa
Aku Cinta Indonesia
Karena
Aku Orang Indonesia
Aku bukan orang Islam di Indonesia
Tapi aku orang Indonesia yang beragama Islam.

            Aku tahu maksud statusnya untuk menunjukkan nasionalismenya. Tetapi karena status itu mempersandingkan nasionalisme dengan spiritualisme, dalam hal ini agama Islam maka timbul kesan, setidak-tidaknya kesan yang aku tangkap bahwa sahabatku tersebut menomorsatukan Indonesia dan menomorduakan Agama Islam yang dianutnya. Aku tak tahu status tersebut merupakan buah pemikirannya yang mendalam atau hanya share dari status orang lain. Oleh karena itu aku merasa perlu meluruskan, setidak-tidaknya menyatakan sikapku. 

Aku memberi komentar, “Saya orang Islam yang berdomisili di Indonesia.” Ia kemudian membalas, “jadi orang Indonesia, siapa?” Aku jawab, “Saya”. Lalu ia kembali menyanggah, “loh, katanya orang Islam yang berdomisi di Indonesia.” Aku jawab lagi, “Iya…saya orang Islam, saya orang Indonesia, dan saya bukan orang Jawa (karena saya orang bugis). Ternyata setelah itu ia malah menganggapku punya identitas ganda.

            Aku bingung apa yang dimaksud sahabatku ini. Kalau aku orang Indonesia dan juga berkewarganegaraan Belanda, bisalah disebut identitas kewarganegaraanku ganda. Kalau aku menganut dua agama secara bersamaan, bisa pula disebut identitas keagamaanku ganda. Kalau aku lelaki yang berkelakuan kewanita-wanitaan, aku terima saja jika dikatakan beridentitas ganda. Tetapi kalau aku menyatakan diri sebagai orang Islam, dan juga menyatakan diri sebagai orang Indonesia, tentu ini dua hal yang berbeda, tidak dapat dikatakan berstatus ganda. Pernyataan pertama tentang identitas keagamaanku dan pernyataan kedua adalah tentang status kewarganegaan atau status kebangsaanku.

            Secara umum pengertian identitas adalah ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada diri seorang pribadi yang menjadi ciri khas atau warna dirinya. Identitas seseorang sering dihubungkan dengan atribut yang disematkan kepada individu yang sebenarnya sangat majemuk. Identitas jenis kelamin (lelaki atau wanita) yang hadir secara kodrati pada seseorang sehinga ia memiliki nama tertentu yang membedakankan dengan seseorang lainnya ternyata bergandengan dengan identitas-identitas kodrati lain yang mungkin tak dapat ia tolak sejak lahir, seperti Marga yang melekat pada namanya, suku, ras, kasta, kebangsaan dan keyakinan agama yang dianutnya. Disamping itu melekat pula identitas yang bersifat nin kodrati yang bisa ia lahirkan dari berbagai aktivitas dan usahanya seperti status ekonomi, pendidikan, dan strata sosialnya. Seorang lelaki muslim warga negara Indonesia adalah bersuku bangsa Bugis dan pada saat yang sama kelas menengah, kelas terdidik dan pemuka masyarakat serta dikenal sebagai jutawan.

Sahabatku itu terus saja mengejar komitmen nasionalisme kebangsaanku. Ia kemudian mengajukan ilustrasi seandainya bangsa Indonesia dipimpin dan dikuasai oleh non Islam dan hampir semua penduduknya non Islam, bagaimana posisi anda ? 

Secara emosional akhirnya saya menjawab, “ seandainya saya harus memilih, saya merasa lebih baik meninggalkan status kebangsaan saya daripada harus kehilangan status keyakinan saya sebagai seorang muslim. Seseorang bisa saja pindah kewarganegaraannya, tetapi saya tidak bersedia menukar keyakinan agama saya dibawah ancaman apapun” 

Ungkapan emosional tersebut bukanlah ucapan yang membabi buta. Ungkapan emosional itu sesungguhnya dilandasi oleh pemikiran yang rasional. Menurutku identitas agama jauh lebih penting darpada identitas nasional dan identitas lainnya. Identitas agama memberikan anda rasionalitas dalam menentukan pilihan, Identitas agama bertumpuh pada tanggungjawab kita atas apa yang kita perbuatan dan apa yang kita putuskan. Tanggungjawab untuk memeluk agama tertentu tidak dapat diwakilkan oleh siapapun. Berbeda dengan identitas kebangsaan, etnis dan ras. Kita dilahirkan di suatu daerah dan  wilayah negara tertentu bukan atas kemauan kita.

Identitas agama yang rasional merupakan penghubung antara umat Islam dan umat beragama lainnya yang terbangun dari aspek-aspek universal keagamaan. Secara internal umat Islam terhubung antara umat islam di suatu negara dengan negara lainnya. Terhubung melalui kesamaan bahasa dalam sholat, kesamaan arah menghadap kiblat, kesamaan sholat lima waktu, kesamaan berpuasa di bulan Ramadhan, kesamaan kewajiban dalam berzakat, serta berhaji di temat yang sama. Kesamaan-kesamaan itulah yang menyatukan umat Islam seluruh dunia, kebersaudaraan itu tidak dapat disekat oleh perbedaan ras dan batas negara.


Jakarta, 26 Nopember 2016

0 komentar:

Posting Komentar