Siswa Penjual Kue
Suma memberesi dagangannya. Roti dan kue yang tidak laku ia
simpan dengan rapih dalam kotak kardus dan dibawanya bersama buku-bukunya masuk
ke dalam kelas. Guru-guru mengerti bahwa Suma adalah anak yang membelanjai
dirinya sendiri belajar sejak sekolah dasar sampai SMP. Ia anak yang patuh,
rajin dan pintar sehingga bukan saja disayangi oleh guru-gurunya tetapi juga
disenangi oleh teman-temannya. Taka da di antara kawan kawannya yang sampai
hati untuk mengejek apalagi mengambil dagangannya tanpa bayar.
Kalau dipikir umurnya yang telah meningkat remaja, mestinya
ia sudah malu berjualan, apalagi pembeli-pembelinya adalah teman teman
sekolahnya sendiri. Sampai pada suatu hari seorang anak baru, gadis yang
lumayan parasnya, masuk sekolah sebagai pindahan dari sebuah SMP di ibukota
kabupaten. Karena parasnya yang cantic dan cara berpakaiannya yang sedikit
modern anak baru itu bersifat angkuh.
Baru seminggu Lina, demikian nama gadis itu, masuk sekolah,
seluruh kelas telah merasakan keangkuhannya. Bahkan Suma untuk pertama kalinya
mendapat ejekan. Mungkin sebelum itu ada teman-teman yang mentertawakannya,
tetapi tertawaan itu tidak sampai ke telinganya. Tetapi sekarang apa yang ia
dapati dari Lina adalah ejekan angsung yang benar-benar menyadarkan dirinya. Ia
sadar bagaimana ia yang sudah berumur 15 tahun masih harus berjualan kue. Kalau
ia menjual kue di tempat lain, di luar gedung sekolah tentu tidak menjadi
persoalan. Tetapi berjualan di kalangan teman-temannya sendiri sungguh terasa
memalukan. Untuk pertama kalinya ia sadar akan harga dirinya dan ia bertekad
akan bethenti berjualan kue.
Ia tahu bahwa besok teman-temannya yang baik hati akan
bertanya, mengapa ia berhenti berjualan kue, dan ia memutuskan untuk tidak
menjawab alasan sebenarnya. Ia akan mencari jawaban mengelak. Kecuali kepada
ibunya ia akan berterus terang.
Ketika lonceng sekolah tanda pulang berbunyi, ia membagi
bagikan kue yang belum laku kepada teman-temannya. Teman-temannya pada heran
apa yang terjadi dengan Suma sehingga membagi-bagikan dagangannya secara Cuma-Cuma.
Sedangkan kotak kardusnya ia masukkan ke bak sampah. Ia berpikir-pikir apa
penerimaan ibunya nanti jika ia menyampaikan niatnya untuk berhenti berdagang.
Ibunya sudah tua dan pengidap penyakit asma. Dari hasil dagangannya
kadang-kadang dipakai berobat ke puskesmas pembantu, tetapi karena pengobatan
secara tidak teratur maka penyakit ibunya senantiasa kambuh dan kambuh lagi.
Terbayang pada Suma bagaimana wanita yang paling
disayanginya akan tecengang mendengar keputusannya. Suma, disamping sekolah
juga merupakan tiang rumah tangga sejak
ibunya sakit dan tidak dapat keluar berjualan secara kredit.
Bersambung….
0 komentar:
Posting Komentar