TENTANG SEORANG KAWAN (MUSTAIN HARUN)

Selasa, 18 November 2014


Mustain Harun, biasa dipanggil Stein adalah sosok pencinta hidup yang selalu riang dan mudah bergaul, tetapi juga penuh kekonyolan. Dengan modal kecerdasannya, setamat dari SMA Negeri 3 Gorontalo pada tahun 1980 ia diterima di Universitas Hasanuddin, Makassar. Di tempat inilah kami berbaur dan menjalani suka duka sebagai mahasiswa.


Sebagaimana umumnya mahasiswa perantau, hidup dan aktivitas Stein banyak bergantung pada kiriman wesel dari orang tuanya di Gorontalo. Tetapi keadaan yang tidak mencukupi itu tidak terlalu merisaukannya karena ia mudah bergaul dan menyatu dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya yang umumnya berasal dari kota Makassar. Dengan modal rajin beraktivitas dan penguasaan berbagai keterampilan seni ia selalu hadir dan mengisi berbagai kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Setidak-tidaknya dengan kegiatan seperti itu ia bisa mendapatkan uang saku tambahan.

Banyak kekonyolan-kekonyolan yang sering ia lakukan. Ia dapat saja berbuat konyol tanpa merasa bersalah. justru teman-temannya yang sering malu karena kekonyolannya hadir kadang tanpa diduga-duga. Tetapi ia tidak pernah sungguh-sungguh bermaksud untuk menyakiti atau membuat temannya kurang nyaman. semua teman dapat menerimanya dengan baik. Tidak heran jika namanya begitu populer di kampus dan terlalu banyak ceritera konyol yang menarik untuk diceriterakan ulang.

Suatu kali Stein mendapat kiriman wesel dari orang tuanya, itupun terlambat dari waktu biasanya. Mukanya mengkerut melihat nilai rupiah yang tertera tidak seperti yang ia harapakan, padahal kebutuhannya untuk semester tersebut sangat banyak. Tanpa pikir panjang ia segera mengirim telegram ke orang tuanya, bukan mengucapkan terimakasih atas kiriman weselnya. Ia menulis telegram berbunyi, ”Nyanda begini cara bunuh anak.., papa.”

Pernah pula di suatu siang kami bertiga merasa lapar tetapi uang yang tersedia tidak memadai untuk makan di restoran. Setiap kali melihat tempat makan, kami kalkulasi cukup tidaknya anggaran yang ada dan memutuskan untuk mencari tempat makan yang lebih murah. Tiba kami di warung tenda penjual coto. Itupun masih kami ragukan cukupnya uang yang ada pada kami. Akhirnya Stein berinisiatif masuk terlebih dahulu menanyakan harga coto dan ketupatnya. Keluar dari tenda ia berteriak ke arah kami yang agak jauh dari warung. ”Coto saja sudah empat ratus, belum lagi ketupatnya.” Kami berdua tentu saja segera berlari menghindar karena malu dilihat oleh orang-orang yang tengah makan di warung, sementara ia dengan santainya berlalu pergi dan menemui kami. Biasanya kalau sudah kepepet begitu kami ke kampus mencari makan, setidaknya ada yang mentraktir atau bisa makan dan bayarnya besok.

Stein adalah sosok yang memiliki banyak keterampilan. Salah satunya ia pandai memangkas rambut hanya dengan modal gunting kertas sekalipun. Akulah salah seorang yang sering memanfaatkan keterampilan, tentu saja pangkas rambut gratis. Hasil pangkasannya lumayan bagus dan rapih. Tapi cara ia memangkas rambut temannya sungguh sangat konyol. Bayangkan ia kadang menarik rambut seenaknya hanya untuk mendengar temannya meng, ”aduhhh”, atau ia meminta agar kepala kita miring kekiri dengan cara mengetuk gagang gunting pada kepala kita. Dan ketika kita marah dengan ulahnya. ia dengan ringan hanya mengatakan, ”mau diteruskan atau tidak”. Ya terpaksa terima saja penderitaan yang ia ciptakan.

Mungkin semua teman punya ceritera sendiri-sendiri  tentang kekonyolan Mustain Harun. Kalau saja ada teman yang mau menghimpun ceritera-ceritera kekonyolan Stein, mungkin ia akan menjadi satu buku memori tersendiri. Setelah sarjana kami masing-masing berpisah dan tidak berkomunikasi lagi. 20 tahun kemudian kami dipertemukan lewat media sosial, Facebook. Setelah melihat photo-photo terbarunya, Stein tampak tidak berubah. Masih mudah untuk mengenalinya sebagai Stein. Satu-satunya yang tampak berubah adalah rambutnya yang semakin licin di depan. Aku berpikir ini tentu hukum karma karena semasa mahasiswa sering mengetok kepala tean-temannya dengan gunting.

Aku rindu kekonyolanmu, Stein..! Tetapi mengapa kamu semakin pelit berkata-kata di media sosial.

 Zulkomar

Jakarta, 18/11/2014

1 komentar:

  1. Unknown mengatakan...:

    "Nyanda begini cara bunuh anak...papa" hahaha, kekonyolan itu sebagai gimicks kehidupan seseorang, yang akan melekat dalam ingatan kita menjadi rindu untuk bertemu lagi Hidup penuh dengan kenangan, sarat dengan cerita. Saya suka ini.

Posting Komentar