Mustain Harun, biasa dipanggil Stein adalah sosok pencinta hidup yang
selalu riang dan mudah bergaul, tetapi juga penuh kekonyolan. Dengan modal
kecerdasannya, setamat dari SMA Negeri 3 Gorontalo pada tahun 1980 ia diterima
di Universitas Hasanuddin, Makassar. Di tempat inilah kami berbaur dan
menjalani suka duka sebagai mahasiswa.
Sebagaimana umumnya mahasiswa perantau, hidup dan aktivitas Stein banyak
bergantung pada kiriman wesel dari orang tuanya di Gorontalo. Tetapi keadaan
yang tidak mencukupi itu tidak terlalu merisaukannya karena ia mudah bergaul
dan menyatu dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya yang umumnya berasal dari kota Makassar.
Dengan modal rajin beraktivitas dan penguasaan berbagai keterampilan seni ia
selalu hadir dan mengisi berbagai kegiatan-kegiatan kemahasiswaan. Setidak-tidaknya
dengan kegiatan seperti itu ia bisa mendapatkan uang saku tambahan.
Banyak kekonyolan-kekonyolan yang sering ia lakukan. Ia dapat saja berbuat
konyol tanpa merasa bersalah. justru teman-temannya yang sering malu karena
kekonyolannya hadir kadang tanpa diduga-duga. Tetapi ia tidak pernah
sungguh-sungguh bermaksud untuk menyakiti atau membuat temannya kurang nyaman.
semua teman dapat menerimanya dengan baik. Tidak heran jika namanya begitu
populer di kampus dan terlalu banyak ceritera konyol yang menarik untuk
diceriterakan ulang.
Suatu kali Stein mendapat kiriman wesel dari orang tuanya, itupun terlambat
dari waktu biasanya. Mukanya mengkerut melihat nilai rupiah yang tertera tidak
seperti yang ia harapakan, padahal kebutuhannya untuk semester tersebut sangat
banyak. Tanpa pikir panjang ia segera mengirim telegram ke orang tuanya, bukan
mengucapkan terimakasih atas kiriman weselnya. Ia menulis telegram berbunyi, ”Nyanda
begini cara bunuh anak.., papa.”
Pernah pula di suatu siang kami bertiga merasa lapar tetapi uang yang
tersedia tidak memadai untuk makan di restoran. Setiap kali melihat tempat
makan, kami kalkulasi cukup tidaknya anggaran yang ada dan memutuskan untuk
mencari tempat makan yang lebih murah. Tiba kami di warung tenda penjual coto.
Itupun masih kami ragukan cukupnya uang yang ada pada kami. Akhirnya Stein
berinisiatif masuk terlebih dahulu menanyakan harga coto dan ketupatnya. Keluar
dari tenda ia berteriak ke arah kami yang agak jauh dari warung. ”Coto saja
sudah empat ratus, belum lagi ketupatnya.” Kami berdua tentu saja segera
berlari menghindar karena malu dilihat oleh orang-orang yang tengah makan di
warung, sementara ia dengan santainya berlalu pergi dan menemui kami. Biasanya
kalau sudah kepepet begitu kami ke kampus mencari makan, setidaknya ada yang
mentraktir atau bisa makan dan bayarnya besok.
Stein adalah sosok yang memiliki banyak keterampilan. Salah satunya ia
pandai memangkas rambut hanya dengan modal gunting kertas sekalipun. Akulah
salah seorang yang sering memanfaatkan keterampilan, tentu saja pangkas rambut
gratis. Hasil pangkasannya lumayan bagus dan rapih. Tapi cara ia memangkas
rambut temannya sungguh sangat konyol. Bayangkan ia kadang menarik rambut
seenaknya hanya untuk mendengar temannya meng, ”aduhhh”, atau ia meminta agar
kepala kita miring kekiri dengan cara mengetuk gagang gunting pada kepala kita.
Dan ketika kita marah dengan ulahnya. ia dengan ringan hanya mengatakan, ”mau
diteruskan atau tidak”. Ya terpaksa terima saja penderitaan yang ia ciptakan.
Mungkin semua teman punya ceritera sendiri-sendiri tentang kekonyolan Mustain Harun. Kalau saja
ada teman yang mau menghimpun ceritera-ceritera kekonyolan Stein, mungkin ia
akan menjadi satu buku memori tersendiri. Setelah sarjana kami masing-masing
berpisah dan tidak berkomunikasi lagi. 20 tahun kemudian kami dipertemukan
lewat media sosial, Facebook. Setelah melihat photo-photo terbarunya, Stein tampak
tidak berubah. Masih mudah untuk mengenalinya sebagai Stein. Satu-satunya yang
tampak berubah adalah rambutnya yang semakin licin di depan. Aku berpikir ini
tentu hukum karma karena semasa mahasiswa sering mengetok kepala tean-temannya
dengan gunting.
Aku rindu kekonyolanmu, Stein..! Tetapi mengapa kamu semakin pelit
berkata-kata di media sosial.
Zulkomar
Jakarta, 18/11/2014
"Nyanda begini cara bunuh anak...papa" hahaha, kekonyolan itu sebagai gimicks kehidupan seseorang, yang akan melekat dalam ingatan kita menjadi rindu untuk bertemu lagi Hidup penuh dengan kenangan, sarat dengan cerita. Saya suka ini.