MUTIARA DALAM LUMPUR (HUKUM)

Selasa, 05 November 2013


Ruang pengadilan bagi kebanyakan orang adalah ruang angker yang harus dihindari, Bagaimana tidak, persepsi masyarakat, pengadilan adalah ruang untuk mengadili mereka-mereka yang melanggar hukum dan tempat dimana mereka yang berperkara mencari dan menemukan keadilan. Namun dalam praktek yang secara telanjang disaksikan oleh publik, keadilan itu tidak pernah di temukan di ruang pengadilan.

Secara berseloroh putri bungsu saya berargumen bahwa itu karena timbangan yang dijadikan lambang keadilan adalah timbangan jadul  yang tingkat keakuratannya sangat lemah. Apalagi pada dasar timbangan jadul itu telah dipenuhi debu dan daki serta telah termakan oleh zaman. Coba ayah usulkan agar lambangan keadilan itu diganti dengan timbangan digital yang biasa kami pergunakan di laboratorium sekolah, khususnya laboratorium kimia. Timbangan keadilannya sangat tepat dan adil. Sebagai orang tua saya harus membenarkan pendapatnya dengan sebuah anggukan. 

Lihatlah bagaimana peradilan kita terkesan menyegerakan dan membesar-besarkan kan hal-hal kecil, tetapi melambatkan dan menyepelekan hal-hal besar hingga berlarut-larut. Masih ingatkah kita soal pengadilan di Palu terhadap bocah 15 tahun karena mencuri sandal Briptu Ahmad Rusdi Harahap, seorang kakek, Rawi 66 tahun di Sinjai, Sulawesi Selatan terancam hukuman karena mencuri segenggam merica, PN Denpasar yang memvonis bersalah anak kecil yang menjambret rp. 1.000,-.

Bandingkan bagaimana ruang pengadilan terkesan lamban dan lembek menegakkan prinsip hukum kepada para pelaku korupsi. Jari-jari tangan ini tidak cukup untuk menghitung kasus korupsi yang dibebaskan dan kemudian terbukti adanya penyelewengan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum, bahkan oleh hakim agung sekalipun. Pengadilan bukan lagi tempat untuk mencari dan menegakkan keadilan, melainkan telah menjelma menjadi ruang untuk memenangkan perkara dengan berbagai cara halus dan kasar, walau secara kasat mata jelas pelanggaran hukumnya. Ironisnya bukan hanya pengacara yang memperjuangkan kliennya untuk memenangkan perkara, bahkan penyidik, jaksa penuntut umum, dan hakim berjuang pula untuk memenangkan perkara, akibatnya yang selalu kalah adalah negara. Negara ini di keroyok secara massif oleh pelaku-pelaku di ruang pengadilan. Mereka adalah sebuah persekongkolan jahat yang bernama mafia peradilan/hukum yang menggerogoti negara.

Negara benar-benar dibuat geram selama hampir 40 tahun. Itulah sebabnya pada awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Presiden SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, disamping keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu pelaku korupsi kelas kakap yang ternyata banyak dilakukan oleh anggota legislatif dan pejabat publik eselon I, II, dan III serta walikota dan bupati di beberapa daerah.
Wajah peradilan kita bukan hanya buram tetapi memang telah menjadi kubangan lumpur. Tetapi bukan berarti bangsa ini harus menyerah dan pasrah dengan keadaan itu. Bukankah di tengah masyarakat yang baik selalu saja ada yang berpikiran picik, dan di tengah masyarakat yang rusak selalu saja masih ada yang berpikiran baik. Begitupun di tengah lumpur hukum, tentu masih ada mutiara yang berharga di dalamnya. Seperti berita yang aku temukan di profil facebook POLRES SIDOARJO. Ini katanya kasus nyata yang terjadi di Kota Sidoarjo. Berikut kisahnya.

Di ruang sidang pengadilan, seorang hakim duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang ditruduh mencuri singkong. Nenek ini berdalih bahwa hiduonya miskin, anak lelakinya sakit, dan cucunya kelaparan. Namun seorang lelaki yang merupakan manajer dari PT yang memiliki perkebunan singkong tetap pada tuntutannya, dengan alasan agar menjadi contoh bagi warga lainnya.

Hakim menghela nafas dan berkata, “maafkan saya, bu”, katanya sambil memandang nenek itu. “Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda anda Rp. 1 juta dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU”.

Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Namun tiba-tiba hakim mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp. 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada hadirin yang berada di ruang sidang. “Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini, sebesar Rp. 50 ribu, karena menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya”. Hakim kemudian berdiri dan berkata, “Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa.

Sebelum palu diketuk nenek itu telah mendapatkan sumbangan uang sebanyak Rp. 3,5 juta dan sebagian telah dibayarkan ke panitera pengadilan untuk membayar dendanya. Setelah itu dia pulang dengan wajah penuh kebahagiaan dan haru dengan membawa sisa uang termasuk Rp. 50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT yang menuntutnya.

Si nenek datang ke pengadilan sebagai terdakwa dan di dalam ruang pengadilan ia mendapatkan keadilan dari putusan pengadilan yang dipimpin oleh hakim yang adil. Inilah peradilan yang ideal dimana putusan pengadilan bak “putusan Tuhan” yang memiliki keadilan. Pengadilan yang dipimpin oleh hakim yang memposisikan diri sebawai “ wakil Tuhan” di bumi. Jika anda tak pernah mendengar berita atau kisah nenek ini, anda dapat berkesimpulan bawa wajah hukum yang berkubang lumpur adalah berita, sedangkan mutiara dalam lumpur bukan berita. 

BUNG KOMAR
(Telah dimuat di Majalah "Nusa Khatulistiwa" Edisi tahun 2012)

0 komentar:

Posting Komentar