Ruang pengadilan bagi kebanyakan orang adalah
ruang angker yang harus dihindari, Bagaimana tidak, persepsi masyarakat,
pengadilan adalah ruang untuk mengadili mereka-mereka yang melanggar hukum dan
tempat dimana mereka yang berperkara mencari dan menemukan keadilan. Namun
dalam praktek yang secara telanjang disaksikan oleh publik, keadilan itu tidak
pernah di temukan di ruang pengadilan.
Secara berseloroh putri bungsu saya
berargumen bahwa itu karena timbangan yang dijadikan lambang keadilan adalah
timbangan jadul yang tingkat
keakuratannya sangat lemah. Apalagi pada dasar timbangan jadul itu telah
dipenuhi debu dan daki serta telah termakan oleh zaman. Coba ayah usulkan agar
lambangan keadilan itu diganti dengan timbangan digital yang biasa kami
pergunakan di laboratorium sekolah, khususnya laboratorium kimia. Timbangan
keadilannya sangat tepat dan adil. Sebagai orang tua saya harus membenarkan
pendapatnya dengan sebuah anggukan.
Lihatlah bagaimana peradilan kita terkesan
menyegerakan dan membesar-besarkan kan hal-hal kecil, tetapi melambatkan dan
menyepelekan hal-hal besar hingga berlarut-larut. Masih ingatkah kita soal
pengadilan di Palu terhadap bocah 15 tahun karena mencuri sandal Briptu Ahmad
Rusdi Harahap, seorang kakek, Rawi 66 tahun di Sinjai, Sulawesi Selatan
terancam hukuman karena mencuri segenggam merica, PN Denpasar yang memvonis
bersalah anak kecil yang menjambret rp. 1.000,-.
Bandingkan bagaimana ruang pengadilan
terkesan lamban dan lembek menegakkan prinsip hukum kepada para pelaku korupsi.
Jari-jari tangan ini tidak cukup untuk menghitung kasus korupsi yang dibebaskan
dan kemudian terbukti adanya penyelewengan hukum yang dilakukan oleh para
penegak hukum, bahkan oleh hakim agung sekalipun. Pengadilan bukan lagi tempat
untuk mencari dan menegakkan keadilan, melainkan telah menjelma menjadi ruang
untuk memenangkan perkara dengan berbagai cara halus dan kasar, walau secara
kasat mata jelas pelanggaran hukumnya. Ironisnya bukan hanya pengacara yang
memperjuangkan kliennya untuk memenangkan perkara, bahkan penyidik, jaksa
penuntut umum, dan hakim berjuang pula untuk memenangkan perkara, akibatnya
yang selalu kalah adalah negara. Negara ini di keroyok secara massif oleh
pelaku-pelaku di ruang pengadilan. Mereka adalah sebuah persekongkolan jahat
yang bernama mafia peradilan/hukum yang menggerogoti negara.
Negara benar-benar dibuat geram selama hampir
40 tahun. Itulah sebabnya pada awal pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) II, Presiden SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum,
disamping keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terus memburu
pelaku korupsi kelas kakap yang ternyata banyak dilakukan oleh anggota
legislatif dan pejabat publik eselon I, II, dan III serta walikota dan bupati
di beberapa daerah.
Wajah peradilan kita bukan hanya buram tetapi
memang telah menjadi kubangan lumpur. Tetapi bukan berarti bangsa ini harus
menyerah dan pasrah dengan keadaan itu. Bukankah di tengah masyarakat yang baik
selalu saja ada yang berpikiran picik, dan di tengah masyarakat yang rusak
selalu saja masih ada yang berpikiran baik. Begitupun di tengah lumpur hukum,
tentu masih ada mutiara yang berharga di dalamnya. Seperti berita yang aku
temukan di profil facebook POLRES SIDOARJO. Ini katanya kasus nyata yang
terjadi di Kota Sidoarjo. Berikut kisahnya.
Di ruang sidang pengadilan, seorang hakim
duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang ditruduh
mencuri singkong. Nenek ini berdalih bahwa hiduonya miskin, anak lelakinya
sakit, dan cucunya kelaparan. Namun seorang lelaki yang merupakan manajer dari
PT yang memiliki perkebunan singkong tetap pada tuntutannya, dengan alasan agar
menjadi contoh bagi warga lainnya.
Hakim menghela nafas dan berkata, “maafkan
saya, bu”, katanya sambil memandang nenek itu. “Saya tak dapat membuat
pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum. Saya mendenda
anda Rp. 1 juta dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara
2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU”.
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk
redam. Namun tiba-tiba hakim mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian
mengambil dan memasukkan uang Rp. 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada
hadirin yang berada di ruang sidang. “Saya atas nama pengadilan, juga
menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini, sebesar Rp.
50 ribu, karena menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai
harus mencuri untuk memberi makan cucunya”. Hakim kemudian berdiri dan berkata,
“Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu
berikan semua hasilnya kepada terdakwa.
Sebelum palu diketuk nenek itu telah
mendapatkan sumbangan uang sebanyak Rp. 3,5 juta dan sebagian telah dibayarkan
ke panitera pengadilan untuk membayar dendanya. Setelah itu dia pulang dengan
wajah penuh kebahagiaan dan haru dengan membawa sisa uang termasuk Rp. 50 ribu
yang dibayarkan oleh manajer PT yang menuntutnya.
BUNG KOMAR
(Telah dimuat di Majalah "Nusa Khatulistiwa" Edisi tahun 2012)
0 komentar:
Posting Komentar