CHATTING ITU TAK PERNAH ADA

Selasa, 05 November 2013
“Kringgggg”

Telepon tersambung. Dari ujung sana mengalun perih sebuah lagu dari kesilaman yang entah. Tak ada iringan musik band, hanya ada petikan getir dan suara gerimis di luar seolah mengantar dan mengiringi nada dan lirik kepedihan.

 “Pernah ada rasa cinta/ Antara kita kini tinggal kenangan/ Ingin kulupakan Semua tentang dirimu/ Namun tak lagi yang seperti dirimu oh bintangku./ Jauh kau pergi Meninggalkan diriku/ Di sini aku merindukan dirimu/ Ingin kucoba mencari penggantimu/ Namun tak lagi yang seperti dirimu oh kekasih.”

Telepon terputus, dan aku terdiam kaku seolah tidak menyadari tengah berada di rimba mana. Lagu itu terasa amat mistis, datang dari kegelapan kabut senja meniti kisah lewat gerimis. Petir menyambar dan semua yang berada dalam pandangan mataku hanyalah warna putih yang pucat. Ada rasa takut yang menjalari  tubuhku dan rasa sesal mengapa aku harus menelepon sebuah nomor yang diberikan oleh seorang wanita lewat inbox di Facebook.

“Hai…! Masih betah di Pelataran Sunyi”

“Ya, harus betah. Hanya ini akun yang aku punya” aku menjawab inbox-nya dengan datar saja.

“Aku akan selalu mengenalmu, walau kau bertopeng sekalipun.”

“Pelataran Sunyi itulah nama penaku, bahkan sebelum berkecimpung di Facebook, aku sudah mempergunakan nama itu. Syukurlah kalau kamu sudah mengenalnya, dengan demikian kita akan lebih nyaman sharing berbagai persoalan.” Jawabku agak serius.

“Setahun yang lalu kita bertemu dan hati ini selalu bersamamu. Aku tidak dapat mendustai perasaanku. Hanya kamu, kamu, dan kamu saja yang selalu aku kangeni.”

Aku merasa tidak pernah bertemu dengan teman FB siapapun apalagi wanita, kecuali saudara, sahabat dan teman kuliah yang sudah aku kenal sebelumnya. Jadi aku pikir wanita ini tengah chatting dengan beberapa teman dan salah mengirimkan pesannya padaku, “kamu pasti salah kirim.”

“Ingat janji kita setahun yang lalu. Kau tentu masih ingat, Kang. Di atas truk tentara kita habiskan waktu bersama, bersenda gurau, berkasih dan bermanja, berjalan mengelilingi kota Bandung. Itu masa yang tidak bisa hilang dari ingatanku.”

Aku merasa wanita di seberang ini sedang chatting dengan kekasihnya, tetapi salah mengirimkan pesannya. Atau mungkin nama akunku sama dengan nama akun kekasihnya. Aku merasa perlu meluruskan sebelum ia berbicara banyak, “Kamu salah mengirim pesan. Aku, Pelataran Sunyi dan belum pernah bertemu denganmu. Periksa kembali chatt boxmu,” pintaku.

“Begitu cepat kau melupakan semua hal tentang kita. Sementara aku tidak sedetikpun melupakanmu. Kau adalah jawaraku. Sudah kucoba berteman dengan yang lain tetapi hanya kau saja yang ada di hatiku” ia terus menulis tidak pedulikan kebingunganku.

“Sebutlah satu nama agar aku mengingat siapa diriku,” kataku mencoba mengungkapkan siapa sebenarnya kekasih yang dia maksud.

“Tidak peduli kau itu Pelataran Sunyi, Penyair bersiku, Senandung Angin, Sang Bintang, atau nama apapun yang kau pakai, aku hanya mengenalmu sebagai jawaraku. Tidak peduli bagaimana bentukmu dan siapa namamu. Aku merasakan, KAU,”

Aku mulai jengkel dengan teka-teki ini tetapi juga tidak tega berkata kasar atau memutuskan percakapan. “SEBUT SATU NAMA. AKU INI SIAPA MENURUTMU ?” mulai menunjukan rasa kesalku dengan menuliskan huruf kapital.

“Kau adalah jawaraku, Hanya kau yang bisa menaklukkan dan memiliki hatiku. Hari ini genap setahun engkau menghilang dariku. Saat itu kita menghabiskan malam di hari kasih sayang. Kita mencurahkan semua rasa, aku berikan semua yang patut aku berikan dan kita larut dalam percintaan yang takkan terlupa seumur hidupku. Apakah semua keindahan itu kau lupakan ?”

“Baiklah. Aku menunggumu, walaupun aku tidak tahu siapa diriku di matamu. Temuilah aku..!” kataku memberi kesan membuka diri agar semua menjadi jelas kemana arah permainan yang diinginkan oleh wanita di seberang sana. Aku berpikir bahwa dia sedang membangun sebuah ceritera dan menggali inspirasi dari percakapan inbox. “Sebenarnya, apa yang sedang kamu lakukan?”

“Aku sedang menangis, dan itu karena kamu. Dimana aku harus menemuimu ? Di langitkah ? dalam angan-angankah ? Setahun kau seperti di telan bumi”

“Kita tidak saling mengenal secara personal, tidak pernah bertemu. Berikan no HP mu agar aku menghubungimu dan semua menjadi jelas.” Kemudian dengan tangan agak bergetar menekan delapan digit angka pada tuts handphoneku. Terdengar nada dering lagu, “Tinggal Kenangan” mengalun menyayat. Dengan sabar dan perasaan agak aneh aku menunggu suara dari ujung sana, tetapi hingga nada dering berakhir yang aku dapatkan hanya suara telepon yang terputus.

Aku periksa kembali nomor yang kuhubungi, mencocokkan dengan nomor yang dia berikan lewat inbox, nomornya benar. Aku menghubunginya kembali, tetapi hanya mendapat jawaban, “Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.” Aku menghubungi berkali-kali dan tetap mendapatkan jawaban yang sama dari operator.
Kutatap kembali percakapan chatting, tetapi percakapan itu sudah tidak ada, padahal aku merasa tidak pernah menghapusnya. Kalaupun dia yang menghapus percakapan kami tadi, tentu percakapan di akunku masih ada. Aku semakin tidak mengerti dan berusaha mencari jawaban dengan masuk mengintip ke dindingnya.

Di beranda akunya aku membaca status terakhirnya tertanggal 14 Februari 2011, tepat setahun yang lalu.

Tahun lalu engkau pergi meninggalkanku setelah semua yang ada padaku kuserahkan padamu dengan segenap cinta. Kini saatnya untuk menyusulmu. Mungkin cinta kita tempatnya bukan di bumi ini.”

Tadi, dengan siapa aku chatting ????????????????

Jakarta, 5 Maret 2013
Dalam Catatan Facebook Bungko Dewa



0 komentar:

Posting Komentar