Tersiarlah kabar pada hari senin, 8
Juni 2015 pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham menyerahkan draf
rancangan KUHP kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya ini menjadi
kabar gembira bagi pengembangan sistim hukum di Indonesia, karena bangsa ini
akan memiliki KUHP terbaru, yang akan menggantikan KUHP lama yang telah usang dan
tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Namun ternyata penyerahan draf
rancangan KUHP tersebut menimbulkan reaksi publik terutama dari tokoh-tokoh
yang memahami seluk beluk hukum dan konsekuensi juridis dalam penerapannya.
Setelah ditelisik, ternyata dalam 786
pasal KUHP baru yang diajukan pemerintah terdapat dua pasal yang mengusik
ketenteraman kebebasan berpolitik, kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat
dan kebebasan berekspesi dan bersikap terhadap pemerintah. Kedua pasal tersebut
adalah tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebenarnya
siapapun tidak boleh menghina dan dihinakan. Masalahnya bagaimana
mendefinisikan penghinaan itu sebagai sebuah penghinaan yang disengaja untuk
menghina. Sejarah panjang demokrasi bangsa ini memberi pelajaran bahwa apapun
yang kita katakan dan lakukan yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah maka
dapat dikatakan sebagai penghinaan. Bahkan jika kita tidak menghormati presiden
sebagaimana layak perhormatan yang layak diterima, itupun dapat dikatakan
sebagai penghinaan terhadap wibawa dan kehormatan presiden.
Lihatlah draf penjelasan pasal 263,
disebutkan; “menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau
martabat presiden atau wakil presiden di depan umum.” Kemudian draf pasal 264
mendefinisikan penghinaan sebagai “ mempertunjukkan, menempelkan tulisan,
memperdengarkan rekaman, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil
presiden.” Begitu lenturnya kedua pasal penghinaan presiden tersebut akan
membuat siapapun merasa tidak punya ruang yang jelas untuk mengritik dan
memberikan pandangan terhadap pemerintah.
Pandangan kalangan DPR sendiri masih
pro kontra soal pasal penghinaan presiden. Para pengamat dan ahli hukum
berpandangan bahwa menghadirkan kembali pasal penghinaan presiden ini adalah
sebuah langkah mundur dalam berdemokrasi. Namun demikian Hendropriyono, relawan
Jokowi dan Fraksi PDIP mendukung lahirnya kembali pasal penghinaan presiden
ini. menurut Wicipto, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan
HAM, upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden bukan untuk
membungkam kebebasan berpendapat. Pasal serupa justru untuk melindungi harkat,
martabat, dan kehormatan presiden serta wakil presiden sebagai simbol negara.
Dinginnya reaksi publik akar rumput
terhadap masuknya pasal penghinaan presiden ini dalam rancangan KUHP baru, mendorong
Majalah Tempo No. 00024 Edisi 10 – 16 Agustus 2015 dalam rubrik opini, hal. 26
tampil dengan judul agak nakal, “Pasal
Zombie Mengancam Demokrasi.” Kemudian pada halaman 70 – 71 “Melempar Jerat Penghina Presiden”
dilanjutkan ke hal. 72 dengan judul, “Sama-Sama Pasal Karet”. Pada cover
depanpun Majalah Tempo sudah menampilkan judul di bagian atas, “Pasal Zombie Bagi Penghina Presiden.”.
Tidak cukup sampai disitu, Majalah Tempo melemparkan jajak pendapat pada hal. 9
dengan pertanyaan, “Apakah anda setuju pasal penghinaan presiden masuk RUU KUHP
?”
Mengapa saya katakana judul ini agak
nakal ? Kita tahu dari berbagai media dan film-film horror, Zombie adalah
adalah manusia yang sudah mati ataun dimatikan kemudian dihidupkan kembali
untuk menyerang semua orang, tidak pandang lelaki dan perempuan, tua dan muda,
bahkan anak-anak yang ada di sekitarnyapun ia serang dengan cara yang sangat
mematikan. Itulah Zombie. Itulah yang ingin disampaikan oleh Majalah Tempo. Ini
salah satu kalimat awalnya, “Langkah
pemerintah mengajukan kembali pasal penghinaan presiden dalam rancangan baru
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sungguh langkah mundur. Mahkamah
Konstitusi pernah membatalkan pasal ini pada tahun 2006 dengan alasan bertentangan
dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berpendapat. Jika sekarang
pemerintah mengajukan lagi “pasal mayit” itu dalam bungkus KUHP baru, langkah
ini tak ubahnya menghidupkan zombie untuk menakut-nakuti siapa saja yang
dianggap menghina presiden.”
Pilihan diksi pada judul pemberitaan
Majalah Tempo tersebut sungguh suatu hal yang nakal dan cerdas. Dikatakan nakal
karena terminologi pasal zombie itu tidak lazim diucapkan dan dituliskan, tidak
lazim di telinga publik, tidak lazim dalam pemahaman masyarakat, tetapi Majalah
Tempo dalam ulasannya meyakinkan bahwa Pasal Zombie yang dimaksud itu sungguh-sungguh
ada dalam rancangan KUHP baru. Saya katakana cerdas karena Majalah Tempo
membaca reaksi publik yang dingin-dingin saja menyikapi hadirnya pasal
penghinaan presiden.
Saya yakin Majalah Tempo tidak
bermaksud memprovokasi masyarakat, tidak juga bermaksud menakut-nakuti publik
dengan istilah “pasal zombie”. Majalah Tempo hanya ingin menyampaikan bahwa
kedua pasal tentang penghinaan presiden dalam rancangan KUHP baru itu benar
adalah sesuatu yang menakutkan bagi suara dan sikap kritis masyarakat sekaligus
mencoba meraba bagaimana sesungguh sikap publik terhadap pasal penghinaan
presiden tersebut. Terbukti kemudian pada penerbitan Majalah Tempo berikutnya, Nomor
00025, Edisi 17 – 23 Agustus 2015 pada halaman 10 ditamopillakn hasil jajak
pendapat masyarakat yang 73 persen tidak setuju pasal penghinaan presiden masuk
dalam rancangan KUHP baru, dan 26,5 persen menyatakan setuju. Bagaimana kelanjutan
pasal ini dan bagaimana wakil-wakil rakyat membaca kekhawatiran publik,
selebihnya kita serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Jakarta, 3 September 2015
0 komentar:
Posting Komentar