PASAL ZOMBIE, DIKSI NAKAL MAJALAH TEMPO

Rabu, 02 September 2015


Tersiarlah kabar pada hari senin, 8 Juni 2015 pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham menyerahkan draf rancangan KUHP kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Seharusnya ini menjadi kabar gembira bagi pengembangan sistim hukum di Indonesia, karena bangsa ini akan memiliki KUHP terbaru, yang akan menggantikan KUHP lama yang telah usang dan tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Namun ternyata penyerahan draf rancangan KUHP tersebut menimbulkan reaksi publik terutama dari tokoh-tokoh yang memahami seluk beluk hukum dan konsekuensi juridis dalam penerapannya.

Setelah ditelisik, ternyata dalam 786 pasal KUHP baru yang diajukan pemerintah terdapat dua pasal yang mengusik ketenteraman kebebasan berpolitik, kebebasan berbicara, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspesi dan bersikap terhadap pemerintah. Kedua pasal tersebut adalah tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Sebenarnya siapapun tidak boleh menghina dan dihinakan. Masalahnya bagaimana mendefinisikan penghinaan itu sebagai sebuah penghinaan yang disengaja untuk menghina. Sejarah panjang demokrasi bangsa ini memberi pelajaran bahwa apapun yang kita katakan dan lakukan yang tidak sesuai dengan harapan pemerintah maka dapat dikatakan sebagai penghinaan. Bahkan jika kita tidak menghormati presiden sebagaimana layak perhormatan yang layak diterima, itupun dapat dikatakan sebagai penghinaan terhadap wibawa dan kehormatan presiden.

Lihatlah draf penjelasan pasal 263, disebutkan; “menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat presiden atau wakil presiden di depan umum.” Kemudian draf pasal 264 mendefinisikan penghinaan sebagai “ mempertunjukkan, menempelkan tulisan, memperdengarkan rekaman, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.” Begitu lenturnya kedua pasal penghinaan presiden tersebut akan membuat siapapun merasa tidak punya ruang yang jelas untuk mengritik dan memberikan pandangan terhadap pemerintah.

Pandangan kalangan DPR sendiri masih pro kontra soal pasal penghinaan presiden. Para pengamat dan ahli hukum berpandangan bahwa menghadirkan kembali pasal penghinaan presiden ini adalah sebuah langkah mundur dalam berdemokrasi. Namun demikian Hendropriyono, relawan Jokowi dan Fraksi PDIP mendukung lahirnya kembali pasal penghinaan presiden ini. menurut Wicipto, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden bukan untuk membungkam kebebasan berpendapat. Pasal serupa justru untuk melindungi harkat, martabat, dan kehormatan presiden serta wakil presiden sebagai simbol negara.

Dinginnya reaksi publik akar rumput terhadap masuknya pasal penghinaan presiden ini dalam rancangan KUHP baru, mendorong Majalah Tempo No. 00024 Edisi 10 – 16 Agustus 2015 dalam rubrik opini, hal. 26 tampil dengan judul agak nakal, “Pasal Zombie Mengancam Demokrasi.” Kemudian pada halaman 70 – 71 “Melempar Jerat Penghina Presiden” dilanjutkan ke hal. 72 dengan judul, “Sama-Sama Pasal Karet”.  Pada cover depanpun Majalah Tempo sudah menampilkan judul di bagian atas, “Pasal Zombie Bagi Penghina Presiden.”. Tidak cukup sampai disitu, Majalah Tempo melemparkan jajak pendapat pada hal. 9 dengan pertanyaan, “Apakah anda setuju pasal penghinaan presiden masuk RUU KUHP ?”

Mengapa saya katakana judul ini agak nakal ? Kita tahu dari berbagai media dan film-film horror, Zombie adalah adalah manusia yang sudah mati ataun dimatikan kemudian dihidupkan kembali untuk menyerang semua orang, tidak pandang lelaki dan perempuan, tua dan muda, bahkan anak-anak yang ada di sekitarnyapun ia serang dengan cara yang sangat mematikan. Itulah Zombie. Itulah yang ingin disampaikan oleh Majalah Tempo. Ini salah satu kalimat awalnya, “Langkah pemerintah mengajukan kembali pasal penghinaan presiden dalam rancangan baru Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sungguh langkah mundur. Mahkamah Konstitusi pernah membatalkan pasal ini pada tahun 2006 dengan alasan bertentangan dengan konstitusi, yang menjamin kebebasan berpendapat. Jika sekarang pemerintah mengajukan lagi “pasal mayit” itu dalam bungkus KUHP baru, langkah ini tak ubahnya menghidupkan zombie untuk menakut-nakuti siapa saja yang dianggap menghina presiden.

Pilihan diksi pada judul pemberitaan Majalah Tempo tersebut sungguh suatu hal yang nakal dan cerdas. Dikatakan nakal karena terminologi pasal zombie itu tidak lazim diucapkan dan dituliskan, tidak lazim di telinga publik, tidak lazim dalam pemahaman masyarakat, tetapi Majalah Tempo dalam ulasannya meyakinkan bahwa Pasal Zombie yang dimaksud itu sungguh-sungguh ada dalam rancangan KUHP baru. Saya katakana cerdas karena Majalah Tempo membaca reaksi publik yang dingin-dingin saja menyikapi hadirnya pasal penghinaan presiden.

Saya yakin Majalah Tempo tidak bermaksud memprovokasi masyarakat, tidak juga bermaksud menakut-nakuti publik dengan istilah “pasal zombie”. Majalah Tempo hanya ingin menyampaikan bahwa kedua pasal tentang penghinaan presiden dalam rancangan KUHP baru itu benar adalah sesuatu yang menakutkan bagi suara dan sikap kritis masyarakat sekaligus mencoba meraba bagaimana sesungguh sikap publik terhadap pasal penghinaan presiden tersebut. Terbukti kemudian pada penerbitan Majalah Tempo berikutnya, Nomor 00025, Edisi 17 – 23 Agustus 2015 pada halaman 10 ditamopillakn hasil jajak pendapat masyarakat yang 73 persen tidak setuju pasal penghinaan presiden masuk dalam rancangan KUHP baru, dan 26,5 persen menyatakan setuju. Bagaimana kelanjutan pasal ini dan bagaimana wakil-wakil rakyat membaca kekhawatiran publik, selebihnya kita serahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.


Jakarta, 3 September 2015

0 komentar:

Posting Komentar