Suatu waktu, kapan
waktunya sungguh aku lupa. Aku hanya ingat waktu itu malam minggu ketika
kusempatkan untuk bergabung bersama teman-teman di Graha Bhakti Budaya Taman
Ismail Marzuki (TIM) menyaksikan Lakon Satire berjudul, “Maling Kondang” yang
disutradarai oleh Yusril Katil. Tadinya aku pikir lakon ini mengadopsi ceritera
masyhur Malin Kundang, ceritera si anak durhaka dari Sumatera Barat yang
terjebak dalam kesombongan kekayaan yang didapatkannya di rantau, Tetapi
ternyata dipertengahan lakon tampak jelas bahwa lakon ini berceritera tentang para
maling berdasi di bumi Indonesia. Maling (Koruptor) yang justru menjadi kondang
karena jabatan dan kekayaannya.
Cerita asli Malin
Kundang mengisahkan anak durhaka yang mengkhianati cinta ibu kandungnya,
sedangkan lakon Maling Kondang berceritera soal anak serakah yang mengkhianati
ibu pertiwi, mengkhianati bangsa, dan mengkhianati kepercayaan yang diberikan
padanya dengan melakukan berbagai tindakan korupsi untuk memperkaya diri
sendiri.
Koruptor di Indonesia benar-benar adalah si Maling
Kondang. Lihat maling-maling berdasi itu adalah orang-orang yang kondang dan
dikenal luas oleh publik, para wakil rakyat, pejabat pemerintahan daerah,
pejabat tinggi di kementerian dan lembaga negara, pengusaha-pengusaha besar,
para petinggi partai politik, dan pejabat-pejabat yang dipercaya mengelola
keuangan. Mereka bahkan menjadi lebih kondang setelah ditetapkan oleh pengadilan
sebagai maling. Sorot kamera merekam jelas senyum si Maling Kondang dengan
lambaian tangan kepada publik. Mereka pikir publik menyenanginya dan iapun
menyemangati publik untuk tidak perlu takut menjadi koruptor kondang dengan
lambaian tangannya.
Ibu pertiwi tentu
sangat kecewa melihat anak kandung bangsanya telah mengkhianati segala
kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ketika ibu pertiwi yang diwakili oleh
para penyelidik dan penyidik mempertanyakan soal darimana ia mendapatkan uang
yang begitu banyak, maka Maling Kondang akan berdalih cerdas bersama
pengacaranya. Ibu pertiwi sangat yakin akan kebohongan anak bangsanya, tetapi
si Maling Kondang tidak kalah meyakinkannya berbohong. Kalau ibu pertiwi habis
kesabaran, naluri kemaafannyapun bisa sirna dan ibu pertiwi akan mengutuk si
Maling Kondang menjadi batu. Adakah
kondisi seperti begini yang perlu kita tunggu untuk menuntaskan pemberantasan
korupsi ?
Jakarta, 23 Sept 2015
0 komentar:
Posting Komentar