MENUNTUT KAMAR BELAJAR
Rumah kami tidaklah mewah tetapi
cukup pantas sebagai sebuah rumah keluarga. Ada teras, ruang tamu yang besar,
ruang makan, dapur, kamar utama dan dua kamar lainnya. Namun karena kami
termasuk keluarga besar, kamar-kamar yang tersedia disesaki oleh tempat tidur,
rak pakaian dan kasur-kasur tambahan, mengingat satu kamar ditempati dua sampai
tiga orang. Di samping itu, orang tua kami juga membangun kamar-kamar kontrakan
di samping rumah utama. Kalau kebetulan ada kamar kontrakan yang kosong kami
bisanya leluasa tidur dan beraktivitas dengan saudara-saudara, paman dan tante
yang menumpang di rumah. Dua tahun belakangan ini kamar-kamar kontrakan
tersebut selalu berisi sehingga kami hanya bisa bercengkeramah di ruang tamu
atau di meja makan.
Saat itu aku sudah kelas 3 SMA
dan sebentar lagi akan menempuh ujian akhir dan bersiap untuk masuk perguruan
tinggi. Untuk itu aku perlu belajar lebih serius dengan penuh konsentrasi.
Biasanya aku hanya punya kesempatan belajar di meja makan, itupun setelah meja
makan dirapihkan. Tetapi lebih sering meja makan masih penuh dengan makanan
hingga pagi hari. Sementara untuk belajar di ruang tamu aku sering merasa
terganggu karena hampir semua anggota keluarga berkumpul dan ngobrol di ruang
tamu, belum lagi suara televisi dan komentar-komentar mereka. Untuk belajar
dalam kamarpun aku tidak leluasa karena paman teman aku sekamar lebih dominan
menguasai tempat, buku-bukuku terhambur di lantai. praktis selama ini aku hanya
mengandalkan belajar sungguh-sungguh di sekolah.
Khawatir nilai ujianku anjlok dan
gagal masuk perguruan tinggi, aku sampaikan kepada orang tua keinginanku untuk
punya kamar sendiri lengkap dengan tempat tidur dan meja belajar karena ingin
berkonsentrasi belajar menjelang akhir SLA. Orang tuaku hanya menanggapi dingin
dan mengatakan, “untuk belajar, seorang pelajar hanya membutuhkan buku
pelajaran dan keinginan untuk belajar. Ayah sudah memenuhi kebutuhan buku-buku,
dari buku tulis hingga buku cetak dan alat kelengkapan alat tulismu. Adapun
keinginan untuk belajar berpulang pada dirimu. dimanapun orang bisa belajar.
Lihat saja bagaimana ayahmu….bahkan ketika masuk kamar kecil untuk buang air
besar sekalipun, ayah sempatkan belajar dengan membawa surat kabar ke dalam
kamar kecil.”
Sebagai anak tertua aku tidak
punya hak jawab. tadinya aku ingin menjawab bahwa ayah masuk ke kamar kecil
bukan untuk belajar, melainkan untuk buang air besar. Tetapi menjawab petuah
orang tua akan dianggap tidak sopan dan tidak hormat. Aku pendam saja
kekecewaan itu. Ayah hampir tak punya waktu memperhatikan keseharianku. Ia
berangkat kerja pagi dan pulang malam hari. beliau tidak lagi memperhatikan
bagaimana kondisi keseharianku. Baginya yang terpenting nilai raport cukup
bagus dan ia yakin bahwa aku cukup cerdas di sekolah.
Tidak tenang belajar di rumah,
mulailah aku keluar malam. Orang tuaku tidak tahu kapan aku tidur dan bangun
serta bagaimana aku tidur. Malam ini aku punya rencana yang mungkin beresiko
besar. Aku pulang jam 01 malam. Aku bisa saja lewat pintu belakang dan langsung
tidur. tetapi aku memilih lewat depan dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian
ayahku membuka dan ia sejenak terperanjat melihat aku pulang larut malam. “Jam
berapa ini ?” tanyanya. “Jam 01” jawabku sambil nyelonong ke kamar belakang.
Keesokan harinya, hal yang sama
aku lakukan lagi. Keluar malam dan pulang larut malam. Kembali aku mengetuk
pintu depan. Kembali ayahku membuka pintu karena kamar utama memang berada di
depan. Pintunya tidak dibuka lebar, badan ayahku masih menutup ruang yang
membuka. “selalu pulang larut malam, darimana saja ? “Tanya ayahku dengan suara
yang lebih keras.
“Dari rumah teman.”
“Bikin apa di rumah teman ?”
“Belajar.”
“Mengapa tidak belajar di rumah
saja atau panggil temannya ke rumah ?”
“Tidak ada tempat belajar.
Bagaimana mau mengajak teman belajar di rumah, untuk belajar sendiri saja tidak
ada tempat.”
“Masuk !” Perintah ayahku
menurunkan volume suaranya.
Esoknya, kulihat ayahku memanggil salah seorang penyewa. Aku merasa
ayahku mulai khawatir dengan kebiasaanku keluar malam. Apalagi pada saat itu
sekitar tahun 70-an sedang marak-maraknya remaja kecanduan narkoba. Ayahku
takut kalau –kalau aku menjadi terbiasa menikmati malam di luar rumah dan tidak
bisa ia kontrol lagi. Aku sebenarnya tidak mau membuat ayahku khawatir dengan
keadaanku. Kelakuanku keluar malam sebenarnya bukanlah kebiasaan, melainkan
sengaja aku lakukan agar diberikan kamar pribadi dimana aku bisa belajar dengan
tenang dan mengurus segala keperluanku sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar