KENAKALAN KREATIF

Selasa, 18 Agustus 2015


MENUNTUT KAMAR BELAJAR

Rumah kami tidaklah mewah tetapi cukup pantas sebagai sebuah rumah keluarga. Ada teras, ruang tamu yang besar, ruang makan, dapur, kamar utama dan dua kamar lainnya. Namun karena kami termasuk keluarga besar, kamar-kamar yang tersedia disesaki oleh tempat tidur, rak pakaian dan kasur-kasur tambahan, mengingat satu kamar ditempati dua sampai tiga orang. Di samping itu, orang tua kami juga membangun kamar-kamar kontrakan di samping rumah utama. Kalau kebetulan ada kamar kontrakan yang kosong kami bisanya leluasa tidur dan beraktivitas dengan saudara-saudara, paman dan tante yang menumpang di rumah. Dua tahun belakangan ini kamar-kamar kontrakan tersebut selalu berisi sehingga kami hanya bisa bercengkeramah di ruang tamu atau di meja makan.

Saat itu aku sudah kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan menempuh ujian akhir dan bersiap untuk masuk perguruan tinggi. Untuk itu aku perlu belajar lebih serius dengan penuh konsentrasi. Biasanya aku hanya punya kesempatan belajar di meja makan, itupun setelah meja makan dirapihkan. Tetapi lebih sering meja makan masih penuh dengan makanan hingga pagi hari. Sementara untuk belajar di ruang tamu aku sering merasa terganggu karena hampir semua anggota keluarga berkumpul dan ngobrol di ruang tamu, belum lagi suara televisi dan komentar-komentar mereka. Untuk belajar dalam kamarpun aku tidak leluasa karena paman teman aku sekamar lebih dominan menguasai tempat, buku-bukuku terhambur di lantai. praktis selama ini aku hanya mengandalkan belajar sungguh-sungguh di sekolah.

Khawatir nilai ujianku anjlok dan gagal masuk perguruan tinggi, aku sampaikan kepada orang tua keinginanku untuk punya kamar sendiri lengkap dengan tempat tidur dan meja belajar karena ingin berkonsentrasi belajar menjelang akhir SLA. Orang tuaku hanya menanggapi dingin dan mengatakan, “untuk belajar, seorang pelajar hanya membutuhkan buku pelajaran dan keinginan untuk belajar. Ayah sudah memenuhi kebutuhan buku-buku, dari buku tulis hingga buku cetak dan alat kelengkapan alat tulismu. Adapun keinginan untuk belajar berpulang pada dirimu. dimanapun orang bisa belajar. Lihat saja bagaimana ayahmu….bahkan ketika masuk kamar kecil untuk buang air besar sekalipun, ayah sempatkan belajar dengan membawa surat kabar ke dalam kamar kecil.”

Sebagai anak tertua aku tidak punya hak jawab. tadinya aku ingin menjawab bahwa ayah masuk ke kamar kecil bukan untuk belajar, melainkan untuk buang air besar. Tetapi menjawab petuah orang tua akan dianggap tidak sopan dan tidak hormat. Aku pendam saja kekecewaan itu. Ayah hampir tak punya waktu memperhatikan keseharianku. Ia berangkat kerja pagi dan pulang malam hari. beliau tidak lagi memperhatikan bagaimana kondisi keseharianku. Baginya yang terpenting nilai raport cukup bagus dan ia yakin bahwa aku cukup cerdas di sekolah.

Tidak tenang belajar di rumah, mulailah aku keluar malam. Orang tuaku tidak tahu kapan aku tidur dan bangun serta bagaimana aku tidur. Malam ini aku punya rencana yang mungkin beresiko besar. Aku pulang jam 01 malam. Aku bisa saja lewat pintu belakang dan langsung tidur. tetapi aku memilih lewat depan dan mengetuk pintu. Tak lama kemudian ayahku membuka dan ia sejenak terperanjat melihat aku pulang larut malam. “Jam berapa ini ?” tanyanya. “Jam 01” jawabku sambil nyelonong ke kamar belakang. 

Keesokan harinya, hal yang sama aku lakukan lagi. Keluar malam dan pulang larut malam. Kembali aku mengetuk pintu depan. Kembali ayahku membuka pintu karena kamar utama memang berada di depan. Pintunya tidak dibuka lebar, badan ayahku masih menutup ruang yang membuka. “selalu pulang larut malam, darimana saja ? “Tanya ayahku dengan suara yang lebih keras.
“Dari rumah teman.”
“Bikin apa di rumah teman ?”
“Belajar.”
“Mengapa tidak belajar di rumah saja atau panggil temannya ke rumah ?”
“Tidak ada tempat belajar. Bagaimana mau mengajak teman belajar di rumah, untuk belajar sendiri saja tidak ada tempat.”
“Masuk !” Perintah ayahku menurunkan volume suaranya.

Esoknya, kulihat ayahku  memanggil salah seorang penyewa. Aku merasa ayahku mulai khawatir dengan kebiasaanku keluar malam. Apalagi pada saat itu sekitar tahun 70-an sedang marak-maraknya remaja kecanduan narkoba. Ayahku takut kalau –kalau aku menjadi terbiasa menikmati malam di luar rumah dan tidak bisa ia kontrol lagi. Aku sebenarnya tidak mau membuat ayahku khawatir dengan keadaanku. Kelakuanku keluar malam sebenarnya bukanlah kebiasaan, melainkan sengaja aku lakukan agar diberikan kamar pribadi dimana aku bisa belajar dengan tenang dan mengurus segala keperluanku sendiri.

Benar saja, pada hari minggu penyewa yang menempati kamar paling ujung berkemas-kemas pindahan. Esoknya akupun berbenah merapikan kamar yang ditinggalkan oleh penyewa. Sejak itu aku tekun belajar dan hari-hari nyaris habis di depan meja belajarku. Selain mengulang pelajaran, mengerjakan pekerjaan rumah, aku bisa menulis dan membuat puisi-puisi ringan, dan atau membuat keterampilan-keterampilan yang aku senangi. Sekarang ini ayahku mulai rajin mengontrol kegiatanku. Ia selalu menyempatkan melihat atau mengintai kegiatanku di kamar baru. Aku tahu, ayahku ingin membuktikan bahwa kamar belajar yang aku tuntut benar-benar aku pergunakan untuk belajar. Aku bersyukur keinginanku terpenuhi, tetapi aku juga tetap merasa berdosa telah berbuat nakal dengan sengaja keluar malam dan membangunkan ayah yang sedang nyenyak tidur. Maafkan aku ayah.

0 komentar:

Posting Komentar