Enam belas tahun telah berlalu,
mungkin beberapa diantara kita mulai lupa bahwa di Republik ini pernah ada
Departemen Penerangan yang sukses menjadi corong informasi pemerintah. Bukan
saja lewat juru penerang (jupen) nya yang tersebar di semua kelurahan/desa,
tetapi juga lewat pengendalian media cetak dan elektronik seperti radio dan
televisi. Semua pemberitaan media dibawah kontrol dan kendali pemerintah yang
dilakonkan dengan baik oleh Departemen Penerangan.
Panggung Departemen Penerangan
rubuh begitu saja ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai
Presiden keempat RI pada 20 Oktober 1999. Langkah awal dalam penyusunan
kabinetnya, Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.
Lepas dari kontroversi keputusan politiknya, satu hal yang pasti bahwa pada
saat itu belum terpikirkan bagaimana nasib 50 ribu pegawai departemen
Penerangan, belum lagi termasuk pegawai Departemen Sosial. Alasan utama
pembubaran Departemen Penerangan karena dianggap menghambat kebebasan
berpendapat masyarakat.
Presiden Abdurrahman Wahid memang
dikenal dengan kebijakan dan langkah-langkahnya yang kontroversial. Belum lagi
selesai persoalan penyaluran pegawai departemen yang terlikuidasi, Gus Dur
membuat orang terperanjat dengan keputusannya mengizinkan penggunaan nama Papua
bagi Provinsi Irian Jaya. Kemudian menyusul keinginannya mencabut Tap MPR No.
XXIX/ MPR/ 1966 tentang Larangan Marxisme dan Leninisme yang mendapat reaksi
keras dari banyak pihak. Gus Dur juga telah mengeluarkan militer dari ruang
sosial politik yang selama ini berperan menjaga stabilitas. Hal yang paling
membuat umat Islam marah dan geram adalah ketika Gus Dur membuka hubungan
dagang dengan Israel. Puncaknya adalah ketika beliau hendak mengeluarkan dekrit
membubarkan DPR yang dianggapnya sebagai taman kanak-kanak. Akhirnya, karena
tidak tahan dengan berbagai kontroversi yang dibuatnya, para wakil rakyat dalam
Sidang Istimewa MPR pada tanggal 23 Juli 2001 memberhentikan Gus Dur dan
menggantikannya dengan Megawati sebagai Presiden kelima RI.
Rentang waktu masa kepresiden
Abdurrahman Wahid ( 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) memang singkat. Waktu
sesingkat itu menyisakan ceritera dan sejarah bukan hanya terhadap bangsa dan
negara tetapi juga banyak ceritera tentang orang perorang yang terkena imbas
kebijakannya. Para pegawai seperti anak ayam kehilangan induknya. Setiap orang
bergerak mencari selamat. Para pejabat tinggi mulai kasak kusuk menghubungi relasi
dan mencari tempat bernaung di berbagai instansi. Sementara pegawai rendahan
mulai kehilangan kendali dan harapan. Mereka masuk kantor hanya mencari peluang
untuk membawa inventaris kantor ke rumah. Ada saja barang-barang kecil yang
mereka pindahkan ke rumah, dari asbak, hiasan dinding, kursi lipat,
album-album, buku agenda, koran dan majalah mereka kumpul untuk dijual, mesin
ketik, alat-alat dapur, meja kecil mereka preteli dan membawa potongannya
secara mencicil. Mereka berpikir sebentar lagi gedung ini akan kosong dan
karena itu semua berlomba membesihkannya.
Aku sendiri tidak berminat mengambil barang-barang inventaris kecil itu. Semua
orang membawa sesuatu ke rumahnya dengan izin ataupun tanpa izin pimpinan.
Pimpinan tahu hanya aku yang
tidak melakukan itu. Dalam situasi demikian aku menghadap pimpinan dan meminta
buku Eksiklopedia. Aku tahu hampir tidak ada pegawai yang berminat dengan
buku-buku itu. Namun pimpinan membutuhkan waktu lama mengabulkan permintaanku,
mungkin karena harga eksiklopedia dan buku-buku lainnya dianggap mahal. tetapi
karena aku tdak menunjukkan minat pada barang-barang lain, akhirnya pimpinan
memberikannya juga.
Mengapa aku begitu bernafsu
mendapatkan buku-buku yang selalu terkunci dan tersimpan rapih di lemari buku
ruang direktur ? Direktur sebelumnya yang diganti oleh direktur sekarang
seringkali memanggil aku ke dalam untuk berdiskusi tentang berbagai program kerja
dan strategi pelaksanaannya. Pernah sekali karena berhasil melaksanakan program
dengan penggunaan anggaran yang efisien, beliau memanggil aku ke dalam ruangan.
Setelah ngobrol ke sana ke mari, ia kemudian membuka lemari buku dan mengambil
salah satu jilid dari buku eksiklopedia. Di hadapanku ia membuka
halaman-halaman buku dan menyodorkan tiga lembar uang Rp. 100.000,- sebagai
bonus pekerjaanku. Sangat sering aku melihat direktur dulu ini membuka lemari
buku dan tidak membaca buku. Aku tidak pernah menceriterakan kepada siapapun
kebiasaan direktur menyimpan uang di lembaran-lembaran buku. Uang itu pasti di
luar gaji dan tunjangan jabatan. Uang itu pasti tanpa sepengetahuan
keluarganya. Istilah lainnya uang lelaki.
Setelah mendapat restu
mendapatkan buku-buku eksiklopedia itu, pimpinan mengizinkan aku mengambilnya
sendiri. Pintu bagian tengah lemari buku ternyata terkunci, sedangkan pintu
lemari di sisi kiri dan kanan terbuka. Aku tahu mengapa pintu itu terkunci dan
akhirnya aku tahu juga bahwa pimpinan baru tidak pernah membuka lemari buku itu.
Dengan demikian aku tidak perlu meminta kunci lemari buku pada pimpinan baru
karena aku tahu bahwa kunci itu ada pada direktur yang telah pindah ke daerah
lain. Aku terpaksa mencungkil pintu lemari buku bagian tengah dengan hati-hati dengan
tidak membekaskan cungkilan.
Buku-buku segera kumasukkan ke
kardus rokok yang besar, merapikan susunannya dan mengikatnya dengan rapih. Aku
terpaksa mengeluarkan uang ekstra untuk membayar taxi mengangkut buku-buku yang
kini menjadi milikku. Sampai di rumah aku hanya mengatakan kepada istri bahwa
itu adalah buku-buku dari kantor. Ketika semua sudah tidur, aku membuka kardus
itu dan memeriksa lembaran-lembaran buku satu persatu. Tidak disangka bahwa
buku-buku eksiklopedia itu adalah ATM yang menyimpan banyak uang. Empat juta
adalah jumlah yang banyak untuk menghuni dompetku. Aku yakin direktur yang lama
tidak mungkin akan kembali ke kantor untuk megambil uang-uang yang ia selipkan
di lembaran buku. Ia tentu akan malu kalau pimpinan baru tahu kebiasaannya.
Akupun tak perlu memberi tahu pimpinan baru soal uang yang kudapatkan, toch ia
menganggap tidak ada uang dalam buku-buku yang ia berikan padaku.
Esok-esok aku aku periksa lagi
lembaran-lembaran buku eksiklopedia yang kini sudah menghuni lemari bukuku.
Siapa tahu masih ada lembaran tersisa yang luput dari pencarianku.
Jakarta, 27 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar