Ada dua garis memanjang pada
lehernya, membelahnya menjadi tiga bagian. Orang Bugis mengatakan “ma’gerek tellu” yang artinya membelah menjadi
tiga. Kata nenek laki-lakiku, (budaya Bugis menyebut orang tua dari ayah dan
ibu kita sebagai nenek baik laki-laki maupun perempuan) tipe wanita yang
berleher seperti itu adalah wanita bijaksana, karena ia bisa mempertimbangkan
dengan baik antara keinginan dirinya dengan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat sebelum mengambil keputusan. Itu salah satu alasan mengapa aku ingin sekali mempersunting Tenri Cella,
disamping tentu saja karena kami saling mencintai. Hubungan kami sudah
berlangsung lama melewati berbagai hambatan dan rintangan. Berbagai cara telah
dilakukan oleh orang tua Tenri Cella untuk memisahkan cinta kami, tetapi cinta
begitu kuat menggenggam kami.
Hasil dari usaha jasa menghias kaca tidak akan pernah cukup membiayai
perkawinan. Maklumlah biaya pesta pernikahan di Kota Palopo terbilang mahal.
Itulah sebabnya banyak pasangan yang sudah saling cinta memilih untuk menikah
di pulau Jawa.
Keluarga Tenri menerima pinangan keluarga dengan catatan uang belanja
senilai Rp. 80 juta. Harga diri keluarga dengan terpaksa menyanggupi untuk
tahun depan. Kedua keluarga sepakat memegang teguh janji yang sudah terikrar,
dan karena itu memaksa aku menutup usaha menghias kaca lalu memilih untuk
merantau demi mendapatkan Tenri Cella.
Kota metropolitan Jakarta yang aku tuju ternyata adalah kota penuh karat. Tidak ada yang aku dapatkan tanpa pelicin.
KTP dengan pelican, buku pelaut dengan pelican, pasport pelaut dengan pelican,
dan naik kapal cargo rute Eropa dengan pelican. Dua puluh tujuh juta rupiah
hanya untuk pelican. Tetapi aku tidak mau menganggap syarat dari orang tua
Tenri Cella sebagai pelicin, karena Tenri Cella adalah wanita sempurna
idamanku, bukan wanita karatan.
Sudah menjadi ikon suku bangsa Bugis Makassar sebagai pelaut yang ulung.
Lautan adalah dunia yang tidak asing bagiku, tetapi menjadi pelaut adalah
pengalaman pertama yang menyakitkan namun harus aku lalui. 10 jam dalam sehari
aku berada di ruang mesin palka terbawah menikmati hawa panas dan bisingnya
bunyi mesin. Setiap kali mentari menjelang ke pembaringannya, aku selalu menyempatkan
berdiri di geladak, memandang jauh membayangkan wajah cantik Tenri Cella yang
menungguku kembali untuk mempersuntingnya.
Tengah malam menjelang fajar kapal memasuki Teluk Eden. Tiba-tiba dari atas
geladak terdengar teriakan-teriakan yang tidak aku mengerti, disusul jeritan
dan suara benda-benda yang berjatuhan. Aku merasa ada suara kepanikan di atas
sana. Dari cela mesin aku melihat empat orang berkulit hitam menuruni tangga
dengan senjata masing-masing di tangan. “Barangkali inilah perompak-perompak
Somalia yang semalam menjadi topik pembicaraan teman-teman di buritan,”
pikirku. Tanpa berpikir panjang lewat jendela bulat yang agak sempit, aku
melompat ke laut lepas. Dalam pikiranku hanya terlintas satu alasan bahwa aku
tidak mau menjadi sandera para perompak, apalagi harus mati di tangan mereka
dan kehilangan Tenri Cella, kekasihku.
Gelap gulita dan dinginnya air laut menjelang fajar tak lagi kuhiraukan.
Aku hanya berdiam diri dalam air dengan mulut tengadah ke atas agar tak
terlihat oleh para perompak yang masih tersisa di kapal kayu yang menggiring
kapal kami memasuki perairan Somalia yang menyempit. Setelah kurasakan agak
jauh barulah aku berenang dan terus berenang menjauh tanpa tujuan yang jelas.
Satu-satunya yang membuatku tetap kuat untuk hidup adalah cinta Tenri Cella.
Aku siuman dan dengan samar melihat tempat yang asing bagiku. Ya, aku
berada di medical room. Seorang berpakaian serba putih mendekati bangsal tempat
aku terbaring memeriksa denyut jantungku. Aku ingin bertanya tapi tak tahu
bagaimana membahasakan tanyaku. Perawat berkulit hitam itu rupanya tahu
kegelisahanku. Ia menepuk-nepuk bahu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tepukan itu cukup memberikan kekuatan mengingat-ingat kejadian sebelumnya.
Kini aku sadar tak punya tempat lagi, tak punya apa-apa lagi. Dalam tidurku
hanya wajah Tenri Cella yang melintas, murung melambaikan tangan. Mengapa ia
mengenakan baju pengantin ? Baju bodo merah dan kain rope (Sarung Songket) yang
senada lengkap dengan kalung dan gelang panjang yang tersusun menutup
lengannya. Ia seperti memikul beban pikiran yang berat, seberat sanggul kembang
goyang di kepalanya. Kemana pengantin prianya ? Bukankah aku yang seharusnya
menjadi pengantin prianya, begitu ucapku ketika terbangun.
Malam belum lagi bergeser ke fajar. Embun mulai membasahi dedaunan yang
bisu tanpa angin. Pasien-pasien lain masih lelap dalam deritanya sedangkan
keluarganya tak lagi terjaga. Bagaimana aku bisa keluar dari rumah sakit ini?
Adakah relawan yang menjamin diriku ? Dengan apa aku harus membayar biaya
perawatan ? Sementara lambaian tangan Tenri Cella semalam begitu kuat
memanggil. Kuputuskan untuk kabur dari rumah sakit. Aku terus saja mengendap
menembus gelapnya malam, menahan gigilnya embun.
-
“Belum ada kabar lagi tentang Baso, Opu,”
jawab Ayahanda Baso Kelana ketika didesak terus oleh orang tua Tenri
Cella soal nasib perjodohan anaknya. “Kabar terakhir mengatakan bahwa dalam
daftar nama kru kapal yang disandera oleh pembajak Somalia, tidak ada nama Baso
Kelana,” Ayahanda Baso Kelana menjelaskan dengan terus tertunduk tak mampu
menatap sorot mata Opu Yahya Toware.
“Kami ikut prihatin dengan ketidakjelasan nasib Baso, tapi kami tidak mau
terkurung dalam ketidakjelasan. Ini sudah bulan kesebelas. Kami sampaikan bahwa
Opunna Pangerang telah meminta Tenri Cella untuk dipersuntingkan dengan
putranya, Andi Pangerang. Kami tentu saja harus memberi jawaban.” Mata Ayahanda
Baso Kelana terus tertunduk menyimak kata demi kata yang meluncur dari mulut
Opu Yahya Toware.
“Kami sungguh mohon maaf. Kami sekeluarga menerima dengan ikhlas segala
keputusan Opu,’ kata Ayahanda Baso terbata-bata.
--
Setiap ada kesempatan Tenri Cella bertandang ke rumah Baso menemui Ayah dan
Indo kekasihnya untuk menanyakan kabar Baso Kelana. Tenri Cella jauh lebih
bersedih karena ia tahu kepergian kekasihnya melaut semata untuk
mempersuntingnya. Kini ia kehilangan kabar dan kemungkinan terburuk Tenri akan
dipersunting oleh lelaki dari kalangannya yang sama sekali tidak ia cintai.
“Maafkan kami, Andi (panggilan hormat untuk anak bangsawan), kalau saja kami
cukup harta, Baso tak perlu harus merantau jauh untuk menggenapi persyarakat
yang diminta Opu. Kini, Baso mungkin telah tiada,’ kata Ibunda Baso dengan
berurai airmata.
“Baso tetap ada dan hidup di hatiku, Indo (Panggilan ibu untuk orang
kebayakan). Ia pasti masih hidup dan akan datang untuk hatiku,” Tenri Cella
seduh sedan di bahu ringkik Ibunya Baso.
“Dan Andi akan menjadi pendamping Andi Pangerang.”
“Semoga itu tak pernah terjadi dalam hidupku, atau Tuhan menghendaki aku
hidup tanpa cinta.” kata Tenri Cella menguatkan hatinya.
Hari-hari Tenri Cella hanya berkutat dengan kebimbangan, kesedihan,
kerinduan dan ketidakpastian. Tak pernah ada kata yang keluar dari mulutnya
setiap kali ditanyakan soal lamaran Andi Pangerang. Bagi Tenri Cella, jodoh
bukan lagi menjadi keputusannya. Orang tua Tenri Cella telah mengikuti
keinginan cinta anaknya, tetapi Baso yang menjadi pilihannya hilang bak ditelan
bumi. Ia tak dapat memberikan jawaban setiap kali ditanyakan soal Baso, karena
sampai saat ini memang tidak ada kabar yang menjadi pegangannya.
_ _ _
Doa-doa yang selalu dipanjatkan Indona Baso bagi kesalamatan putranya,
terijabah ketika fajar tiba. Diakhir doa Tahajjut Indona Baso bangkit menyambut
ketukan pintu di rumah panggung miliknya. Ia segera menghambur memeluk putranya
dan tersungkur dalam sujud syukur. Sepanjang fajar hingga azan subuh Baso
Kelana mendengar ceritera Ibu dan Ayahnya tentang kejadian setelah satu
setengah tahun kepergiannya. “lalu….bagaimana kau bisa selamat dan sampai di
sini, anakku ?” tanya ibunya ingin segera tahu ceritera anaknya.
“ceriteranya panjang Indo, nanti selesai sholat subuh aku ceriterakan.”
jawab Baso Kelana lalu mereka bergegas sholat subuh berjamaah.
-
-
Sebagai kuli angkut, aku berhasil menyelundup naik ke kapal cargo berbendera
Vietnam. Namun ketika kapal berada di lautan lepas, ketahuan juga. Kapten
menginterogasiku karena khawatir aku adalah gelombang pengungsi yang memang
biasa menyelundup ke kapal untuk keluarga dari negeri Kenya yang dilanda
kemiskinan akut. Kapten Kapal tidak mau mendapat masalah nantinya di negara
tujuan, karena itu diputuskan bahwa aku akan dilepas di lautan pada pulau
terdekat dengan rakit dari drum plastik. Selama di kapal aku berusaha berbuat
baik membantu para kru sehingga mereka juga memperlakukan aku dengan baik,
memberi makan dan tempat istirahat. Aku memahami posisi kapten kapal dengan
keberadaanku yang tidak punya kartu identitas apapun.
Allah ternyata punya ceritera lain. Di tengah laut lepas, baling-baling
kapal terlilit tambang hanyut dan tak bisa bergerak. Kapal terapung di
tengah-tengah. Untuk mendatangkan penyelam membutuhkan waktu berhari-hari dan
biaya besar. Aku menawarkan diri menyelam tetapi kapten kapal tidak mau
mengambil resiko dengan keselamatanku. Aku berusaha meyakinkan kapten bahwa aku
sanggup dan bersedia menandatangani perjanjian bahwa segala resiko penyelaman
akan aku tanggung sendiri.
Dengan tali pengaman aku diturunkan ke laut. Berbekal senter dan parang aku
menyelam memutus dan mengurai lilitan tambang pada baling-baling kapal. Tiga
kali menyelam dan timbul hinga aku bisa membebaskan baling-baling dari lilitan
tambang. Ketika naik ke atas kapal, aku disambut langsung oleh kapten dengan
sebuah handuk dan pelukan erat serta ucapan terimakasih. Semua kru kapal bertepuk
tangan mengelu-elukanku.
Kapten kapal memberikan 10 ribu dollar setara Rp. 100 juta, tetapi aku
menolaknya. Aku hanya minta dipekerjakan di kapalnya. Awalnya kapten menolak
karena aku tidak punya surat apapun sebagai pelaut. Tetapi karena merasa berhutang
budi ia terpaksa menerimaku bekerja di kapalnya dengan catatan setiap kali
masuk pelabuhan aku harus bersedia disembunyikan agar tidak diketahui custom di
negara tujuan. Setelah semua kru kapal setuju untuk merahasiakan keberadaanku
sebagai kru tidak resmi, maka mulailah aku bekerja kembali sebagai pelaut.
Setelah sepuluh bulan bekerja, kapal kami masuk ke perairan Indonesia. Aku
pamit kepada Kapten untuk berhenti bekerja dan ingin kembali ke orang tuaku.
Kapten dengan senang hati menuruti permintaanku, karena keberadaanku sebagai
kru di kapal menjadi beban tersendiri bagi Kapten. Setelah menerima semua hakku
akan gaji, Kapten masih memberikan bonus Rp. 100 juta sebagai upah menyelam
yang kemarin kutolak.
“Di Jakarta, aku mendengar ceritera dari Masrifuddin bahwa Tenri Cella akan
dinikahkan dengan Andi Pengerang karena aku dianggap telah wafat. Karena itulah
aku segera kembali kemari, Indo,” kata Baso Kelana mengakhiri ceriteranya.
“Baso…! Kami sangat merindukanmu. Sungguh sangat menyayangimu. Bukannya
kami tak bersyukur engkau selamat dan kembali ke tengah keluarga. Tapi ayah
mengharapkan engkau pergilah kembali merantau. Jangan sampai kehadiranmu
menimbulkan banyak persoalan di kampung ini,” pinta Ayahandanya dengan suara
isak terbata-bata.
Betapa berat beban pikiran ayahanda dan Indo dengan kehadiranku di kampung.
Beban itu bahkan mengalahkan rasa rindu dan sayangnya padaku. “Baiklah….Aku
akan segera meninggalkan kampung ini. Pada saatnya nanti, Ayah dan Indo akan
kubawa serta meninggalkan kampung ini. Kampung ini sepertinya bukan lagi untuk
kita.” Kugenggam dan kucium tangan Ayah dan Indo yang basah oleh sekaan air
matanya. “Saya hanya minta satu hal….’
“Ambil dan bawalah apa saja yang kau inginkan,” jawab Indo seperti
merelakan semua harta benda yang tak seberapa itu untukku.
“Bukan itu, Indo. Saya minta, jangan pernah katakan pada siapapun kalau
saya pernah kembali ke kampung ini. Biarkan orang sekampung menganggap saya
telah wafat di perantauan, tewas di tangan para perompak Somalia.”
-
Ini adalah hari pernikahan Andi Tenri Cella dan Andi Pangerang. Di luar Petir
menyambar menyilaukan bumi. Guntur mendentum sahut menyahut membangunkan semua
yang hidup. Gerimis sejak semalam kini semakin menjadi deras. Angin kencang
menampar dedaunan. Bunyinya bak symponi kepedihan.
“Tokk…tokkk….tookkkk, Assalamu Alaikummmm.” Ketukan pintu dari banyak
tangan dan suara salam dari banyak mulut terdengar sangat keras di telinga Ayah
dan Indona Baso. Ketika pintu rumah dibuka, Opu Yahya Toware dan beberapa
keluarganya menyerbu dengan seragam pertanyaan.
“Mana…! Andi Tenri Cella…?”
Belum sempat menjawab, beberapa orang telah menghambur memeriksa isi rumah,
memasuki semua bilik kamar.
“Kemana perginya Andi Tenri Cella ?” Suara Opu Yahya Toware keras bergetar
menahan amarah tetapi tidak tahu akan dilampiaskan kepada siapa amarah itu.
“Kami tidak tahu menahu, Opu,” jawab Indona Baso dengan berurai air mata
karena merasa dipersalahkan.
Tamu-tamu undangan terus berdatangan. Di pelaminan hanya ada Andi Pangerang
tanpa mempelai wanitanya. Setiap orang bertanya-tanya dan setiap orang memberi
jawaban.
Bung Komar
Jakarta, 4 Maret 2014
kak ada lanjutan ceritanya kah???