Judul : Nicolaas Jouwe Kembali Ke Indonesia.
Langkah, Pemikiran dan Keinginan
Editor : Agus Edi Santoso, Max Diaz Riberu, dan
Yohanes Ngamal
Penerbit : PT Pustaka Sinar
Harapan Verbum Publishing
cetakan : I – Jakarta 2013
Tebal : 116 halaman
ISBN : 979-416-962-5
Capture :
Nicolaas Jouwe, “Setelah melihat
sendiri perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah
Indonesia sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.”
Sejauh-jauhnya berkelana, seorang
perantau pada akhirnya akan kembali ke kampung halamannya. Sekeras-kerasnya
jiwa dan semangat seorang pemberontak, kecintaan pada tanah leluhur akan
mengantarkannya kembali ke haribaan pangkuan Ibu Pertiwi. Itulah barangkali ungkapan
yang tepat untuk menggambarkan kesadaran Nicolaas Jouwe kembali mengabdikan
diri kepada bangsa dan negaranya, setelah hampir lima puluh tahun
memperjuangkan ambisi pribadinya untuk mendirikan negara di dalan negara akibat
bujuk rayu Belanda yang mengiming-imingnya menjadi Presiden Papua Bagian Barat.
Siapa tak kenal Nicolaas Jouwe ?
Beliau adalah pendiri Organisasi Papua Merdeka, ia juga yang mendesain bendera
Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Moment inilah
yang kerap dipakai oleh saudara-saudara yang ingin memisahkan diri dari
Indonesia untuk mengklaim bahwa negara Papua pernah ada. Perjuangan Nicolaas
ini langsung dimanfaatkan oleh Belanda yang ketika itu masih bertikai dengan
Indonesia menyangkut eksistensi Papua. Nicolaas segera dirangkul dan tidak
tanggung-tanggung – dia diangkat menjadi pejabat negara oleh Pemerintah Belanda
dan dijanjika kelak akan menjadi presiden Papua.
Dalam buku ini kita akan
mengetahui bahwa perjuangan Nicolaas Jouwe sesungguhnya adalah untuk kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat Papua, sedangkan Organisasi Papua Merdeka hanyalah
sebagai wadahnya. Namun kini saya menyadari bahwa “Perhatian pemerintah dan
kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua. Setelah melihat sendiri
perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah Indonesia
sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.” ( hal 26-27).
Sesungguhnya semangat perjuangan
Nicolaas Jouwe adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Kalau
dulu berjuang dengan berbeda pendapat dengan pemerintah Indonesia, kini
Nicolaas berjuang bersama pemerintah Indonesia untuk Papua dan Indonesia (hal.
26). Sebenarnya keinginan Nicolaas untuk kembali ke Indonesia sudah timbul
sejak tahun 1969. “Menurut saya, setelah 2/3 negara anggota dalam sidang PBB
menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak
suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara bangsa Indonesia.
Jadi saya harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa
hidup saya untuk membantu Pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua
(hal.32).
Secara jujur dalam buku itu Nicolaas mengakui bahwa pelariannya ke Belanda
merupakan pilihan yang patut disesali. “Menurut saya, perjuangan Papua Merdeka
yang telah saya lakukan merupakan dorongan dari Belanda yang seolah-olah akan
mendirikan negara sendiri dan menjadikan saya sebagai presiden Papua Barat.
Sebagai orang muda saat itu saya tidak menyadari bahwa itu hanya merupakan
akal-akalan Pemerintah Belanda.” (hal. 83).
“Belanda menyuruh saya membuat bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan
menyiapkan dokumen-dokumen untuk persiapan berdirinya sebuah negara. Setelah
semua itu saya siapkan ternyata tidak ada satu negarapun yang mendukung
perjuangan saya, justru semua negara menyatakan bahwa Irian Barat (Papua) bagian
dari wilayah Indonesia,” (hal 84).
Nicolaas sesungguh sudah ingin kembali ke Indonesia tetapi ia telah
terkurung dalam jabatan tinggi yang diberikan oleh Belanda sementara dirinya terus
berada dalam pengawasan. Belanda sering mengatakan kepada Nicolaas, kalau nanti
kau pulang ke Indonesia pasti dibunuh. Indonesia sudah menunggu untuk
membunuhmu. Nicolaas tahu semua itu tidak benar, tetapi memang belum ada jalan
untuk kembali (hal. 88).
Pernah ada surat dari mantan Presiden Soeharto untuk disampaikan kepada
Nicolaas Jouwe dalam suatu pertemuan di PBB, tetapi Nicolaas tidak siap menerimanya karena ia sedang dimata-matai
oleh pejabat Belanda. Akhirnya setelah kembali ke negeri Belanda Nicolaas
sendiri yang bersurat kepada Presiden Soeharto menyatakan niatnya untuk kembali
ke Indonesia. Dua kali Nicolaas bersurat yaitu tahun 1973 dan 1975 tetapi surat
itu tak pernah sampai ke alamat karena kena sensor (hal.38).
Ternyata pada akhirnya Tuhan mengabulkan keinginan dan harapan Nicolaas
Jouwe untuk kembali membangun daerahnya. Pada tahun 2009 sebuah delegasi di
bawah pimpinan Nona Fabiola Ohei tiba di Den Haag, Belanda dengan membawa surat
dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Surat undangan yang mereka bawa itu
sangat bagus. Isi surat itu sederhana tetapi mengandung makna yang sangat
tinggi. Surat itu intinya mengundang saya kembali ke tanah air pulang ke
pangkuan Ibu Pertiwi. Saya menilai surat ini ditulis halus sekali, sebuah
undangan bagus, dan saya merasakan bahwa surat itu ditulis dengan hati dan
tulus. Surat itu ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus
bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak (hal. 43). Sayangnya
Nicolaas Jouwe tidak melampirkan Surat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
tersebut, padahal surat tersebut adalah dokumen penting yang perlu diketahui
publik sebagai bagian dari sejarah kembalinya Nicolaas Jouwe ke Pangkuan Ibu
Pertiwi.
Buku ini sangat baik dan perlu
diketahui oleh masyarakat umum terutama bagi masyarakat Papua agar mereka
mengetahui latar belakang politik Belanda memberi ruang bagi aktivis-aktivis
papua untuk melawan kebijakan Pemerintah Indonesia. Sayangnya buku ini dicetak
dalam hardcover edisi lux yang tentu harganya sangat mahal dan sulit dijangkau
oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat Papua.
Diresensi oleh Zulkomar
Pengamat masalah sosial politik.
0 komentar:
Posting Komentar