KEMBALINYA SANG PEMBERONTAK

Selasa, 18 Maret 2014



Judul     : Nicolaas Jouwe Kembali Ke Indonesia. Langkah, Pemikiran dan Keinginan
Editor    : Agus Edi Santoso, Max Diaz Riberu, dan Yohanes Ngamal
Penerbit : PT Pustaka Sinar Harapan Verbum Publishing
cetakan  : I – Jakarta 2013    

Tebal     : 116 halaman
ISBN     : 979-416-962-5

Capture :
Nicolaas Jouwe, “Setelah melihat sendiri perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah Indonesia sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.”

Sejauh-jauhnya berkelana, seorang perantau pada akhirnya akan kembali ke kampung halamannya. Sekeras-kerasnya jiwa dan semangat seorang pemberontak, kecintaan pada tanah leluhur akan mengantarkannya kembali ke haribaan pangkuan Ibu Pertiwi. Itulah barangkali ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kesadaran Nicolaas Jouwe kembali mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya, setelah hampir lima puluh tahun memperjuangkan ambisi pribadinya untuk mendirikan negara di dalan negara akibat bujuk rayu Belanda yang mengiming-imingnya menjadi Presiden Papua Bagian Barat.

Siapa tak kenal Nicolaas Jouwe ? Beliau adalah pendiri Organisasi Papua Merdeka, ia juga yang mendesain bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Moment inilah yang kerap dipakai oleh saudara-saudara yang ingin memisahkan diri dari Indonesia untuk mengklaim bahwa negara Papua pernah ada. Perjuangan Nicolaas ini langsung dimanfaatkan oleh Belanda yang ketika itu masih bertikai dengan Indonesia menyangkut eksistensi Papua. Nicolaas segera dirangkul dan tidak tanggung-tanggung – dia diangkat menjadi pejabat negara oleh Pemerintah Belanda dan dijanjika kelak akan menjadi presiden Papua.

Dalam buku ini kita akan mengetahui bahwa perjuangan Nicolaas Jouwe sesungguhnya adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua, sedangkan Organisasi Papua Merdeka hanyalah sebagai wadahnya. Namun kini saya menyadari bahwa “Perhatian pemerintah dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua. Setelah melihat sendiri perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah Indonesia sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.” ( hal 26-27).

Sesungguhnya semangat perjuangan Nicolaas Jouwe adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Kalau dulu berjuang dengan berbeda pendapat dengan pemerintah Indonesia, kini Nicolaas berjuang bersama pemerintah Indonesia untuk Papua dan Indonesia (hal. 26). Sebenarnya keinginan Nicolaas untuk kembali ke Indonesia sudah timbul sejak tahun 1969. “Menurut saya, setelah 2/3 negara anggota dalam sidang PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara bangsa Indonesia. Jadi saya harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidup saya untuk membantu Pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua (hal.32).

Secara jujur dalam buku itu Nicolaas mengakui bahwa pelariannya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. “Menurut saya, perjuangan Papua Merdeka yang telah saya lakukan merupakan dorongan dari Belanda yang seolah-olah akan mendirikan negara sendiri dan menjadikan saya sebagai presiden Papua Barat. Sebagai orang muda saat itu saya tidak menyadari bahwa itu hanya merupakan akal-akalan Pemerintah Belanda.” (hal. 83).

“Belanda menyuruh saya membuat bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk persiapan berdirinya sebuah negara. Setelah semua itu saya siapkan ternyata tidak ada satu negarapun yang mendukung perjuangan saya, justru semua negara menyatakan bahwa Irian Barat (Papua) bagian dari wilayah Indonesia,” (hal 84).

Nicolaas sesungguh sudah ingin kembali ke Indonesia tetapi ia telah terkurung dalam jabatan tinggi yang diberikan oleh Belanda sementara dirinya terus berada dalam pengawasan. Belanda sering mengatakan kepada Nicolaas, kalau nanti kau pulang ke Indonesia pasti dibunuh. Indonesia sudah menunggu untuk membunuhmu. Nicolaas tahu semua itu tidak benar, tetapi memang belum ada jalan untuk kembali (hal. 88).

Pernah ada surat dari mantan Presiden Soeharto untuk disampaikan kepada Nicolaas Jouwe dalam suatu pertemuan di PBB, tetapi Nicolaas tidak  siap menerimanya karena ia sedang dimata-matai oleh pejabat Belanda. Akhirnya setelah kembali ke negeri Belanda Nicolaas sendiri yang bersurat kepada Presiden Soeharto menyatakan niatnya untuk kembali ke Indonesia. Dua kali Nicolaas bersurat yaitu tahun 1973 dan 1975 tetapi surat itu tak pernah sampai ke alamat karena kena sensor (hal.38).

Ternyata pada akhirnya Tuhan mengabulkan keinginan dan harapan Nicolaas Jouwe untuk kembali membangun daerahnya. Pada tahun 2009 sebuah delegasi di bawah pimpinan Nona Fabiola Ohei tiba di Den Haag, Belanda dengan membawa surat dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Surat undangan yang mereka bawa itu sangat bagus. Isi surat itu sederhana tetapi mengandung makna yang sangat tinggi. Surat itu intinya mengundang saya kembali ke tanah air pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi. Saya menilai surat ini ditulis halus sekali, sebuah undangan bagus, dan saya merasakan bahwa surat itu ditulis dengan hati dan tulus. Surat itu ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak (hal. 43). Sayangnya Nicolaas Jouwe tidak melampirkan Surat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut, padahal surat tersebut adalah dokumen penting yang perlu diketahui publik sebagai bagian dari sejarah kembalinya Nicolaas Jouwe ke Pangkuan Ibu Pertiwi.


Buku ini sangat baik dan perlu diketahui oleh masyarakat umum terutama bagi masyarakat Papua agar mereka mengetahui latar belakang politik Belanda memberi ruang bagi aktivis-aktivis papua untuk melawan kebijakan Pemerintah Indonesia. Sayangnya buku ini dicetak dalam hardcover edisi lux yang tentu harganya sangat mahal dan sulit dijangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat Papua.

Diresensi oleh Zulkomar
Pengamat masalah sosial politik.

0 komentar:

Posting Komentar