Sembilan tahun tulisan ini kuendapkan
Tak ada niat sekalipun untuk
mempublikasikannya,
karena setiap alinea tulisan ini
kulalui dengan airmata
Dalam
acara HUT Kodam Iskandar Muda yang ke-41, Selasa 21 Desember 2004 bertempat di
Pantai Pelabuhan Uleu Leue, Pangdam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya di
hadapan para sesepuh daerah bernostalgia tentang kebesaran tokoh-tokoh pejuang
Aceh masa lalu yang gigih melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan. Di
bagian akhir sambutannya, Pangdam mengajak seluruh lapisan masyarakat Aceh
untuk bahu membahu bersama aparat menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Di
akhir acara, dengan bangga didemonstrasikan beberapa Kapal Motor Cepat (KMC)
yang diperuntukkan bagi perlindungan dan pengamanan wilayah perairan Aceh dari
aksi perompak dan penyelundupan yang selama ini terjadi. Di atas laut yang biru
dan tenang, beberapa KMC yang dikemudikan oleh pasukan khusus, SEA READERS
bergerak cepat seolah memburu mangsa, meliuk-meliuk memecah gelombang
meninggalkan debur putih menghindari serangan musuh. Lalu dengan sangat
gesitnya dapat membelok tajam ke belakang dan berbalik mengejar musuh dengan
kecepatan yang luar biasa. Para awak di atas KMC terlihat begitu perkasa
mempertontonkan kekuatannya di atas lautan yang tenang, sekaligus
mempertontonkan bagaimana kekuatan teknologi manusia menaklukkan keperkasaan
hamparan laut yang membentang.
Lima
hari kemudian, tepatnya 26 Desember 2004, penguasa sejati alam semesta seolah
member jawaban langsung bahwa di atas segala, kepandaian dan teknologi super
canggih yang dikembangkan manusia, pada akhirnya mereak harus menyadari bahwa
manusia hanyalah kerikil-kerikil kecil diantara keluasan alam raya yang
diciptakan oleh Allah. Aku bertanya, kemana keperkasaan Kapal Motor Cepat itu
ketika gelombang tsunami datang dan menyapu rata semua yang ada di pantai dan daratan Aceh?
Minggu,
26 Desmber, sehari setelah umat Kristiani merayakan Natal, menjadi minggu
bencana, minggu duka nestapa, dan minggu peringatan bagi yang tersisa. Hari itu
langit begitu cerah, pagi begitu indah. Seperti biasanya pukul 7.00 WIB di
Lapangan Blang Padang masyarakat Aceh berkumpul di lapangan untuk berlari-lari
kecil. Anak-anak bermain dengan ceria di atas rerumputan, sementara orang tua
atau kakak-kakak mereka tengah melakukan senam Jantung Sehat yang dilanjutkan
dengan senam aerobik. Di lapangan yang sama pejabat daerah melepas peserta
Lomba Lari 10 K disaksikan oleh masyarakat. Setelahnya bebetapa orang masih
asyik di lapangan. Ada yang bermain bola, main mobil-mobilan yang digerakkan
dengan remote control ditangan, dan sekelompok orang yang menunggu peserta
lomba lari 10 K memasuki garus finish, menikmati berbagai macam jajanan.
Gempa di Pagi Hari
Jam
7.40 WIB, saat aku menikmati sarapan pagi di mess, searah dengan Paviliun
Seulawah dan persis berada di depan gerbang lapangan Blang Padang, berhadapan
dengan rumah dinas Kapolda Aceh, Bahrumsyah sebagai pelaksana Penguasa Darurat
Sipil Daerah Provinsi NAD, tiba-tiba gempa maha dahsyat menghentak dan
menggoyang serta menggeser meja makanku. Dispenser jatuh berguling-guling
membasahi lantai. Aku segera berlari ke halaman belakang memegang batang pohon
pisang, sementara teman yang lain berlari keluar rumah. Aku menunggu sampai
gempa berhenti, tetapi gempa berlangsung begitu lama. Aku terus memandangi
rumah yang ikut bergoyang seperti goyangan perahu nelayan di pantai.
Ketika
gempa mulai mereda aku masuk kembali ke rumah. Menegakkan despencer, menaikkan
gallon aqua, pengepel lantai, lalu melanjutkan sarapan yang tertunda. Baru saja
dua suapan masuk ke tenggorkan, aku kaget melihat lampu gantung besar di atas
meja makan berputar kencang seperti mainan pesawat yang biasa dilekatkan di
atas plafon sebagai teman bermain bayi. Rupanya efek gempa yang tadi masih
menyisakan goyangan pada lampu gantung. Aku segera melompat dan berlari ke luar
halaman rumah. Di jalanan orang ramai saling berceritera dan menunjuk ke satu
titik yang sama. Aku melihat hotel kebanggaan masyarakat Aceh, Hotel Kuala
Tripa ambruk satu lantai ke bawah dan posisinya miring. Ternyata gempa telah
menimbulkan kerusakan yang luar biasa.
Untuk
melihat situasi pasca gempa, kami berlima berangkat mengitari kota dengan mobil
kijang kapsul. Toko swalayan Pantee Peerak yang berlantai tiga ambruk rata
dengan tanah, Menara Mesjid Baiturrahman retak di bagian atasnya, kantor PLN
rusak parah, jembatan-jembatan beton putus dan yang lain turun sekitar lima
sentimeter, bangunan-bangunan baru yang berlantai tiga dan empat terbenam ke
dalam tanah dan lantai bagian atasnya rata dengan tanah seolah terbentuk
lapangan tennis baru di sana. Bangunan lebih banyak yang terbenam dibandingkan
yang runtuh. Tiang-tiang listrik beton rubuh dan melintang di jalan-jalan raya.
Kerusakan akibat gempa dengan kekuatan 9,1 skala richter ini menjadi tontonan
tersendiri bagi masyarakat. Setiap orang keluar rumah dan saling berceritera.
Setiap orang merasa apa yang mereka rasakan lebih hebat dan lebih dahsat dari
yang lain.
Gelombang Tsunami
Setelah
kurang lebih satu jam berputar-putar dalam Kota Banda Aceh melihat situasi dan
keadaan yang terjadi untuk melengkapi laporan situasi pasca gempa ke Jakarta.
Kami telah berusaha beberapa kali menghubungi Jakarta, tetapi tetap tidak
mendapatkan signal. Rupanya gempa telah menyebabkan seluruh aliran listrik padam dan saluran telepon selularpun
terputus. Selama itu gempa susulan terus saja berlangsung setiap 5 atau 10
menit berselang. Setelah tiba di Simpang Empat kami melihat orang-orang panic
berlarian ke arah kami sambil berteriak mengingatkan yang lain, “air
laut…..air…laut…air lautttt”
Kami
tidak tahu apa arti teriakan itu. Tapi kami ikut terbawa panik dan membelokkan
mobil ke arah Asrama Kodim. Mobil tidak bisa bergerak leluasa karena jalan raya
telah dipenuhi kendaraan bermotor dan manusia yang berlari dan
berjatuh-jatuhan. Sedikit saja kami memaksa untuk maju dapat menabrak dan
melindas manusia. Ibu-ibu yang menggendong anaknya berlari di sisi jalan,
sedangkan laki-laki dan perempuan yang lain berlari saling mendahului mengisi
cela yang ada sambil menyeret anak atau adiknya, mengajak berlari lebih cepat.
Saya
baru sadar apa yang terjadi ketika membalikkan badan dan melihat lewat kaca
belakang mobil. Kendaraan-kendaraan lain yang berusaha menyelamatkan diri sudah
tertahan dan tak bisa bergerak lagi di belakang kami. Di Belakang, di kejauahan
kami mendengar suara gemuruh diantara suara teriakan dan jeritan manusia.
Tadinya saya berpikir itu adalah suara desingan pesawat yang melintas di atas
lapangan Blang Padang. Ternyata itu adalah suara gemuruh gelombang tsunami yang
bergerak menggulung begitu cepat, menyapu dan menghantam apa saja yang
dilaluinya.
Sejenak
aku terpana, takjub melihat gerakan gelombang air yang kehitam-hitaman
bergulung-gulung, bergerak maju dengan kecepatan tinggi. Sungguh suatu
peristiwa alam yang maha dahsat. Hanya dalam bilangan detik, bilangan menit air
sudah mencapai ketinggian atap rumah. Aku bayangkan lautan mengosongkan dirinya
dan tumpah ruah ke daratan. Pada air yang mengalir ke daratan tampak
rumah-rumah penduduk terapung terbawa arus. Kayu-kayu, seng, papan, dan
balok-balok besar bergerak dan menghantam apa saja yang ada di hadapannya.
Mobil-mobil mewah juga terapung sebelum menghantam pohon atau rumah sebelum
tenggelam. Diantara tumpukan sampah yang terbawa arus tsunami, tangan-tangan
manusia menggelepar tanpa daya. Tak ada lagi arti kecepatan kendaraan untuk
menyelamatkan diri, tak ada lagi arti ketangguhan otot manusia untuk merenang
dan menyelamatkan diri dari gulungan air. Satu-satu yang mengendalikan keadaan
saat itu hanyalah gelombang air.
Rasa
kagum sesaat menjelma menjadi rasa takut ketika aku melihat gulungan arus air
semakin mendekat. Sempat sesaat melihat bagaimana manusia terjungkal ke atas di
dorong oleh gulungan air, dan tumpukan sampah yang sudah bercampur dengan mayat
manusia. Aku sendiri sudah memasrakan diri ketika gulungan air tinggal beberapa
meter lagi. Darah di tubuhkan seakan membeku, denyut jantung terasa terhenti.
Dalam ketakberdayaan yang paling prima itulah aku memejamkan mata, pasrah
menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah Azza Wa Jalla, seraya berteriak
memohon, “LAA KHAULA WALAKUWWATU ILLAH BILLAH.”
Subhanallah,
Maha Suci Allah. Setelah beberapa detik memasrahkan diri dan merasa seperti tidak
terjadi apa-apa, aku lalu membuka kedua tangan yang menutup mataku. Aku melihat
air di belakang mobil jatuh tumpah ke dalam sungai. Rupanya kendaraan kami
telah berada di seberang sungai setelah melintasi jembatan besar. Puncak
bencana tsunami rupanya telah berlalu, tetapi bencana dan kerugian yang
diakibatkan baru mulai dihitung. Aceh menangis, Indonesia dan dunia meratap.
Mayat Bergelimpangan
Setelah
jalan agak longgar, kami menuju ke arah ketinggian, Kampung Neusu
mengantisipasi kalau-kalau gelombang tsunami datang lagi. Di Jalan Teuku Umar
mobil kami tertahan oleh tiang listrik yang roboh. Setelah membeli sedikit roti
dan aqua di satu-satunya took yang terbuka, kami putuskan untuk menengok
keadaan mess. Saat kami tinggalkan mess masih ada dua orang cleaning servis,
satu tukang kebun dan tiga juru masak. Kami tentu saja belum tahu bagaimana
nasib mereka. Jangan-jangan ada diantara mereka yang tersapu gelombang. Tapi
kami sungguh mengharapkan mereka selamat semua.
Kami
kembali ke Simpang Empat karena hanya sampai disitulah kendaraan bisa merapat.
Aku dan dua orang lainnya turun dari mobil dan berjalan menuju Lapangan Blang
Padang, tempat mess kami. Dari tugu di Simpang Empat mayat-mayat sudah
berserakan dengan pakaian yang terkoyak-koyak nyaris telanjang. Beberapa orang
menyingkirkan mayat ke trotoar agar dapat melintasi jalan. Mobil. Motor, dan
alat-alat elektronik lainnya tergeletak tanpa harga dan tidak seorangpun
tertarik untuk mengambilnya. Harta benda saat ini sungguh tidak punya nilai
prioritas untuk dimiliki. Sepanjang jalan yang kami lalui menuju mess hanya
tangisan dan tangisan yang terdengar, dan hanya ada mayat dan mayat yang ada
diantara ribuan kubik sampah bangunan yang dihanyutkan gelombang.
Di
depan rumah dinas Kapolda Aceh aku berdiri memandang ke mess. Di atas atap
banyak orang berlindung. Kupikir mereka adalah anggotaku yang menyelamatkan
diri naik kea tap genteng. Aku bimbang, ragu dan sangsi untuk meneruskan
langkah ke arah mess, apalagi setelah melihat rumah dinas Kapolda porak poranda
dipenuhi sampah. Tetapi keinginan untuk mengetahui secara pasti nasib
anggota-anggotaku, kubulatkan keberanian menapaki sampah-sampah bangunan,
lumpur dan air yang masih setinggi pinggang.
Untuk
setiap langkah, aku membutuhkan waktu beberapa menit. Aku harus pastikan bahwa
kakiku sudah menapak dengan benar sebelum melangkah. Kalau tidak, paku-paku
akan menikam kakiku, seng seng akan mengiris betisku, dan lebih parah aku akan
terjatuh dengan kemungkinan luka yang lebih parah. Aku tidak perdulikan lagi
mayat-mayat yang aku langkahi atau jerit orang-orang meminta tolong di
kejauhan. Di kedalaman air aku kadang merasa menginjak-injak kaki manusia yang
terbenam lumpur. Aku sempat tersentak
kaget ketika menginjak ujung papan, dan dari ujung lainnya menyembul mayat
seorang gadis kecil. Aku kaget dan melepaskan injakan kakiku sehingga gadis
kecil itu tenggelam kembali. Saat itu rasa kemanusiaanku benar-benar sirna,
yang ada di benakku hanya bagaimana aku bisa sampai ke mess dengan selamat. Aku
mohon ampunanMu Ya Allah atas semua sikapmu saat itu. Sering terbayang
kemungkinan bahwa gadis kecil itu masih, dan itu berarti aku yang membunuhnya.
Untuk menempuh jarak yang hanya sepanjang
lapangan sepakbola, aku membutuhkan waktu satu setengah jam. Ya sebuah
perjalanan pendek yang melelahkan. Di pintu gerbang kami temui dua mayat. Slah
seorang diantaranya adalah wanita dengan cincing emas yang masih melekat di
jarinya. Aku masuk lewat garasi ke ruang tengah yang porak poranda. Di dalam
mess ada dua mayat yang terapung-apung dan mungkin masih banyak mayat di
ruangan lain. Kemudian aku naik ke lantai dua. Di atas ada lebih kurang 20
orang, laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Tak ada satupun yang aku kenal.
“Kemana para anggotaku yang enam orang itu, “ tanyaku dalam hati.
Kepada orang-orang itu aku jelaskan siapa diriku. Dari
ceritera mereka aku mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang terhempas
gelombang dan terpaksa menyelamatkan diri ke lantai dua mess kami. Bahkan
ketika air sedang meninggi beberapa diantara mereka sempat naik ke atas atap.
Mereka meminta maaf telah memakai pakaian, seprei, sarung, sajadah, taplak meja
dan apa saja yang bisa menutupi tubuh mereka.
Aku masuk ke kamar dan mendapati seluruh isi lemari telah
habis terkuras termasuk pakaian-pakaian yang digantung. Aku sangat marah dan
bergegas keluar menjumpai mereka. tetapi ketika melihat wajah-wajah mereka yang
penuh kesedihan dan penderitaan, aku langsung membayangkan bahwa rumah-rumah
mereka telah habis dan mungkin kehilangan beberapa anggota keluarganya.
Kemarahanku kontan padam dan memaklumkan cara mereka mengambil pakaianku.
Kepada seorang ibu yang memakai celana panjang coklat (seragam kantor) yang
tergantung di belakang pintu, aku Tanya dengan hati-hati. “Bu..! Di ceklana
yang ibu pakai ada dompet saya.”
“Maaf telah memakai celana Bapak. Tapi demi Allah, di
kantongnya tak ada dompet atau apapun, pak,” katanya menjelaskan sambil
membalikkan badan menunjukkan pantatnya.
Saya tidak tega untuk mengusutnya. Saya berpikir tentu ada
diantara mereka yang membutuhkan dompet saya. Mencari tahu siapa mereka akan
semakin menambah beban penderitaan yang telah mereka alami. Aku ikhlaskan
segalanya. Toch, barang-barang itu dapat aku beli kembali kalau tiba di
Jakarta, pikirku. Masalahnya aku sendiri tidak punya pakaian kecuali baju kaos
dan celana pendek, karena celana training yang aku pakai tadi sudah kulucuti
karena basah dan penuh lumpur.
rasanya sulit untuk meninggalkan rumah jika membayangkan
harus melewati tumpukan sampah dan mayat. Kalau tadi aku bisa mencapai mess,
itu karena keberanian ekstra dan merasa tanggung sudah berada di tengah
perjalanan. Aku hanya bisa duduk di beranda atas dan sekali-sekali berlari ke
dalam jika terjadi gempa susulan. Aku bimbang. Tetap tinggal di mess atau turun
kembali melewati jalan yang sama.
Senja makin gelap dan rasa takut mulai datang. Apakah mungkin
aku punya keberanian untuk menghabiskan malam di mess dalam keadaan gelap
gulita dan di bawahnya tergeletak mayat-mayat. Orang-orang yang sama masih di
mess karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana caranya jkeluar dari rumah
melewati gunungan sampah yang sulit dilalui.
Sore menjelang malam, akhirnya kuputuskan meninggalkan mess.
Beberapa wanita minta ikut serta hanya sekedar dapat keluar dari tumpukan
sampah. Tapi bagaimana mungkin, untuk turun dari rumah saja sudah sulit. Kami
sendiri dan beberapa lelaki lainnya harus meniti bubungan, merayap turun ke
pagar tembok untuk kemudioan melompat diantara tumpukan sampah. sebelum
meninggalkan mess, mereka yang tinggal memesan agar dibawakan makanan, minuman dan obat-obatan. Aku mengiyakan saja,
padahal aku yakin tidak mungkin kembali ke mess ini apalagi untuk membawakan
mereka makanan.
Dengan susah payah aku berhasil kembali ke Simpang Empat,
tetapi mobil dan teman-teman sudah tidak ada di tempat. Aku berpikir mungkin
mereka lari kea rah Ketapang ketika mendengar isu bahwa air laut naik lagi. Aku
menunggu di Café Juju milik Primkopad dan berharap mereka akan kembali
menjemputku. Pemilik café memberi kami makan gratis berupa indomie rebus,
sementara pemilik café berdiri di luar memanggil orang-orang lain untuk masuk
makan secara gratis. Aku salut dan hormat pada Café Juju yang sangat memahami
keadaan masyarakat Banda Aceh pada saat bencana yang demikian. Padahal kalau
Café Juju mau menjual makanannya dengan harga berapapun, orang akan tetap
membelinya. Apalagi saat itu tidak ada satu warungpun yang buka.
Hari mulai gelap. Gerimis datang. Aku tinggal Café Juju dan
berjalan menuju Meusu. Rencananya akan terus naik ke Ketapang terus ke Matai,
tempat dimana orang-orang mengungsikan diri. tetapi aku sudah tidak kuat
berjalan dan hujan mulai deras. Terpaksa aku berteduh di salah satu emperan
ruko bersama-sama pemilik ruko yang ternyata takut tinggal di dalam rukonya
sendiri, karena gempa keras susulan masih saja berlangsung. Hari itu tidak kurang dari 23 kali gem pa.
Setiap kali kami tertidur, kembali terjaga oleh gempa. dari malam hingga pagi
hari, kami hanya merasakan tidur-tidur ayam dengan duduk bersandar pada pintu
ruko.
Hidup menggelandang
Senin pagi, 27 Desember 2004, setelah cuci muka dengan air
aqua dan meneguk sisanya, saya berjalan kaki menuju lapangan Blang Padang. Saya
berharap di sana akan bertemu teman-teman karena yakin mereka akan terus
mencari. Mayat-mayat masih berserakan di tempatnya, bahkan di trotoar jalan
mayat yang dijejer terus bertambah, menunggu keluarga korban mencari dan
mengambilnya untuk dikubur secara layak. Bau mayat tak lagi sekedar bau yang
menyengat hidung, tetapi rasanya sudah sampai menyesak ke dada.
Di depan rumah dinas Kapolda seorang ibu muda berjalan
mendekat dan menemui saya. “Itu rumah Bapak, ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah
mess dua tingkat di seberang lapangan.
“Iya benar,’ jawabku.
“Anak saya jam 4 subuh tadi telah meninggal. Dia masih di lantai
atas mess bapak. Bapak bisa tolong gak membawa anak saya itu kemari?” pintanya
penuh harap dan mengiba.
Saya memang ada rencana ke mess, tetapi mendengar di atas
rumah ada mayat, niat itu saya urungkan. jangankan membawa mayat melintasi
gundukan sampah tsunami, membawa diri sayapun sudah merupakan pertarungan hidup
mati. “Ibu cari saja aparat atau relawan untuk membawa anak ibu turun ke
bawah,” kataku menyarankan.
Ia bergegas pergi berharap masih ada orang lain yang bisa
menolongnya, tetapi kemudian ia berbalik lagi. Aku kira ia akan menyatakan
kekecewaannya padaku. “tolong ikhlaskan pakaian bapak yang saya pakai ini,”
pintanya.
Seketika saya tidak dapat menahan airmata. Ternyata dibalik
kesedihan yang menderanya, ia masih memiliki harga diri untuk meminta secara
ikhlas satu-satunya kain yang membungkus tubuhnya. “Ibu lebih membutuhkannya,
dan saya mohon maaf tidak punya kemampuan untuk menyeberang ke mess menjemput
almarhum anak ibu,” kataku.
Tiga hari hidup sebagai gelandangan, tidur di emperan took,
makan seadanya dipinggiran jalan, tidak merasakan mandi, pakaian kumal
satu-satunya berhari-hari tidak lagi kurasakan sebagai siksaan, karena
beribu-ribu saudaraku mungkin lebih menderita kehilangan rumah, harta benda,
mata pencaharian, dan sanak keluarganya. Aku berusaha tegar menikmati apa saja
yang dapat masuk ke perutku untuk bertahan hidup. Aku tetap bisa nyaman dengan
celana pendek tanpa daleman dan kaos di badan selama 3 hari. Untuk mendapatkan
sebungkus mie instan kering saja kami harus rela antri di took-toko yang pintu
besinya hanya dibuka sekitar 20 cm. Orang-orang yang masih punya bersediaan
duit belanja dalam partai besar karena khawatir Banda Aceh akan mengalami
krisis pangan. Toko-toko tidak berani membuka pintunya lebar-lebar karena takut
dijarah, dan memang aku lihat sendiri beberapa aparat datang mengambil beberapa
kotak mie instan tanpa membayar. Dalam suatu kesempatan aku ikut menumpang truk
ke Matai, tempat pengungsian untuk mencari teman-teman atau anggota yang
mungkin selamat. Di sana aku menyaksikan aparat begitu sibuk membagi-bagikan
mie instan kepada para pengungsi. Mohon maaf, aku keliru menyikapi aparat.
Rupanya mereka mengambil mie instan dari toko-toko untuk dibagikan kepada
pengungsi.
Satu-satunya yang terus mengganggu pikiranku, keluarga di
Jakarta belum tahu bagaimana nasibku di Banda Aceh. Kantor hanya dapat memberi
kabar bahwa aku selamat tanpa bukti-bukti lain karena aku memang terlepas dari
rombongan. Telepon genggamku sendiri kutitipkan pada teman sewaktu melangkah
masuk ke dalam mess. Itulah kebodohanku sehingga aku tidak dapat mengetahui
keberadaan teman teman lainnya. Kepada
kru televisi Metro TV dan TV7 pernah kuminta untuk meng-shot-ku agak lama
berharap ada salah satu anggota keluarga, teman kantor, kenalan ataupun handai
taulan yang menonton di Jakarta dapat mengetahui bahwa aku selamat dari
musibah.
Suatu kali ada seorang pemuda yang sedang memainkan
handphonenya, entah sedang SMS atau mencari-cari nomor sambungan. Aku dekati
dan duduk di sampingnya bersandar pada pohon. Aku pura-pura ingin istirahat dan
tidur di bawah pohon dengan harapan dapat mengggugah rasa ibanya. Tak lama
kemudian ia melirik padaku dan aku
tersenyum. “Ini sudah hari ketiga,” kataku membuka pembicaraan. “Keluarga dan
anak-anakku yang masih kecil belum mengetahui keberadaanku. Kalau boleh aku
pinjam HP-nya untuk satu detik saja menghubungi mereka,” pintaku penuh harap.
Kalaupun dia tak memberi aku tetap akan sangat maklum. Bukan soalnya besaran
pulsanya, tetapi ia tentu juga sangat membutuhkan handphonenya untuk
menghubungi keluarga atau lainnya, karena sangat sulit menjaga HP tetap on di
saat listrik belum berfungsi.
Ia melihatku sejenak lalu menyodorkan HP-nya. Setelah telepon
terhubung, “Ibu..! Ini Ayah. Ayah selamat, kabarkan pada semua keluarga,”
ucapku dengan nada cepat dan telepon segera kututup tanpa menunggu jawaban.
Entah berapa detik yang terpakai, mungkin lebih dari satu detik tetapi
setidaknya ia tahu bahwa aku mempergunakan handphonenya sesingkat mungkin. Aku
kembalikan handphone pemuda itu dengan ucapan terimakasih berulang-ulang sambil
menundukkan badanku sebagai rasa hotrmat padanya.
Tak lama kemudian handphonenya berbunyi. “Ini mungkin dari
keluarga, bapak,” katanya menyerahkan handphonenya padaku. Tetapi aku menolak
menerimanya dengan sangat mempertimbangkan kebutuhannya kemudian, karena kalau
HP-nya sampai lowbath, iapun tak dapat mempergunakannya lagi. Aku bisa
membayangkan bagaimana terkejutnya istriku menerima kabar dariku dan ia tidak
sempat berkata-kata apa-apa, entah sampai kapan. Aku hanya berharap istri, anak
dan keluargaku bisa sedikit tenang mengetahui keadaanku.
Hari-Hari di Posko
Satkorlak
Kabar tentang kehilanganku telah sampai ke kantor pusat.
Kepada tim di Banda Aceh diperintahkan untuk memprioritaskan pencarian diriku.
Selasa sore, 28 Desember 2004, Ardiansyah, Intel Polda Aceh yang ditugaskan
mengawal tim menemukanku setelah berkeliling cukup lama. Aku di bawa ke Pendopo
Gubernur dimana semua teman-teman berkumpul. Saat itu baru aku tahu bahwa
Pendopo Gubernur telah dijadikan Posko Satkorlak.
Di Pendopo kami menempati kamar cleaning servis. Enam orang
mensesaki sebuah kamar yang bnerukuran kecil, tapi bagiku ini adalah kebahagian
setelah tiga hari tidur di emperan toko. Kesempatan pertama aku pergunakan
mandi sepuas-puasnya. Pakaian yang telah tiga hari di badan aku buang, walaupun
teman menyarankan untuk menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Aku tidak mau
menyimpan kesan-kesan yang menyedihkan dalam hidupku. Setelah mandi aku
dipinjamkan training dan baju kaos temanku. Sebenarnya ada pakaian baru yang
dikirim dari Jakarta tetapi tidak satupun yang cocok dengan badanku. Pas di
badan sempit di perut. Begitupun celana, pas panjangnya sempit lingkar
perutnya. Hanya sepatu yang cocok dengan ukuran kakiku, tetapi ini adalah
sepatu boat yang dipersiapkan untuk medan menapaki tumpukan sampah tsunami.
Kami sholat magrib berjamaah di Mesjid Pendopo. Imam yang
memimpin sholat bacaannya begitu menyayat hati, hampir semua jamaah sholat
sambil terisak-isak menahan tangis. Ya…dalam kedukaan ini hanya kepada
Allah-lah kami bergantung dan berserah diri. Setelah sholat kami langsung
menyerbu dapur umum menikmati nasi dan indomie rebus. Hanya itu yang tersedia,
itupun jika kita terlambat tidak akan kebagian. Sebanyak apapun yang dimasak selalu
saja tak cukup sehingga relawan juru masak harus memasak berulang-ulang. Untuk
itu di kamar sempit kami selalu tersedia makanan ringan seperti biskuit, kopi
sachet dan aqua.
Hari keempat, mayat-mayat yang berjejer di trotoar jalan
mulai diangkut. Mereka diangkut dengan memakai dam truck yang biasa dipakai
buat mengangkut pasir dan bahan bangunan. Mereka dinaikkan ke atas truk seperti
melemparkan karung-karung gula lalu dibawa ke pemakaman massal. Dalam liang
besar mayat-mayat itu diturunkan seperti menumpahkan limbah bangunan. Di tempat
pemakaman massal ini masih banyak penduduk yang berkumpul, berharap masih ada
mayat yang mereka kenali untuk mereka ambil dan makamkan secara layak.
Astagfirulllah, dalam situasi demikian kita memang terkesan tidak manusiawi
lagi memperlakukan mayat-mayat yang membusuk itu. Semoga Allah mengampuni
hambaNya.
Di Posko Satkorlak setiap malam diadakan rapat yang dipimpin
oleh Wakil Gubernur, Mustafa Abubakar yang sekaligus memberikan press release
kepada para wartawan media cetak dan elektronik. Sampai hari kelima rapat
evaluasi masih berkisar soal bagaimana dan bagaimana. Seorang peserta rapat
begitu geram dan jengkel, “dari kemarin bicara cara….cara….dan cara lagi. Cara
saja tidak bisa diputuskan, kapan mau action,” gerutunya sambil keluar ruangan.
Ia segera menelpon ke Jakarta melaporkan situasi pasca tsunami dan menyarankan
agar pemerintah pusat mengambil alih penanganan Aceh psca tsunami.
Stasiun televisi nasional dan internasional memasang jaringan
transmisinya di halaman pendopo. Metro TV dan RCTI memasang televisi besar agar
masyarakat dapat menonton dan mengikuti perkembangan penangan pasca tsunami.
Berbagai komentar pedas bermunculan dari berbagai tokoh dan pengamat di
Jakarta. Mereka yang menonton menjadi kesal juga. “Komentar melulu. suruh
mereka ke Banda aceh melihat langsung keadaan, kalau perlu suruh mereka
mengevakuasi mayat-mayat,” celoteh beberapa orang.
Saya pribadi tidak mempersalahkan anggapan para pengamat
bahwa penanganan evakuasi korban terkesan lamban. Tetapi kalau mempersalahkan
pemerintah daerah dan aparatnya, itu artinya mereka tidak mengerti situasi yang
terjadi pasca tsunami. Tenaga TNI, Polda, PNS, generasi muda tidak ada yang
bisa digerakkan. Kalau mereka dipaksa untuk melakukan evakuasi korban atau
menangani hal-hal yang berkaitan dengan bencana gelombang tsunami, justru
negara yang dapat dituduh tidak berprikemanusian. Bagaimana tidak. Gelombang
tsunami tidak hanya menghantam pemukiman penduduk tetapi juga menghabisi asrama
TNI dan Polri. Praktis tenaga kepolisian lumpuh, karena mereka adalah bagian
dari korban. Kalaupun ada yang selamat, mereka masih sibuk mencari anak istri
dan sanak keluarganya. Satu hal yang pasti aparatpun sedang mengalami defresi
berat dan traumatis. Sebenarnya dengan kondisi kelambanan tersebut, nyata bahwa
masyarakat sangat membutuhkan bantuan tenaga aparat dari luar Aceh dalam
menyelesaikan permasalahan, bukan para pengamat dan komentator yang hanya
pandai berbicara tetapi tidak memberikan solusi.
Saya sendiri telah diperintahkan untuk segera kembali ke
Jakarta karena alas an menghindari traumatis yang makin dalam pada diri kami
dan keluarga. Kamis, 30 desember 2004, jam. 17.30 kami digabungkan dengan para
pengungsi lain menumpang kapal Hercules milik Angkatan Udara Australia menuju
Medan. Di medan aku membeli oleh-oleh sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin
menjumpai anak istriku dalam suasana yang tragis. Padatnya penerbangan ke Medan
dan Banda Aceh menyebabkan banyak pesawat yang tertunda keberangkatannya,
termasuk Star Air yang aku tumpangi. Sedianya berangkat jam 18.30 ditunda
berkali-kali dan baru berangkat pada hari Jumat pukul 00.30 dini hari. Ini
tentu saja ada hikmahnya. Dengan demikian ketibaanku di rumah Jam 04.00 WIB
tidak diperhatikan oleh tetanga-tetanggaku. Istri menjemput dengan senyum dan
tangisan, mencium kedua pipiku dan mengucapkan, “Syukurlah Alhamdulillah,” lalu
kemudian ia tersungkur dan sujud syukur. “Kok bawa oleh-oleh lagi?” tanyanya
sambil membawa kardus itu ke dalam.
Anak-anak segera terbangun menyambut ayahnya. Aku berusaha
terus tersenyum padanya untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa tidak ada
kejadian yang luar biasa menimpah ayahnya. Seperti biasa, ibu dan anak-anaknya
segera membuka kardus yang berisi Bika Ambon, kopi khas Medan dan Donat kesukaannya
yang biasa aku beli di bandara. Ketika ibunya bermaksud membuka koper
mengeluarkan pakaian kotor untuk dicuci, aku mencegahnya, “di kamar saja,”
kataku.
Ketika masuk ke dalam kamar dan membuka kopernya, ia kaget
mendapatkan koper yang kosong. Ia memandangku penuh Tanya.
“Semua sudah habis diambil orang,” kataku singkat.
Zul, salut untuk tulisan yg bagus ini.Aku terbang dan terbawa alur cerita, ku ikut menelusuri semua jalan dan tempat di Banda Aceh yang kau tuliskan, bukan main hebatnya sebuah kisah nyata yang memilukan, dan bersaksi tentang kebesaran Allah.Good luck and God bless you and fam. Paul Amalo,Kupang.