DIMANA RUANG TANPA KORUPSI

Minggu, 29 Desember 2013

Media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu, dimanakah ruang tanpa korupsi ?


Dalam suatu peresmian proyek-proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (23/10/2013), Presiden SBY mengingatkan para pejabat daerah, baik gubernur, walikota, bupati dan pejabat lainnya agar tidak tergoda dengan korupsi yang kini telah banyak memakan korban. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak tahun 2000 hingga tahun 2013, Restuardy Daud, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri mengungkap kan jumlah kepala daerah yang terjerat kasus hukum telah mencapai angka 309 orang dari total 524 kepala daerah.

Patut dipertanyakan kembali, benarkah dorongan perbuatan korupsi karena penghasilan penyelenggara negara tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bukti yang yang terserak di pemberitaan media massa memperlihatkan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus korupsi sebahagian besar adalah pejabat tinggi yang punya kewenangan besar, kaya raya dan bergaji tinggi. Kalau dulu korupsi banyak dilakukan oleh pejabat tinggi di pemerintahan pusat, namun kini dengan diberlakukannya otonomi daerah, kabupaten dan kota, pejabat daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengelola anggaran. Maka tak heran jika perilaku korupsipun bergeser dan melebar hingga ke daerah-daerah.

Siapa yang akan mengawasi perilaku korupsi di lembaga eksekutif ? Masyarakat tentu saja mengharapkan wakil-wakil mereka di DPR akan bekerja maksimal untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Namun apa yang kita saksikan ? wakil-wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah juga tidak kebal terhadap godaan korupsi. Entah sudah berapa banyak anggota dewan yang mendekam di penjara karena korupsi dan semua itu tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat-pejabat legislatif lainnya. Bahkan KPK mengeluarkan release bahwa DPR merupakan lembaga paling korup di Indonesia selama lima tahun berturut-turut. Atas tudingan tersebut, Ketua DPR, Marzuki Alie membela diri dengan mengatakan, ”Memang (kasus korupsi) yang terbanyak (ada di DPR) tetapi penyebabnya bukan DPR. Harus dicari dong penyebabnya, karena DPR itu kalau tidak bekerjasama dengan eksekutif tidak terjadi (korupsi).” (17/9). Sebagai suatu lembaga, kita tidak dapat memungkiri bahwa Parlemen kita senantiasa berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Buktinya, Indonesia bersama negara-negara Asia tenggara lainnya yang tergabung dalam The Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC sepakat menciptakan kawasan bebas korupsi. Kini tinggal menunggu tindaklanjutnya.

Jika kemudian pejabat-pejabat di eksekutif korup, pejabat-pejabat di legislatif korup, lalu dimana lagi ada ruang yang tidak korup? Harapan kita tentu bahwa lembaga yudikatif seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan di Indonesia dapat menegakkan hukum dan memberi sanksi pada pelaku-pelaku pencurian uang negara, menegakkan hukum untuk mencegah semakin merajalelanya praktek korupsi. Tetapi apa yang kemudian kita temukan, ternyata lembaga yudikatif jauh lebih korup. Polisi korup dalam menyidik kasus, jaksa korup dalam menuntut koruptor, dan hakim bermain-main dengan koruptor.
lihatlah bagaimana media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu, dimanakah ruang tanpa korupsi ?

betulkah sudah tak ada lagi ruang tanpa virus korupsi? Korupsi bukanlah sesuatu yang berada secara niscaya pada ruang. Korupsi adalah penyakit kronis yang menulari semua ruang. Yang tampak nyata adalah, bahwa hampir semua ruang tak lagi ada anti virus untuk menangkal korupsi. Bahkan korupsi bukan lagi sekedar sebagai penyakit yang menyebar ke tiap-tiap ruang, tetapi ruang-ruanglah yang ternyata ikut mengundang hadirnya korupsi. Betapa kuatnya pengaruh godaan korupsi, dan godaan itu selalu mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ruang yang akan dia masuki. Yang miskin tergoda yang kayapun tergoda. Staf tergoda, atasanpun tergoda. Anak buah tergoda, pimpinanpun tergoda. Bahkan mereka yang bertugas mulia untuk menjaga godaan, justru ikut terjerumus dalam godaan.

Masih adakah ruang tanpa korupsi ? Satu-satunya ruang yang tersisa hanyalah hati nurani yang dibentengi nilai-nilai keimanan untuk tetap menjaga amanah. Masalahnya hati nuranipun telah banyak yang terusir dari diri manusia. Untuk itu marilah bersama-sama kita membangun kembali budaya dasar kita yang senantiasa menjaga amanah yang telah diberikan. Setiap pejabat publik harus diingatkan bahwa jabatan dan kekuasaan itu adalah amanah dan karena itu harus dijaga sebaik-baiknya. Mari kita mendukung tekad untuk memberantas korupsi dengan menanamkan nlai-nilai budaya anti korupsi, melalui program Pendidikan Budaya Anti Korupsi di semua lini. 

Telah Dimuat di Skh. Jurnal Nasional, Sabtu, 28/12/2013


0 komentar:

Posting Komentar