Media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di
semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif), parlemen
(legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu, dimanakah ruang
tanpa korupsi ?
Dalam suatu peresmian proyek-proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan
(23/10/2013), Presiden SBY mengingatkan para pejabat daerah, baik gubernur,
walikota, bupati dan pejabat lainnya agar tidak tergoda dengan korupsi yang
kini telah banyak memakan korban. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam
Negeri, sejak tahun 2000 hingga tahun 2013, Restuardy Daud, Kepala Pusat
Penerangan Kemendagri mengungkap kan jumlah kepala daerah yang terjerat kasus
hukum telah mencapai angka 309 orang dari total 524 kepala daerah.
Patut dipertanyakan kembali, benarkah dorongan perbuatan korupsi karena
penghasilan penyelenggara negara tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bukti yang
yang terserak di pemberitaan media massa memperlihatkan bahwa mereka yang
terlibat dalam kasus korupsi sebahagian besar adalah pejabat tinggi yang punya
kewenangan besar, kaya raya dan bergaji tinggi. Kalau dulu korupsi banyak
dilakukan oleh pejabat tinggi di pemerintahan pusat, namun kini dengan
diberlakukannya otonomi daerah, kabupaten dan kota, pejabat daerah memiliki
kewenangan yang cukup besar dalam mengelola anggaran. Maka tak heran jika
perilaku korupsipun bergeser dan melebar hingga ke daerah-daerah.
Siapa yang akan mengawasi perilaku korupsi di lembaga eksekutif ?
Masyarakat tentu saja mengharapkan wakil-wakil mereka di DPR akan bekerja
maksimal untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Namun apa yang kita saksikan ?
wakil-wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah juga tidak kebal terhadap
godaan korupsi. Entah sudah berapa banyak anggota dewan yang mendekam di
penjara karena korupsi dan semua itu tidak menimbulkan efek jera bagi
pejabat-pejabat legislatif lainnya. Bahkan KPK mengeluarkan release bahwa DPR
merupakan lembaga paling korup di Indonesia selama lima tahun berturut-turut.
Atas tudingan tersebut, Ketua DPR, Marzuki Alie membela diri dengan mengatakan,
”Memang (kasus korupsi) yang terbanyak (ada di DPR) tetapi penyebabnya bukan
DPR. Harus dicari dong penyebabnya, karena DPR itu kalau tidak bekerjasama
dengan eksekutif tidak terjadi (korupsi).” (17/9). Sebagai suatu lembaga, kita
tidak dapat memungkiri bahwa Parlemen kita senantiasa berusaha untuk mendorong
pemberantasan korupsi di Indonesia. Buktinya, Indonesia bersama negara-negara
Asia tenggara lainnya yang tergabung dalam The Southeast Asian Parliamentarians
Against Corruption (SEAPAC sepakat menciptakan kawasan bebas korupsi. Kini
tinggal menunggu tindaklanjutnya.
Jika kemudian pejabat-pejabat di eksekutif korup, pejabat-pejabat di
legislatif korup, lalu dimana lagi ada ruang yang tidak korup? Harapan kita
tentu bahwa lembaga yudikatif seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan di
Indonesia dapat menegakkan hukum dan memberi sanksi pada pelaku-pelaku
pencurian uang negara, menegakkan hukum untuk mencegah semakin merajalelanya
praktek korupsi. Tetapi apa yang kemudian kita temukan, ternyata lembaga
yudikatif jauh lebih korup. Polisi korup dalam menyidik kasus, jaksa korup
dalam menuntut koruptor, dan hakim bermain-main dengan koruptor.
lihatlah bagaimana media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi
yang terjadi di semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif),
parlemen (legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu,
dimanakah ruang tanpa korupsi ?
betulkah sudah tak ada lagi ruang tanpa virus korupsi? Korupsi bukanlah
sesuatu yang berada secara niscaya pada ruang. Korupsi adalah penyakit kronis
yang menulari semua ruang. Yang tampak nyata adalah, bahwa hampir semua ruang
tak lagi ada anti virus untuk menangkal korupsi. Bahkan korupsi bukan lagi sekedar
sebagai penyakit yang menyebar ke tiap-tiap ruang, tetapi ruang-ruanglah yang
ternyata ikut mengundang hadirnya korupsi. Betapa kuatnya pengaruh godaan
korupsi, dan godaan itu selalu mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ruang
yang akan dia masuki. Yang miskin tergoda yang kayapun tergoda. Staf tergoda,
atasanpun tergoda. Anak buah tergoda, pimpinanpun tergoda. Bahkan mereka yang
bertugas mulia untuk menjaga godaan, justru ikut terjerumus dalam godaan.
Telah Dimuat di Skh. Jurnal Nasional, Sabtu, 28/12/2013
0 komentar:
Posting Komentar