JEJAK SEJARAH LAWANG SEWU

Senin, 16 Desember 2013
Melihat bangunan gedungnya yang megah dan kokok berdiri di tengah-tengah Kota semarang, Jawa Tengah, tak ada yang akan dipercaya bahwa bangunan itu telah berusia 100 tahun lebih. Bangunan ini memang dijaga kewibawaannya dan tidak dibiarkan terkesan menjadi tua. Pemerintah Daerah Jawa Tengah menjaga,  memelihara dan merenovasi bangunan ini sebagai bukti sejarah bahwa di tengah Kota Semarang pernah ada penjajahan Belanda dan Jepang dengan segala tabiat kepenjajahannya.

 
Lawang Sewu dalam bahasa Jawa berarti seribu pintu. Pintunya sendiri sebenarnya tidak berjumlah seribu. Setiap kusen pintu rata-rata memiliki 6 sampai dengan 8 daun pintu. Jumlah daun pintunya mencapai angka 425 daun pintu, jika ditambahkan dengan daun jendela mungkin jumlahnya malah lebih dari seribu. Mengapa pula tidak ada yang sempat untuk menghitung jumlah pintunya agar dapat memberi penjelasan yang jelas dan tepat tentang jumlah pintu Lawang Sewu. Tak ada penjelasan soal ini. Tak ada juga catatan tertinggal yang menjelaskan kapan gedung ini bernama Lawang Sewu. Sejarah sepertinya membiarkan nama Lawang Sewu tetap misteri. ceritera dari mulut ke mulut mengatakan bahwa Lawang Sewu adalah sebutan dari masyarakat Semarang yang lidahnya tidak begitu akrab dengan sebutan nama gedung ke-Belanda-belandaan. Sebutan itu terus melekat dan menjadi ingatan bersama penduduk Kota Semarang.

 
Gedung Lawang Sewu dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Deft) dan B.J. Ouendag, arsitek Belanda di Amsterdam pada tahun 1903. Peletakan pertama pembangunan gedung ini dimulai pada tanggal 27 Februari 1904 dan selesai pada tanggal 1 Juli 1907. Sesuai pesanan Kantor Pusat Perkeretaapian NIS, sang arsitektur memang merancang bangunan ini sebagai bangunan modern dengan banyak pintu untuk menyesuaikan dengan iklim tropis Semarang. Gedung ini seperti sebuah buku besar yang menyediakan dirinya ditulisi berbagai kisah. Menjaga bentuk dan isi buku ini sama artinya dengan menjaga khasanah sejarah perjalanan sebuah bangsa yang pernah terjajah untuk kemudian bangkit memerdekakan diri.

          Pada masa penjajahan Belanda gedung ini difungsikan sebagai kantor pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), yaitu sebuah perusahaan swasta perkeretaapian, dan merupakan perusahaan asing pertama yang membangun lintas kereta api di pulau Jawa, bahkan lintasan kereta api pertama di Indonesia. Jalur pertama yang dibuat melintas dari Semarang menuju Surakarta dan Yogyakarta dan sebagian menuju Ambarawa pada tahun 1867. Dengan semakin luasnya daerah jajahan dan menopang pertumbuhan perusahaan swasta, maka terpikirlah membangun gedung publik Lawang Sewu tersebut. Sebagai pusat perusahaan perkeretaapian hampir semua pembesar Belanda dan noni-noni Belanda sering berkumpul dan berpesta dansa di tempat ini. Ada ruangan berbentuk aula tempat dansi dansi pembesar-pembesar Belanda.


 
Ketika Jepang menduduki Indonesia (1940) yang datang sebagai saudara Asia, Jepang ternyata jauh lebih sadis dan kejam kepada penduduk pribumi dan musuh-musuhnya. Jepang menduduki Gedung Lawan Sewu yang diperuntukkan sebagai markas Kompetai, polisi militer Jepang yang terkenal sadis, kejam dan sangat menakutkan. Saat itu, Jepang mencatatkan sejarah lain tentang Lawang Sewu. Ruang bawah tanah yang tadinya berfungsi sebagai penyejuk dan bungker penghubung ke daerah lain, dialihkan oleh jelang sebagai penjara pembantaian. Bagaimana tidak, 16 buah kolam yang terdapat di ruang bawah tanah di fungsikan sebagai penjara jongkok. Satu kolam yang berukuran 1,5 x 1,5 meter dengan tinggi 60 cm diisi oleh Sembilan orang yang harus jongkok bersesakan, lalu diisi air seleher kemudian ditutup terali besi sampai mereka mati. Jepang juga mengfungsikan ruang berkotak sebagai penjara berdiri yang diisi sampai lima orang lalu ditutup pintu besi hingga mati. Mayat-mayat itu mereka keluarkan melalui ventilasi udara dan membuangnya ke sungai yang mengalir di samping gedung Lawang Sewu. 


 
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Gedung Lawang sewu ini juga tercatat sebagai lokasi pertempuran hebat selama lima hari antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dan berbagai organisasi kepemudaan lainnya melawan Kompetei dan Kidobutai untuk melucuti tentara Jepang yang telah menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Setelah kemerdekaan Gedung Sewu berturut-turut dipakai sebagai Kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia, lalu Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer dan Kantor Wilayah Kementerian Perhubungan. Setelah mengalami pemugaran dengan mendatangkan ahli dari Belanda, Lawang Sewu mulai dipercantik untuk mendekati bentuk aslinya. Kesan seram dan mistik karena terbengkalai, kini menjadi tempat yang sangat memikat pengunjung. Kini Lawang Sewu telah menjadi gerai pamer industry dan kreatif yang mewakili daerah seluruh Indonesia dengan lebih menonjolkan diri sebagai museum sejarah perkeretaapian Indonesia.

          Untuk mengenang jejak sejarah Lawang Sewu, saya berkesempatan mengunjungi Lawang Sewu yang artistik didampingi oleh seorang teman, Dosen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata (Stiepari) Semarang. Hal pertama yang muncul ketika memandangi Lawang sewu dari dekat adalah rasa kagum yang luar biasa melihat seni arsitektur bangunan peninggalan Belanda ini. Kami langsung naik ke lantai dua melihat deretan pintu-pintu dan ruangan-ruangan yang kesemua terhubung (connecting door), hingga pada suatu ruang yang luas dan memanjang. Aku membayangkan suasana pesta dansa yang berlangsung meriah di tempat ini. Berbeda dengan temanku yang merasakan suasana dingin, lembab, sepi dan senyap. Kami terus berjalan ke belakang, ada tangga menuju loteng gedung. Teman menawarkan untuk naik ke atas dan melihat keadaan lotengnya, tetapi saya menolak karena saya pikir tidak ada yang menarik di atas loteng sana kecuali kegelapan hampa barang.

          Kami lalu turun ke lantai satu. Di bagian belakang terdapat ruang untuk menuju ke ruangan bawah tanah. Di sana tersedia penyewaan sepatu boot dan senter kecil karena di bawah memang sangat gelap. Pada salah satu dindingnya terpampang pengumuman, “Dilarang melakukan kegiatan berbau mistis di areal Lawang sewu.”.

          “Di bawah sinilah ruang pembataian manusia,” kata temanku mengingatkan ketika kami melangkah turun ke bawah dengan tangga agak sempit sehingga kita harus turun satu persatu. Ruang bawah tanah ini di genangi air yang bening setinggi 2 s.d. 3 cm. Air ini selalu bersih karena ia mengalir ke luar. Dengan senter masing-masing di tangan kami berjalan menyusuri lorong-lorong panjang yang di kirinya terdapat kolam berisi air dan ruang-ruang kotak sebagai tempat penyiksaan manusia. Saya tidak merasakan adanya aroma kematian di tempat ini, atau bau-bau darah dan mayat manusia.


          Setelah mengitari semua tempat di bawah tanah. Kami duduk sejenak di pipa besar pembuangan air. Teman dosen ini menawarkan untuk uji nyali. Saya jadi teringat program reality show televisi yang memang ternyata mengambil tempat shooting di tempat ini. “Bagaimana caranya,” tanyaku. “Kita duduk di sini dan mematikan senter untuk beberapa lama. Jangan berbicara dan coba rasakan suasananya,” katanya. Kami duduk berdiam sekitar 3 menit. Sejujurnya, saya tidak merasakan apa-apa selain kegelapan dan kelembaban. Saya tidak menemukan hal-hal yang mistik, atau sesuatu yang menyeramkan di tempat ini. Saya lalu bertanya mengapa orang-orang mengatakan tempat ini sebagai keramat. Setelah lampu senter dinyalakan kembali, teman saya bertanya, “Bapak merasakan atau mendengar suara-suara ? seperti keluhan dan tangisan kecil ?.”


“Saya tidak merasakan dan mendengar apa-apa selain dengung udara dalam ruangan pengap ini.”

“Itulah suara mayat-mayat yang dibantai di tempat ini,” jelasnya meyakinkan aku yang tidak pernah bisa yakin dengan apa yang ia yakini.

Hari sudah malam. Kami kembali dengan kesan dan ceritera hati yang berbeda-beda tentang Lawang Sewu.



1 komentar:

  1. Bella soeroyo mengatakan...:

    Wahh terima kasih menambah wawasan dan list wisata saya.

Posting Komentar