Melihat
bangunan gedungnya yang megah dan kokok berdiri di tengah-tengah Kota semarang,
Jawa Tengah, tak ada yang akan dipercaya bahwa bangunan itu telah berusia 100
tahun lebih. Bangunan ini memang dijaga kewibawaannya dan tidak dibiarkan
terkesan menjadi tua. Pemerintah Daerah Jawa Tengah menjaga, memelihara dan merenovasi bangunan ini
sebagai bukti sejarah bahwa di tengah Kota Semarang pernah ada penjajahan
Belanda dan Jepang dengan segala tabiat kepenjajahannya.
Lawang
Sewu dalam bahasa Jawa berarti seribu pintu. Pintunya sendiri sebenarnya tidak
berjumlah seribu. Setiap kusen pintu rata-rata memiliki 6 sampai dengan 8 daun
pintu. Jumlah daun pintunya mencapai angka 425 daun pintu, jika ditambahkan
dengan daun jendela mungkin jumlahnya malah lebih dari seribu. Mengapa pula
tidak ada yang sempat untuk menghitung jumlah pintunya agar dapat memberi
penjelasan yang jelas dan tepat tentang jumlah pintu Lawang Sewu. Tak ada
penjelasan soal ini. Tak ada juga catatan tertinggal yang menjelaskan kapan
gedung ini bernama Lawang Sewu. Sejarah sepertinya membiarkan nama Lawang Sewu
tetap misteri. ceritera dari mulut ke mulut mengatakan bahwa Lawang Sewu adalah
sebutan dari masyarakat Semarang yang lidahnya tidak begitu akrab dengan sebutan
nama gedung ke-Belanda-belandaan. Sebutan itu terus melekat dan menjadi ingatan
bersama penduduk Kota Semarang.
Gedung
Lawang Sewu dirancang oleh Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Deft) dan B.J.
Ouendag, arsitek Belanda di Amsterdam pada tahun 1903. Peletakan pertama
pembangunan gedung ini dimulai pada tanggal 27 Februari 1904 dan selesai pada
tanggal 1 Juli 1907. Sesuai pesanan Kantor Pusat Perkeretaapian NIS, sang
arsitektur memang merancang bangunan ini sebagai bangunan modern dengan banyak
pintu untuk menyesuaikan dengan iklim tropis Semarang. Gedung ini seperti
sebuah buku besar yang menyediakan dirinya ditulisi berbagai kisah. Menjaga
bentuk dan isi buku ini sama artinya dengan menjaga khasanah sejarah perjalanan
sebuah bangsa yang pernah terjajah untuk kemudian bangkit memerdekakan diri.
Pada masa penjajahan Belanda gedung
ini difungsikan sebagai kantor pusat Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij
(NIS), yaitu sebuah perusahaan swasta perkeretaapian, dan merupakan perusahaan
asing pertama yang membangun lintas kereta api di pulau Jawa, bahkan lintasan
kereta api pertama di Indonesia. Jalur pertama yang dibuat melintas dari
Semarang menuju Surakarta dan Yogyakarta dan sebagian menuju Ambarawa pada
tahun 1867. Dengan semakin luasnya daerah jajahan dan menopang pertumbuhan
perusahaan swasta, maka terpikirlah membangun gedung publik Lawang Sewu
tersebut. Sebagai pusat perusahaan perkeretaapian hampir semua pembesar Belanda
dan noni-noni Belanda sering berkumpul dan berpesta dansa di tempat ini. Ada
ruangan berbentuk aula tempat dansi dansi pembesar-pembesar Belanda.
Ketika Jepang menduduki Indonesia (1940) yang
datang sebagai saudara Asia, Jepang ternyata jauh lebih sadis dan kejam kepada
penduduk pribumi dan musuh-musuhnya. Jepang menduduki Gedung Lawan Sewu yang
diperuntukkan sebagai markas Kompetai, polisi militer Jepang yang terkenal
sadis, kejam dan sangat menakutkan. Saat itu, Jepang mencatatkan sejarah lain
tentang Lawang Sewu. Ruang bawah tanah yang tadinya berfungsi sebagai penyejuk
dan bungker penghubung ke daerah lain, dialihkan oleh jelang sebagai penjara
pembantaian. Bagaimana tidak, 16 buah kolam yang terdapat di ruang bawah tanah
di fungsikan sebagai penjara jongkok. Satu kolam yang berukuran 1,5 x 1,5 meter
dengan tinggi 60 cm diisi oleh Sembilan orang yang harus jongkok bersesakan,
lalu diisi air seleher kemudian ditutup terali besi sampai mereka mati. Jepang
juga mengfungsikan ruang berkotak sebagai penjara berdiri yang diisi sampai
lima orang lalu ditutup pintu besi hingga mati. Mayat-mayat itu mereka
keluarkan melalui ventilasi udara dan membuangnya ke sungai yang mengalir di
samping gedung Lawang Sewu.
Pada masa perjuangan kemerdekaan, Gedung
Lawang sewu ini juga tercatat sebagai lokasi pertempuran hebat selama lima hari
antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) dan berbagai organisasi kepemudaan
lainnya melawan Kompetei dan Kidobutai untuk melucuti tentara Jepang yang telah
menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Setelah kemerdekaan Gedung Sewu berturut-turut
dipakai sebagai Kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia, lalu Kantor
Badan Prasarana Komando Daerah Militer dan Kantor Wilayah Kementerian
Perhubungan. Setelah mengalami pemugaran dengan mendatangkan ahli dari Belanda,
Lawang Sewu mulai dipercantik untuk mendekati bentuk aslinya. Kesan seram dan
mistik karena terbengkalai, kini menjadi tempat yang sangat memikat pengunjung.
Kini Lawang Sewu telah menjadi gerai pamer industry dan kreatif yang mewakili
daerah seluruh Indonesia dengan lebih menonjolkan diri sebagai museum sejarah
perkeretaapian Indonesia.
Untuk mengenang jejak sejarah Lawang
Sewu, saya berkesempatan mengunjungi Lawang Sewu yang artistik didampingi oleh
seorang teman, Dosen dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata (Stiepari)
Semarang. Hal pertama yang muncul ketika memandangi Lawang sewu dari dekat
adalah rasa kagum yang luar biasa melihat seni arsitektur bangunan peninggalan
Belanda ini. Kami langsung naik ke lantai dua melihat deretan pintu-pintu dan
ruangan-ruangan yang kesemua terhubung (connecting door), hingga pada suatu
ruang yang luas dan memanjang. Aku membayangkan suasana pesta dansa yang
berlangsung meriah di tempat ini. Berbeda dengan temanku yang merasakan suasana
dingin, lembab, sepi dan senyap. Kami terus berjalan ke belakang, ada tangga
menuju loteng gedung. Teman menawarkan untuk naik ke atas dan melihat keadaan
lotengnya, tetapi saya menolak karena saya pikir tidak ada yang menarik di atas
loteng sana kecuali kegelapan hampa barang.
Kami lalu turun ke lantai satu. Di
bagian belakang terdapat ruang untuk menuju ke ruangan bawah tanah. Di sana
tersedia penyewaan sepatu boot dan senter kecil karena di bawah memang sangat
gelap. Pada salah satu dindingnya terpampang pengumuman, “Dilarang melakukan kegiatan
berbau mistis di areal Lawang sewu.”.
“Di bawah sinilah ruang pembataian
manusia,” kata temanku mengingatkan ketika kami melangkah turun ke bawah dengan
tangga agak sempit sehingga kita harus turun satu persatu. Ruang bawah tanah
ini di genangi air yang bening setinggi 2 s.d. 3 cm. Air ini selalu bersih
karena ia mengalir ke luar. Dengan senter masing-masing di tangan kami berjalan
menyusuri lorong-lorong panjang yang di kirinya terdapat kolam berisi air dan
ruang-ruang kotak sebagai tempat penyiksaan manusia. Saya tidak merasakan
adanya aroma kematian di tempat ini, atau bau-bau darah dan mayat manusia.
Setelah mengitari semua tempat di
bawah tanah. Kami duduk sejenak di pipa besar pembuangan air. Teman dosen ini
menawarkan untuk uji nyali. Saya jadi teringat program reality show televisi
yang memang ternyata mengambil tempat shooting di tempat ini. “Bagaimana
caranya,” tanyaku. “Kita duduk di sini dan mematikan senter untuk beberapa lama.
Jangan berbicara dan coba rasakan suasananya,” katanya. Kami duduk berdiam
sekitar 3 menit. Sejujurnya, saya tidak merasakan apa-apa selain kegelapan dan
kelembaban. Saya tidak menemukan hal-hal yang mistik, atau sesuatu yang
menyeramkan di tempat ini. Saya lalu bertanya mengapa orang-orang mengatakan
tempat ini sebagai keramat. Setelah lampu senter dinyalakan kembali, teman saya
bertanya, “Bapak merasakan atau mendengar suara-suara ? seperti keluhan dan tangisan
kecil ?.”
“Saya
tidak merasakan dan mendengar apa-apa selain dengung udara dalam ruangan pengap
ini.”
“Itulah
suara mayat-mayat yang dibantai di tempat ini,” jelasnya meyakinkan aku yang
tidak pernah bisa yakin dengan apa yang ia yakini.
Hari
sudah malam. Kami kembali dengan kesan dan ceritera hati yang berbeda-beda
tentang Lawang Sewu.
Wahh terima kasih menambah wawasan dan list wisata saya.