TADDETTE MEMANGGILKU

Senin, 14 Agustus 2017


Saya, sama seperti rata-rata kalian semua, punya kampung halaman dimana kita menghabiskan waktu kecil dengan kesederhanaan, keleluasaan dan kegembiraan bersama-sama di halaman rumah dengan telanjang kaki. Menjadikan semua hal yang tumbuh di sekitar halaman sebagai obyek mainan. Memanjat pohon mangga dan memakannya sambil duduk di ranting-ranting besar, menunggui jatuhnya buah durian dan mencarinya di semak-semak dengan mendengus baunya lewat bantuan angin yang semilir. Atau mencuri buah tarra tetangga baik dengan memanjat di malam hari. Jika kami berkumpul tak pernah ada kesulitan soal makanan. Buah pisang yang matang atau setengah matang dapat kita olah dengan menggoreng atau membakarnya. Dusun Taddette adalah kampung halaman yang tidak pernah hilang dalam pikiran dan kenangan.

                      Photo : Hartaty Abubakar

Suasana dan kegembiraan seperti itu tak lagi bisa aku jumpai ketika kami sekeluarga harus hijrah ke Jakarta memulai kehidupan yang baru, dari seorang petani menjadi pegawai pemerintahan. Di kota besar kami merasa memiliki gengsi yang lebih tinggi daripada orang-orang di kampung. Orang-orang di kampungpun menganggap kami sekeluarga adalah keluarga yang sukses di rantau. Maklumlah banyak juga family-famili kami yang merantau sekian puluh tahun kemudian kembali ke kampung halaman memenuhi panggilan tanah kelahirannya. Taddette adalah kampung halaman yang selalu membuka diri pada warganya yang kurang berhasil di rantau. Tanah Taddette begitu subur. Apapun yang ditanam akan tumbuh dan menghasilkan makanan. Sesungguhnya masyarakat Taddette hidup nyaman dan berkecukupan dengan hamparan tanah yang diwariskan oleh leluhur-leluhurnya. Namun demikian masyarakat tetap saja cenderung untuk keluar kampung dan bermigrasi ke kota-kota besar.

Mengapa demikian ? Merujuk arti “kampung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kampung diartikan sebagai desa, dusun, rumah yang sederhana, masyarakat yang kolot, kesatuan administrasi yang paling kecil, manusia yang tidak punya ruang untuk berkembang dan maju. Melihat arti kampung, setiap orang ingin terlepas dari predikat sebagai orang kampung. Inilah pendorong utama migrasi masyarakat desa ke kota-kota.

         Photo : Hartaty Abubakar

Entahlah….mungkin alasan itu pula orang tuaku meninggalkan kampung halamannya. Namun demikian berdasarkan ceritera dan penelusuran  dari beberapa keluarga, alasan yang sesungguhnya adalah karena orang tuaku ingin menempuh pendidikan yang lebih tinggi yang belum tersedia di kampung. Namun karena di kota besar beliau menemukan arti dirinya sebagai manusia berhadapan dengan penghargaan dan pengharapan orang-orang sekitarnya, jadilah orang tuaku menetap permanen di kota. Kalaupun mereka pulang itu karena kerinduan dan tanggungjawab untuk menengok orang tuanya. Pada kesempatan itulah kami anak-anaknya baru mengenal bahwa kami punya kampung halaman, sebagai kampung halaman orang tua kami. Tradisi pulang kampong menjadi hal rutin jika ada hajat besar keluarga, seperti menikahkan anggota keluarga, ada keluarga yang meninggal dunia, atau terbersit rindu di saat lebaran tiba. Tradisi itu terwariskan secara alami kepada kami anak-anaknya.

Setiap kali anak-anak kami lahir di rantau ada saja hajat-hajat keluarga yang mengharuskan kami memenuhi panggilan kampung halaman. Seolah-olah Taddette memanggil untuk menuntaskan rindu. Siapapun keluarga yang kami datangi di kampung dan mengetahui kami punya anak yang baru pertama kali menginjak kampung halaman orang tuanya, maka keluarga disana akan membuat selamatan, minimal memotong ayam dan memberikan doa selamat datang kepada keturunan masyarakat Taddette. Ritual seperti itu biasa kami kenal dengan istilah, “pakkurrusumange” atau ucapan selamat dan syukur agar anak tersebut punya ikatan emosional dengan tanah leluhurnya.

Kini aku purnatugas. Aku punya banyak kesempatan dan dapat berlama-lama di kampung. Setelah 30 tahun banyak hal yang berubah. Entah itu tuntutan kemajuan suatu kampung atau perubahan ke arah pengikisan identitas kultural masyarakat Taddete dalam jangka waktu panjang. Rumah-rumah panggung yang adem dimana di bawahnya kami dapat bermain dan menyimpan barang-barang, atau berbaring-baring pada bale-bale yang tersedia, kini telah berubah menjadi rumah batu. Kamar mandi yang dulunya berada di belakang dan di luar rumah, kini semua tersimpan dalam kurungan tembok-tembok. Mungkin kampungku sudah tidak aman lagi hingga semua barang harus masuk ke dalam rumah.

Banyak juga kujumpai warga-warga baru yang bukan orang taddette, tetapi pendatang dari kabupaten atau desa lain. Sementara teman-teman bermain waktu kecil juga sudah banyak meninggalkan kampung halamannya. Tetapi hal yang paling menyedihkan banyak diantara keluarga besarku memilih menjual tanah warisan leluhurnya dan tinggal di kota besar, atau menjual sebahagian tanahnya dan ia sendiri hanya menempati sepetak rumah dengan sedikit halaman di depannya.


Secara garis besar aku melihat posisi kampung halamanku agak tersingkirkan oleh kemajuan. Secara administratif kampungku tidak tercatat sebagai salah satu desa, padahal desa sudah dimekarkan. Aku membuka google dan tidak menemukan tulisan apapun tentang Taddete apalagi dusun Kalobang tempat lahir ayahandaku. Aku berpikir suatu saat nanti bukan hanya dunia yang tidak mengenal Taddette, tetapi orang-orang Taddette yang migrasi ke kota-kota juga akan melupakan Taddette. Akhirnya Taddettte hanyalah sebuah kampung yang pernah ada dan tidak pernah tercatat baik oleh sejarah perkembangan kampung maupun oleh penghuninya sendiri.

Atas dasar pertimbangan tersebut aku coba mendekati orang-orang tua kita, mengajaknya berpikir bersama bagaimana melindungi anak cucu kita di tanah kelahirannya. Aku tawarkan suatu konsep untuk membuat sebuah yayasan yang berbadan hukum dimana dalam yayasan tersebutlah warga merasa memiliki rumah bersama untuk melakukan hal bersama-sama demi kepentingan bersama. Dari bincang-bincang dengan tetua kampung aku pahami bahwa sebenarnya masyarakat Taddette mau menghimpun diri dalam wadah kebersamaan. Masalahnya kemudian siapa yang memulai. Jika demikian, aku ajak para tetua adat dan orang-orang terdekat untuk memulai. Bagaimana memulainya ? Mari kita ajak semua rumpun keluarga untuk melakukan kurban bersama-sama di hari raya Id Qurban. Kebetulan ritual qurban sudah biasa dilakukan oleh masyarakat Taddette, tetapi kali ini kita ajak keluarga yang berada di kota-kota lain untuk berkurban secara massal di Taddette. Momentum itulah yang akan kita pergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kebersamaan. Aku yang berada di rantau coba-coba berinisitif memulai, anggaplah ini adalah panggilan pulang kampung halamanku.

Jakarta, 15 Agustus 2017

2 komentar:

  1. pasolong mengatakan...:

    Mantap om....
    Sedih juga bacanya...

  1. Semoga itu semakin menambah kerinduan kita pada kampung halaman

Posting Komentar