Saya,
sama seperti rata-rata kalian semua, punya kampung halaman dimana kita
menghabiskan waktu kecil dengan kesederhanaan, keleluasaan dan kegembiraan
bersama-sama di halaman rumah dengan telanjang kaki. Menjadikan semua hal yang
tumbuh di sekitar halaman sebagai obyek mainan. Memanjat pohon mangga dan
memakannya sambil duduk di ranting-ranting besar, menunggui jatuhnya buah
durian dan mencarinya di semak-semak dengan mendengus baunya lewat bantuan
angin yang semilir. Atau mencuri buah tarra tetangga baik dengan memanjat di
malam hari. Jika kami berkumpul tak pernah ada kesulitan soal makanan. Buah
pisang yang matang atau setengah matang dapat kita olah dengan menggoreng atau
membakarnya. Dusun Taddette adalah kampung halaman yang tidak pernah hilang
dalam pikiran dan kenangan.
Suasana
dan kegembiraan seperti itu tak lagi bisa aku jumpai ketika kami sekeluarga
harus hijrah ke Jakarta memulai kehidupan yang baru, dari seorang petani
menjadi pegawai pemerintahan. Di kota besar kami merasa memiliki gengsi yang
lebih tinggi daripada orang-orang di kampung. Orang-orang di kampungpun
menganggap kami sekeluarga adalah keluarga yang sukses di rantau. Maklumlah
banyak juga family-famili kami yang merantau sekian puluh tahun kemudian kembali
ke kampung halaman memenuhi panggilan tanah kelahirannya. Taddette adalah
kampung halaman yang selalu membuka diri pada warganya yang kurang berhasil di
rantau. Tanah Taddette begitu subur. Apapun yang ditanam akan tumbuh dan
menghasilkan makanan. Sesungguhnya masyarakat Taddette hidup nyaman dan
berkecukupan dengan hamparan tanah yang diwariskan oleh leluhur-leluhurnya.
Namun demikian masyarakat tetap saja cenderung untuk keluar kampung dan
bermigrasi ke kota-kota besar.
Mengapa
demikian ? Merujuk arti “kampung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kampung diartikan sebagai desa, dusun, rumah yang sederhana, masyarakat yang
kolot, kesatuan administrasi yang paling kecil, manusia yang tidak punya ruang
untuk berkembang dan maju. Melihat arti kampung, setiap orang ingin terlepas
dari predikat sebagai orang kampung. Inilah pendorong utama migrasi masyarakat
desa ke kota-kota.
Photo : Hartaty Abubakar
Entahlah….mungkin
alasan itu pula orang tuaku meninggalkan kampung halamannya. Namun demikian berdasarkan
ceritera dan penelusuran dari beberapa
keluarga, alasan yang sesungguhnya adalah karena orang tuaku ingin menempuh
pendidikan yang lebih tinggi yang belum tersedia di kampung. Namun karena di
kota besar beliau menemukan arti dirinya sebagai manusia berhadapan dengan
penghargaan dan pengharapan orang-orang sekitarnya, jadilah orang tuaku menetap
permanen di kota. Kalaupun mereka pulang itu karena kerinduan dan tanggungjawab
untuk menengok orang tuanya. Pada kesempatan itulah kami anak-anaknya baru
mengenal bahwa kami punya kampung halaman, sebagai kampung halaman orang tua
kami. Tradisi pulang kampong menjadi hal rutin jika ada hajat besar keluarga,
seperti menikahkan anggota keluarga, ada keluarga yang meninggal dunia, atau
terbersit rindu di saat lebaran tiba. Tradisi itu terwariskan secara alami
kepada kami anak-anaknya.
Setiap
kali anak-anak kami lahir di rantau ada saja hajat-hajat keluarga yang
mengharuskan kami memenuhi panggilan kampung halaman. Seolah-olah Taddette
memanggil untuk menuntaskan rindu. Siapapun keluarga yang kami datangi di kampung
dan mengetahui kami punya anak yang baru pertama kali menginjak kampung halaman
orang tuanya, maka keluarga disana akan membuat selamatan, minimal memotong
ayam dan memberikan doa selamat datang kepada keturunan masyarakat Taddette.
Ritual seperti itu biasa kami kenal dengan istilah, “pakkurrusumange” atau
ucapan selamat dan syukur agar anak tersebut punya ikatan emosional dengan
tanah leluhurnya.
Kini
aku purnatugas. Aku punya banyak kesempatan dan dapat berlama-lama di kampung.
Setelah 30 tahun banyak hal yang berubah. Entah itu tuntutan kemajuan suatu
kampung atau perubahan ke arah pengikisan identitas kultural masyarakat Taddete
dalam jangka waktu panjang. Rumah-rumah panggung yang adem dimana di bawahnya
kami dapat bermain dan menyimpan barang-barang, atau berbaring-baring pada bale-bale yang
tersedia, kini telah berubah menjadi rumah batu. Kamar mandi yang dulunya
berada di belakang dan di luar rumah, kini semua tersimpan dalam kurungan
tembok-tembok. Mungkin kampungku sudah tidak aman lagi hingga semua barang
harus masuk ke dalam rumah.
Banyak
juga kujumpai warga-warga baru yang bukan orang taddette, tetapi pendatang dari
kabupaten atau desa lain. Sementara teman-teman bermain waktu kecil juga sudah
banyak meninggalkan kampung halamannya. Tetapi hal yang paling menyedihkan
banyak diantara keluarga besarku memilih menjual tanah warisan leluhurnya dan
tinggal di kota besar, atau menjual sebahagian tanahnya dan ia sendiri hanya
menempati sepetak rumah dengan sedikit halaman di depannya.
Secara
garis besar aku melihat posisi kampung halamanku agak tersingkirkan oleh
kemajuan. Secara administratif kampungku tidak tercatat sebagai salah satu
desa, padahal desa sudah dimekarkan. Aku membuka google dan tidak menemukan
tulisan apapun tentang Taddete apalagi dusun Kalobang tempat lahir ayahandaku.
Aku berpikir suatu saat nanti bukan hanya dunia yang tidak mengenal Taddette,
tetapi orang-orang Taddette yang migrasi ke kota-kota juga akan melupakan
Taddette. Akhirnya Taddettte hanyalah sebuah kampung yang pernah ada dan tidak
pernah tercatat baik oleh sejarah perkembangan kampung maupun oleh penghuninya
sendiri.
Atas
dasar pertimbangan tersebut aku coba mendekati orang-orang tua kita,
mengajaknya berpikir bersama bagaimana melindungi anak cucu kita di tanah
kelahirannya. Aku tawarkan suatu konsep untuk membuat sebuah yayasan yang
berbadan hukum dimana dalam yayasan tersebutlah warga merasa memiliki rumah
bersama untuk melakukan hal bersama-sama demi kepentingan bersama. Dari
bincang-bincang dengan tetua kampung aku pahami bahwa sebenarnya masyarakat
Taddette mau menghimpun diri dalam wadah kebersamaan. Masalahnya kemudian siapa
yang memulai. Jika demikian, aku ajak
para tetua adat dan orang-orang terdekat untuk memulai. Bagaimana memulainya ?
Mari kita ajak semua rumpun keluarga untuk melakukan kurban bersama-sama di
hari raya Id Qurban. Kebetulan ritual qurban sudah biasa dilakukan oleh
masyarakat Taddette, tetapi kali ini kita ajak keluarga yang berada di
kota-kota lain untuk berkurban secara massal di Taddette. Momentum itulah yang
akan kita pergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kebersamaan. Aku yang
berada di rantau coba-coba berinisitif memulai, anggaplah ini adalah panggilan
pulang kampung halamanku.
Jakarta, 15 Agustus 2017
Mantap om....
Sedih juga bacanya...