SURAT TERBUKA BUAT AHOK DAN PENDAHULUNYA

Sabtu, 31 Desember 2016


Selamat Malam Pak Ahok…!

Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat kepada bapak sekeluarga yang merayakan pergantian tahun dan peringatan-peringatan lain yang membahagiakan keluarga bapak. 

Perkenalkan nama saya Bungko Dewa, salah seorang warga bapak yang Insya Allah belum pernah dan tidak akan pernah menimbulkan persoalan sosial di wilayah bapak. Jika nantinya surat ini menimbulkan persoalan, percayalah itu karena saya tidak mengerti bahwa sebuah tanya bisa menjadi sebuah persoalan. JIka bapak tidak berkenan untuk menjawab surat yang penuh tanya ini, saya tentu akan kecewa. Bapak mungkin tidak punya kewajiban untuk menjawab, tetapi sebagai warga saya mempunyai hak untuk tahu alasan dan pertimbangan lahirnya sebuah kebijakan publik. Hak itu tertuang dengan jelas dalam UU tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Bapak Ahok yang terhormat.

Kemarin, 13 Nopember 2016, saya berada di Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk menemui teman-teman lama di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Maklumlah karena kesibukan, sudah hampir lima tahun belakangan ini aku tidak pernah lagi ke TIM. Karena kedatanganku agak siang, kuputuskan untuk sholat dhuhur dahulu. Saat itu barulah aku teringat bahwa Masjid Amir Hamzah yang diresmikan pada tanggal 7 Januari 1977 oleh mantan gubernur Ali Sadikin itu telah diruntuhkan. Di atas rerentuhan itu telah dibangun Gedung Art Cinema Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta.

Kini kemana kita akan sholat berjamaah ? Seseorang menunjukkan ke lokasi basement Teater Jakarta. Untuk menuju ke basement saya harus masuk melalui bangunan kaca di samping Teater, lalu menuruni 27 anak tangga untuk sampai ke basement, tempat dimana mobil dan motor di parkir. Sebagaimana layaknya basement, masjid sementara (entah sampai kapan) itu terasa panas dan pengab meski beberapa kipas angin terpasang di pipa-pipa yang mengatapi basement. Lebih menyedihkan lagi kiblatnya menghadap ke kamar mandi tempat buang kotoran.
Bapak Ahok yang terhormat !



            Saya tidak akan mengulang pertanyaan mengapa masjid yang bersejarah tersebut harus dirobohkan. Karena pertanyaan seperti itu selalu dijawab sebagai sebuah fitnah. Semenjak dirobohkan pada Agustus 2013, setiap komentar tentang perobohan Masjid Amir Hamzah selalu dianggap fitnah. Adalah Arie Budiman, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta yang sering memberi penjelasan  bahwa pembongkaran tersebut adalah untuk direnovasi dan diperbesar. Dari berbagai pemberitaan pada masa itu, pembongkaran dan pembangunan kembali Masjid Amir Hamzah akan berlangsung selama dua tahun ke depan. Skh. Republika, 21/10/2013 menguitip pernyataan sekretaris pengurus masjid Amir hamzah TIM, Arief Wibowo, “menurut rencana kerja, pembangunan masjid yang baru akan berlangsung dua tahun sejak akhir tahun ini.”

Bapak Ahok yang terhormat.

Saat ini sudah berjalan tiga tahun. Pembangunan Art Cinema di atas reruntuhan Masjid sudah rampung, sementara pembangunan masjid Amir Hamzah tak jelas dimana dan kapan dimulainya. Berbagai pertanyaan terus muncul, tetapi tak pernah ada jawaban dari bapak yang terhormat. Apakah pembangunan kembali masjid Amir Hamzah hanya menjadi janji pendahulu bapak dan tidak menjadi tanggungjawab pemerintah DKI Jakarta dibawah komando Bapak ? Apakah janji pembangunan masjid hanya terus menjadi akan, akan, dan akan terus dan tidak pernah menjadi kenyataan ? Mohon jawaban dan penjelasan Bapak.
Bapak Ahok yang terhormat…!

            Sudah sejak lama ada niat untuk menulis surat terbuka buat bapak, tetapi selalu saja urung saya lakukan. Niat itu kembali muncul saat pembacaan eksepsi bapak pada sidang penistaan agama dimana bapak duduk sebagai tersangka. Saat itu bapak memaparkan perhatian bapak terhadap umat Islam, dimana bapak menyatakan telah membangun masjid di Bangka Belitung dan juga masjid Patahilla di Jakarta. Saya terus menunggu dan terus menyimak jalannya persidangan, berharap bapak akan mengatakan siap untuk membangun kembali Masjid Amir Hamzah. Tetapi hingga pembacaan eksepsi berakhir tak ada satu kalimatpun yang berisi pengharapan bahwa masjid Amir Hamzah akan segera di bangun kembali. Bapak menyinggung pembangunan masjid, tetapi menyembunyikan fakta pembongkaran beberapa masjid yang dilakukan di masa kepemimpinan bapak di Provinsi DKI Jakatrta.

Bapak Ahok yang terhormat…!

            Hal yang membuatku amat sedih adalah karena masjid Amir Hamzah yang dirobohkan itu penuh dengan kenangan spiritualku. Mungkin dihampir setiap jengkal pelataran masjid tersebut terdapat bekas-bekas sujudku. Masjid Amir Hamzah adalah masjid historis yang penuh kenangan bagi para pelaku seni, khususnya seniman-seniman muslim. Nama masjid itu sendiri mematri dua nama seniman besar dan pujangga besar, yaitu Amir Hamzah dan Ismail Marzuki. Bahkan Taman Ismail Marzuki dan masjid Amir Hamzah telah dinobatkan sebagai cagar budaya yang wajib dipertahankan keberadaannya.

Bapak Ahok yang terhormat…!

            Menurut saya waktunya belumlah terlambat. Jika memang pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih memiliki agenda pembangunan kembali masjid Amir Hamzah, saya sarankan dapat disegerakan. Saya percaya ketika publik melihat dengan mata kepalanya sendiri peletakan batu pertama pembangunan kembali Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, maka sedikit banyaknya kepercayaan umat Islam kepada bapak akan pulih. Selebihnya saya kembalikan kepada bapak, dengan harapan bapak dapat sungguh-sungguh membaca kegelisah dan kemarahan umat Islam saat ini. Persoalan dan obatnya ada pada bapak yang terhormat.



Jakarta, 1 januari 2017

Salam warga
Bungko Dewa

MIGRASI ORANG-ORANG BUGIS DI BALI

Jumat, 16 Desember 2016
Kemarin saya mendapatkan sebuah buku terbitan Larasan di Denpasar Bali berjudul, “Perahu Pinisi di Pessir Bali” karya I Putu Gede Suwitha yang mendapat rekomendasi  dari  Dinas Pendidikan  Pemuda dan Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali sebagai buku bacaan muatan lokal  SD dan SMP di Provinsi Bali. Pertama-tama saya tentu saja harus memberikan apresiasi yang begitu tinggi kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali serta  Balai Bahasa Denpasar yang juga menetapkan buku, “Perahu Pinisi di Pesisir Bali” ini sebagai buku pengayaan muatan lokal sebagai buku nonteks pelajaran yang layak untuk menjadi bahan bacaan bagi siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sungguh timbul kecemburuan kultural mengapa buku ini dapat menjadi muatan lokal di Bali, sementara di Sulawesi Selatan sendiri tempat dimana kebudayaan bugis Makassar berasal tidak kita temukan buku seperti ini. Rindu rasanya Dinas-dinas di provinsi Sulawesi Selatan juga giat merekomendasikan penerbitan buku-buku yang berisi sejarah dan budaya lokal di Sulawesi Selatan.



Buku, “Perahu Pinisi di Pesisir Bali” sesungguhnya tidaklah menyajikan hal-hal yang baru bagi sejarah perantauan suku Bugis-Makassar. Kisah perantauan Bugis-Makassar hampir terdapat di semua wilayah Nusantara. Bahkan, dapat dikatakan bahwa dimana ada pantai tempat tambatan perahu, disitu pasti terdapat masyarakat Bugis. Namun sebagai migro historis, buku ini patut dibaca dan dicatat sebagai bagian dari pengetahuan sejarah nasional dan gerak migrasi masyarakatnya di Nusantara.

Buku ini sendiri membahas secara rinci tentang (1) Kapan orang-orang Bugis memasuki perairan Bali. (2) Apakah latar belakang dan sebab-sebab orang Bugis merantau. (3) Mengapa mereka dapat masuk ke dalam struktur birokrasi kerajaan-kerajaan di Bali, padahal mereka adalah golongan minoritas. (4) Peranan apa saja yang dapat mereka mainkan di tempat mereka yang baru. (5) Sejauh mana pengaruh orang-orang bugis pada masyarakat Bali.

Orang-orang Bugis mulai merantau ke Bali sejak pertengahan abad ke-17. Konflik antar kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menyebabkan golongan perantau bertambah. Puncaknya terjadi setelah peperangan antara kerajaan Makassar dengan Belanda, yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya tahun 1667. Setelah masa inilah gelombang perantau bugis mengalir ke beberapa wilayah Nudantara, salah satunya ke Bali. (hal.4)

Peranan dan campurtangan orang-orang Bugis sebagai golongan minoritas dalam kehidupan kerajaan-kerajaan di Bali terutama pada abad ke-19 sangatlah menonjol di kerajaan-kerajaan yang mempunyai perairan atau basis pelayaran laut, seperti Kerajaan Buleleng, Kerajaan Badung, dan Kerajaan Jembrana. Di kerajaan-kerajaan Pantai yang befrasis pelayaran laut, memberi kesempatan besar kepada orang-orang bugis mengembangkan bakat pelayaran niaganya sekaligus mengembangkan kemampuan dan keberanian pelayaran bugis melayari perairan Nusantara. Tidak heran jika orang-orang Bugis mengambil peran penting dalam pimpinan kemiliteran di kerajaan-kerajaan pantai tersebut.

Sejarah perjuangan kerajaan-kerajaan di Bali mencatat bahwa hampir dalam setiap perebutan tahta kerajaan, orang-orangBugis mengambil bagian. Biasanya akan dijadikan sekutu oleh salah satu pihak yang berselisih, dan biasanya orang-orang Bugis lebih memilih berpihak dan membela kerajaan-kerajaan yang tertindas (hal. 100).

Cukup banyak peran dan pengaruh orang-orang Bugis terhadap masyarakat Bali pada umumnya. Salah satunya adalah soal keberanian dan pengetahuan pelayaran dan tehnik-tehnik pertempuran di  laut serta cara-cara hidup berkelompok. Bagaimanapun buku ini sangat penting untuk semakin memahami bagaimana latar belakang budaya migrasi bugis ke wiulayah Nusantara dan peranan-peranan yang dimainkan di setiap daerah baru yang mereka datangi.

INGIN BEDA ATAU SAMA

Minggu, 11 Desember 2016
Saudaraku......Philips Turandy

Saudaraku, Philips Turandy…!
Rasanya baru sebulan lebih aku tinggalkan tanah Papua, tapi kerinduanku untuk berkumpul mulai menagih. Aku teringat bagaimana kita makan papeda bersama, sementara saudara-saudara kita yang lain menyaksikan penuh selera, padahal di hadapannya telah tersedia nasi panas dan ikan gurame goreng. Mereka tentu bertanya-tanya bagaimana nikmatnya papeda, tetapi mereka tidak bertanya dan kitapun tidak menjelaskan. “Mereka seharusnya mencoba, agar bisa merasa,”itu kata-katamu.

Aku juga teringat bagaimana kita menikmati air kata-kata (bir kaleng) diterasmu. Matamu merah, wajah hitammu juga mulai memerah dan kau masih berusaha membuka kaleng lainnya. Aku menahan tanganmu dan kita saling tatap. “Kita minum untuk bersenang-senang. Nikmatilah sekedarnya, jangan sampai kita mabuk dibuatnya. Bagaimana kita bisa menikmati kesenangan ini kalau kita mabuk,” itu kata-kataku. Terimakasih kasih kau mau mendengar. Kita saudara sebangsa memang wajib untuk saling mengingatkan. Beberapa kali hal itu sudah kita lakukan bersama.

Saudaraku….!
Tetaplah fokus membangun kehidupanmu, menyekolahkan anak-anakmu. Tuhan telah memberikan hamparan bumi ini untukmu dan untuk kita semua. Jangan biarkan dirimu larut dalam kegalauan karena kehadiran para pendatang. Mereka adalah saudaramu yang dapat kau jadikan partner dan guru. Aku ingat daerah asalku, suatu perkampungan di jazirah Sulawesi Selatan. Suatu kabupaten yang dikarunia berlimpah hasil bumi. Masyarakatnya hidup berkecukupan sandang dan pangan. Alam begitu memanjakan masyarakatnya sehingga membuat mereka malas bekerja. Namun seiring berjalannya waktu, para pendatang masuk dan mengajarkan kami bagaimana mengelola hasil bumi sehingga dapat memberi nilai tambah, bukan hanya sekedar untuk konsumsi masyarakat. Para pendatang pula yang mengajarkan kami bagaimana cara berniaga, bagaimana menjadikan rotan tidak hanya sekedar tali pengik tetapi juga menjadi furniture, bagaimana menjadikan tanah liat menjadi batubata, dan bagaimana mengambil bagian penting dalam setiap geliat pembangunan.

Saudaraku….!
Ingatlah….! Negara kita begitu besar. Jangan pula kita kecilkan dengan membentuk negara dalan negara. Pace tentu masih ingat waktu kita duduk minum kopi di bawah pohon rindang di depan kantor Gubernur Papua. Pohon besar itu memberikan kita perlindungan dari teriknya mentari.

“lihatlah akar-akarnya begitu besar tampak di permukaan tanah. Coba kita bayangkan bagaimana akar-akar pohon itu mencengkeram dan merambati tanah untuk mencari air dan makanan, sehingga batangnya dapat kokoh berdiri dan tinggi menjulang. Dari batang yang kokoh tumbuh banyak cabang. Dari setiap cabangnya tumbuh cabang-cabang lainnya yang setiap saat menjadi semakin kuat. Dari setiap cabangnya tumbuh ranting-ranting. Dari ranting-ranting tumbuh ranting-ranting kecil lainnya. Dari ranting-ranting kecil ini tumbuhlah daun yang rimbun yang memberikan kita perlindungan dan keteduhan. Ranting-ranting itu ada yang bertempat di bawah, di tengah dan di atas sehingga daun yang dihasilkan berlapis-lapis. Ranting-ranting itu ada yang berdekatan bahkan bersinggungan, tetapi lebih banyak ranting-ranting yang saling berjauhan dan menjauh. Bagaimana mendekatkan dan menyatukan ranting-ranting itu. ?”

“Ranting-ranting itu sudah menyatu dalam pohon,” jawabmu ketika itu.

“Jawaban sekenanya tapi mengena.Betul saudaraku. Ranting-ranting itu punya cara yang sederhana untuk dekat dan menyatu. Setiap ranting merasa sadar dan sadar merasa bahwa mereka berasal daribatang pohon yang sama.”

“Papua ini berbeda, Daeng”

Aku suka setiap kali kau menyapaKU dengan sebutan Daeng, sebagaimana aku bahagia menyapamu dengan Pace. “Kita berbeda setiap kali berpikir berbeda. Kita akan sama setiap kali kita berpikir sama. Saudara kembar selalu menemukan perbedaan jika ia mencari-cari perbedaannya. Sementara kita berdua menemukan banyak persamaan. Ingatlah apa kata Ernest Renant, bangsa hakikatnya lahir dari masyarakat yang memiliki kesamaan di banyak hal, dan melupakanbanyak hal yang berbeda. Masyarat Indonesia lahir dari dua entitas besar, yaitu keberagaman dan keber-agama-an. Wajar jika ada kecenderungan untuk saling menonjolkan identitas masing-masing. Asalkan jangan menganggap diri paling berharga dan yang lainnya menjadi berbeda”

Saudaraku…Philips Turandy
Bukankah kita sudah sepakat bahwa pilihannya hanya ada dua, kita ingin beda atau kita ingin sama. Kalau kita ingin beda, maka kita akan mengingkar fakta-fakta tentang kesamaan kita. Kalau kita ingin sama, marilah kita lupakan hal-hal kecil yang berbeda.

Lihatlah bagaimana saudara-saudara kita yang berusaha mematahkan ranting-ranting. Mereka coba mengumpulkan dan menyatukan ranting-ranting patah dalam ikatan yang mereka labeli dengan berbagai argumen. Waktu berjalan, waktu memberi pelajaran, dan waktu membuktikan bahwa ranting-ranting yang sengaja mereka patahkan itu lama kelamaan hanya akan menjadi ranting-ranting kering yang menjadi kerontang dan lapuk dimakan tanah. Sejarah akan terus bergerak, dan sipematah ranting masih akan terus bermunculan. Inilah mungkin dinamika berbangsa yang harus kita lalui. Kita boleh saja bersedih dengan kondisi seperti itu, tapi percayalah bangsa yang besar ini akan merangkul warganya, dan mereka yang keliru akan menemukan jalan kembali yang terbaik. Sementara kita yang tidak punya kuasa, cukuplah berdoa agar ranting-ranting NKRI tetap kokoh pada cabang dan batangnya.

Saudaraku…..!
Jika saudara-saudaramu menyerukan “merdeka”. Sambutlah seruan ini denganmengatakan, “Setiap hari kami merayakan kemerdekaan ini dengan bersyukur. Kamimerdeka untuk berbicara, kami merdeka bekerja dan mencari nafkah, kami merdekauntuk mengecap pendidikan, kami merdeka berinteraksi dengan saudara-saudarakami dari berbagai daerah, kami merdeka untuk bertempat tinggal dimana saja diwilayah Indonesia ini, kami merdeka menduduki jabatan penting dalam negara inimelalui proses demokrasi yang disepakati bersama.”

Saudaraku…Philips Turandy…!
Selalulah kabarkan diri dan lingkunganmu agar kami juga mengabarkan banyak hal di sini.

Hormat kasih.
Bung Komar

ANAK KUKANG (ANAK SEBATANGKARA)

Rabu, 30 November 2016


“Ada apa dengan lagu “Anak kukang”. Mengapa setiap kali aku mendengarnya, hatiku serasa teriris-iris dan tanpa sadar meneteskan air mata. Ingatanku selalu saja pada anakku yang lenyap terhempas gelombang tsunami.  Adakah pesan mistis atau misterius pada lyrik lagu dan alunan musiknya ?” begitu Teuku Sahrir  tiba-tiba bertanya saat menelponku di suatu malam.

            Tiga pekan lalu Teuku Sahrir bertamu ke rumahku. Dua malam kami habiskan waktu berceritera tentang banyak hal sambil mendengarkan musik lagu-lagu daerah, salah satunya lagu makassar ciptaan Bora Dg. Irate, berjudul, “Anak kukang”. Lagu tersebut begitu terkesan baginya sehingga ia meminta diulang-ulang. Ketika akan kembali ke Aceh, ia memohon agar DVD lagu tersebut diberikan padanya sebagai kenang-kenangan. Saya tentu saja bangga ada seorang bangsawan Aceh yang senang dengan irama lagu Makassar, sehingga saya dengan senang hati  memberikannya.

Bagaimana aku harus menjelaskan pertanyaan sahabatku ini ? ia sepertinya sangat mengharapkan jawaban. Sebelum aku jelaskan, terlebih dahulu aku translate lyrik lagu tersebut ke dalam Bahasa Indonesia :

Kukana tuni pela tuni buang ritamparang 
(ku kisahkan diriku yang terbuang, yang di hanyutkan di sungai)

kuni ayukkan rije'ne narampung tau maraeng
 (Saat aku terhanyut, ku ditemukan oleh Orang lain)

Caddi caddi dudu in'ja nana pellaka anrongku
(Aku masih sangat kecil, saat ibu membuangku)

Mantang mama ka'leka'le tu'guru je'nne matanku
(Tinggallah aku sebatang kara, bercucuran air mataku)

Aule sa'resa're na i kukang sayang
(aduhai diriku nasib Sianak sebatang kara)

Sa're tenama kucini lino empo tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).

Aule sa'resa're na i kukang sayang
(aduhai diriku nasib Sianak sebatang kara)

Sa're tenama kucini lino empo tenama te'nena
(Nasib yang tidak aku inginkan).


            Menyimak isi lyrik lagu Anak Kukang, tidak banyak ceritera yang terungkap. Tidak jelas bagaimana awalnya ia hidup sebatangkara dan mengapa ia harus dihanyutkan ke sungai, Namun irama lagu dan gerak musiknya seperti berceritera banyak,  yang hanya bisa dirasakan ketika seseorang mendengar alunan lagunya dengan  sungguh-sungguh, dan masuk dalam pusaran gelombang iramanya.

            Dengan hati-hati aku coba menjelaskan makna lagu “Anak kukang”. Pertama-tama aku bertanya padanya, “Percayakah Teuku ada seorang ibu yang sanggup membuang anak yang ia lahirkan  dengan alasan apapun ?” Tidak seorang wanitapun yang mampu membuang anaknya kecuali untuk menyelamatkannya. Kemudian aku membawa ia pada kesilaman. Ingatkah sebuah ceritera historis dan religious yang termaktub dalam Kitab Suci Al Qur’an ? Ceritera tentang kelahiran Nabi Musa AS.

                  Nabi Musa dilahirkan di Negeri Mesir pada masa pemerintahan Raja Firaun. Raja Firaun seorang raja yang lalim dan kejam. Waktu itu dikeluarkan undang-undang apabila ada bayi lahir laki-laki, harus dibunuh dan apabila lahir bayi wanita dibiarkan hidup saja. Ketika Musa lahir, ibunya takut dan khawatir Musa akan dibunuh oleh Firaun. Cepat atau lambat kelahiran Musa pasti akan diketahui pihak kerajaan. Untuk menyelamatkan Musa dari pembunuhan, ibunya menaruh si kecil Musa di dalam peti kemudian dihanyutkan ke sungai Nil. Akhirnya, peti yang berisi bayi itu ditemukan oleh Asyiyah istri Firaun. Asyiyah memohon kepada suaminya agar bayi itu tidak dibunuh, tetapi dijadikan anak angkat saja. Seperti diketahui kemudian, ibunya jugalah sebagai induk semang yang merawat Musa hingga tumbuh besar dan menghancurkan kekuasaan Firaun.

               Ingat jugakah Teuku ceritera tentang Sawerigading, sebuah sejarah turunnya manusia pertama di Luwu yang beberapa orang menganggapnya sebagai ceritera legenda. Terkisah We Cudai, wanita yang dicintai sawerigading hamil tanpa mengetahui siapa yang menghamili. Ia mengurung diri di biliknya hingga melahirkan seorang anak lelaki bernama Lagaligo. Karena takut malu, bayi tersebut dihanyutkan di sungai. Sawerigading kemudian menemukan bayi tersebut yang ternyata adalah anak biologisnya. Singkat ceritera akhirnya Lagaligo berhasil menyatu kembali dengan ibu yang telah membuangnya.

             Ingat pula ceritera dongeng dari rakyat Sumatera Utara berjudul, “Si Tanduk Panjang”. Sepasang suami istri sangat mendambakan seorang anak lelaki. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya doanya terkabul. Istrinya melahirkan seorang anak lelaki, tetapi sayang kepalanya bertanduk. Karena malu dan khawatir menjadi cemoohan orang nantinya, maka orang tua tersebut membuang anaknya dengan menempatkannya dalam sebuah peti, lalu menghanyutkannya ke sungai. Kakak perempuannya tidak tega melihat adiknya dihanyutkan. Ia terus mengikuti adiknya hingga menjauh dari desa asalnya. Setelah menepi dan mendapatkan adiknya tidak bertanduk lagi. Singkat ceritera anak tersebut kembali ke orang tuanya dengan membawa kekayaan yang berlimpah.

            Itulah beberapa kisah anak yang dibuang dengan menghanyutkannya di sungai. Mungkin masih banyak ceritera lain yang sejenis dengan latar belakang dan atmosfir yang berbeda-beda. Kembali pada lagu, “Anak Kukang”, silahkan sahabatku Teuku Sahrir menginterpretasikan sendiri mengapa anak kukang itu dibuang dan dihanyutkan oleh ibunya. 

Lagu “Anak Kukang” itu sendiri berkisah tentang suasana hati seorang anak kecil yang dihanyutkan. Ia masih kecil, belum punya kemampuan mengatasi persoalan dirinya sendiri. Kini dia dihanyutkan, hanya sendiri tanpa siapa-siapa. Di langit dan di kanan kirinya tak tampak siapa-siapa (mantang mamo kale kale), bahkan ikan-ikan pun tak tahu ada dirinya dalam aliran sungai yang sama. Satu-satunya suara yang terdengar adalah suara tangisannya sendiri. Air matanya jatuh bercucuran. Si anak kecil terus mengisahkan dirinya yang sebatangkara. Sebuah nasib yang tidak ia kehendaki. Sungguh bukan keinginan Si Anak Sebatangkara untuk menjadi sebatangkara. Tentu kemudian ia tak lagi sebatangkara ketika orang lain menemukannya. Akan lain ceritera jika si Anak sebatangkara itu tak ditemukan orang lain. Ia tentu akan terus sebatangkara hingga ke hulu sungai dan kemudian berakhir di lautan lepas.

Ceriteraku tak berputus hingga aku menyadari sedang berbicara dengan Teuku Sahrir di telepon, “Hallo….Teuku….” sapaku untuk memastikan apakah ia masih mendengarku.

“Makasih Bang Bungko,” jawabnya dengan isak yang tertahan. Lalu telepon di seberang sana terputus, menyisakan hening.


Jakarta, 1 Desember 2016