MIGRASI ORANG-ORANG BUGIS DI BALI

Jumat, 16 Desember 2016
Kemarin saya mendapatkan sebuah buku terbitan Larasan di Denpasar Bali berjudul, “Perahu Pinisi di Pessir Bali” karya I Putu Gede Suwitha yang mendapat rekomendasi  dari  Dinas Pendidikan  Pemuda dan Olahraga, Pemerintah Provinsi Bali sebagai buku bacaan muatan lokal  SD dan SMP di Provinsi Bali. Pertama-tama saya tentu saja harus memberikan apresiasi yang begitu tinggi kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Bali serta  Balai Bahasa Denpasar yang juga menetapkan buku, “Perahu Pinisi di Pesisir Bali” ini sebagai buku pengayaan muatan lokal sebagai buku nonteks pelajaran yang layak untuk menjadi bahan bacaan bagi siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sungguh timbul kecemburuan kultural mengapa buku ini dapat menjadi muatan lokal di Bali, sementara di Sulawesi Selatan sendiri tempat dimana kebudayaan bugis Makassar berasal tidak kita temukan buku seperti ini. Rindu rasanya Dinas-dinas di provinsi Sulawesi Selatan juga giat merekomendasikan penerbitan buku-buku yang berisi sejarah dan budaya lokal di Sulawesi Selatan.



Buku, “Perahu Pinisi di Pesisir Bali” sesungguhnya tidaklah menyajikan hal-hal yang baru bagi sejarah perantauan suku Bugis-Makassar. Kisah perantauan Bugis-Makassar hampir terdapat di semua wilayah Nusantara. Bahkan, dapat dikatakan bahwa dimana ada pantai tempat tambatan perahu, disitu pasti terdapat masyarakat Bugis. Namun sebagai migro historis, buku ini patut dibaca dan dicatat sebagai bagian dari pengetahuan sejarah nasional dan gerak migrasi masyarakatnya di Nusantara.

Buku ini sendiri membahas secara rinci tentang (1) Kapan orang-orang Bugis memasuki perairan Bali. (2) Apakah latar belakang dan sebab-sebab orang Bugis merantau. (3) Mengapa mereka dapat masuk ke dalam struktur birokrasi kerajaan-kerajaan di Bali, padahal mereka adalah golongan minoritas. (4) Peranan apa saja yang dapat mereka mainkan di tempat mereka yang baru. (5) Sejauh mana pengaruh orang-orang bugis pada masyarakat Bali.

Orang-orang Bugis mulai merantau ke Bali sejak pertengahan abad ke-17. Konflik antar kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menyebabkan golongan perantau bertambah. Puncaknya terjadi setelah peperangan antara kerajaan Makassar dengan Belanda, yang diakhiri dengan Perjanjian Bungaya tahun 1667. Setelah masa inilah gelombang perantau bugis mengalir ke beberapa wilayah Nudantara, salah satunya ke Bali. (hal.4)

Peranan dan campurtangan orang-orang Bugis sebagai golongan minoritas dalam kehidupan kerajaan-kerajaan di Bali terutama pada abad ke-19 sangatlah menonjol di kerajaan-kerajaan yang mempunyai perairan atau basis pelayaran laut, seperti Kerajaan Buleleng, Kerajaan Badung, dan Kerajaan Jembrana. Di kerajaan-kerajaan Pantai yang befrasis pelayaran laut, memberi kesempatan besar kepada orang-orang bugis mengembangkan bakat pelayaran niaganya sekaligus mengembangkan kemampuan dan keberanian pelayaran bugis melayari perairan Nusantara. Tidak heran jika orang-orang Bugis mengambil peran penting dalam pimpinan kemiliteran di kerajaan-kerajaan pantai tersebut.

Sejarah perjuangan kerajaan-kerajaan di Bali mencatat bahwa hampir dalam setiap perebutan tahta kerajaan, orang-orangBugis mengambil bagian. Biasanya akan dijadikan sekutu oleh salah satu pihak yang berselisih, dan biasanya orang-orang Bugis lebih memilih berpihak dan membela kerajaan-kerajaan yang tertindas (hal. 100).

Cukup banyak peran dan pengaruh orang-orang Bugis terhadap masyarakat Bali pada umumnya. Salah satunya adalah soal keberanian dan pengetahuan pelayaran dan tehnik-tehnik pertempuran di  laut serta cara-cara hidup berkelompok. Bagaimanapun buku ini sangat penting untuk semakin memahami bagaimana latar belakang budaya migrasi bugis ke wiulayah Nusantara dan peranan-peranan yang dimainkan di setiap daerah baru yang mereka datangi.

0 komentar:

Posting Komentar