Kemarin saya mendapatkan sebuah buku terbitan Larasan di Denpasar
Bali berjudul, “Perahu Pinisi di Pessir Bali” karya I Putu Gede Suwitha
yang mendapat rekomendasi dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga,
Pemerintah Provinsi Bali sebagai buku bacaan muatan lokal SD dan SMP di
Provinsi Bali. Pertama-tama saya tentu saja harus memberikan apresiasi
yang begitu tinggi kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga
Provinsi Bali serta Balai Bahasa Denpasar yang juga menetapkan buku,
“Perahu Pinisi di Pesisir Bali” ini sebagai buku pengayaan muatan lokal
sebagai buku nonteks pelajaran yang layak untuk menjadi bahan bacaan
bagi siswa di jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sungguh timbul
kecemburuan kultural mengapa buku ini dapat menjadi muatan lokal di
Bali, sementara di Sulawesi Selatan sendiri tempat dimana kebudayaan
bugis Makassar berasal tidak kita temukan buku seperti ini. Rindu
rasanya Dinas-dinas di provinsi Sulawesi Selatan juga giat
merekomendasikan penerbitan buku-buku yang berisi sejarah dan budaya
lokal di Sulawesi Selatan.
Buku,
“Perahu Pinisi di Pesisir Bali” sesungguhnya tidaklah menyajikan
hal-hal yang baru bagi sejarah perantauan suku Bugis-Makassar. Kisah
perantauan Bugis-Makassar hampir terdapat di semua wilayah Nusantara.
Bahkan, dapat dikatakan bahwa dimana ada pantai tempat tambatan perahu,
disitu pasti terdapat masyarakat Bugis. Namun sebagai migro historis,
buku ini patut dibaca dan dicatat sebagai bagian dari pengetahuan
sejarah nasional dan gerak migrasi masyarakatnya di Nusantara.
Buku
ini sendiri membahas secara rinci tentang (1) Kapan orang-orang Bugis
memasuki perairan Bali. (2) Apakah latar belakang dan sebab-sebab orang
Bugis merantau. (3) Mengapa mereka dapat masuk ke dalam struktur
birokrasi kerajaan-kerajaan di Bali, padahal mereka adalah golongan
minoritas. (4) Peranan apa saja yang dapat mereka mainkan di tempat
mereka yang baru. (5) Sejauh mana pengaruh orang-orang bugis pada
masyarakat Bali.
Orang-orang Bugis mulai merantau ke Bali
sejak pertengahan abad ke-17. Konflik antar kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan menyebabkan golongan perantau bertambah. Puncaknya
terjadi setelah peperangan antara kerajaan Makassar dengan Belanda, yang
diakhiri dengan Perjanjian Bungaya tahun 1667. Setelah masa inilah
gelombang perantau bugis mengalir ke beberapa wilayah Nudantara, salah
satunya ke Bali. (hal.4)
Peranan dan campurtangan
orang-orang Bugis sebagai golongan minoritas dalam kehidupan
kerajaan-kerajaan di Bali terutama pada abad ke-19 sangatlah menonjol di
kerajaan-kerajaan yang mempunyai perairan atau basis pelayaran laut,
seperti Kerajaan Buleleng, Kerajaan Badung, dan Kerajaan Jembrana. Di
kerajaan-kerajaan Pantai yang befrasis pelayaran laut, memberi
kesempatan besar kepada orang-orang bugis mengembangkan bakat pelayaran
niaganya sekaligus mengembangkan kemampuan dan keberanian pelayaran
bugis melayari perairan Nusantara. Tidak heran jika orang-orang Bugis
mengambil peran penting dalam pimpinan kemiliteran di kerajaan-kerajaan
pantai tersebut.
Sejarah perjuangan kerajaan-kerajaan di
Bali mencatat bahwa hampir dalam setiap perebutan tahta kerajaan,
orang-orangBugis mengambil bagian. Biasanya akan dijadikan sekutu oleh
salah satu pihak yang berselisih, dan biasanya orang-orang Bugis lebih
memilih berpihak dan membela kerajaan-kerajaan yang tertindas (hal.
100).
Cukup banyak peran dan pengaruh orang-orang Bugis
terhadap masyarakat Bali pada umumnya. Salah satunya adalah soal
keberanian dan pengetahuan pelayaran dan tehnik-tehnik pertempuran di
laut serta cara-cara hidup berkelompok. Bagaimanapun buku ini sangat
penting untuk semakin memahami bagaimana latar belakang budaya migrasi
bugis ke wiulayah Nusantara dan peranan-peranan yang dimainkan di setiap
daerah baru yang mereka datangi.
0 komentar:
Posting Komentar