Saya bernama Sapiah karena sayalah satu-satunya Sapi betina diantara
sapi-sapi jantan.
Sudah hampir sebulan saya berada di RPH (Rumah Potong Hewan) di kawasan
Bogor. Sebelumnya saya lahir dan tumbuh kembang di Pulau Dewata, Bali. Saya
sudah melewati perjalanan darat dan laut yang melelahkan. Itulah sebabnya ketika pada
awal kedatangan saya di RPH langsung ditempatkan di di kandang karantina.Setelah
dilakukan pemeriksaan saya dipindahkan ke kandang penampungan bergabung bersama
dengan sapi-sapi dari daerah lain. Di sini kami mendapatkan makanan yang cukup,
bahkan berlimpah jika dibandingkan makanan yang selama ini kami konsumsi di
daerah asal. Hanya saja kami kini kehilangan banyak kemerdekaan, tak lagi bisa
berjalan menghirup udara pedesaan sambil berjalan-jalan di pinggiran sawah dan padang-padang
menikmati rerumputan dan dedaunaan yang tumbuh liar. Di kandang penampungan
kami tak bisa bergerak leluasa karena
yang menghuni kandang cukup banyak.
Entah mengapa hari ini aku digiring ke luar kandang dan dinaikkan diatas
mobil truk fuso dengan bantuan tangga-tangga papan. Tidak lama kemudian rekan
sekandung juga ikut naik. Ketika naik kami saling pandang mencari tahu tetapi
tak berjawab. Akhirnya kami terkumpul enam ekor dalam satu mobil. Kami sibuk dengan
pikiran masing-masing. Ingin bertanya, bertanya kepada siapa ? Kami tidak
diberi ruang untuk saling berkomunikasi seperti ketika masih bersama-sama dalam
kandang penampungan. Kami disusun bukan menghadap ke depan atau ke belakang,
tetapi di atur berbanjar yang
masing-masing menghadap ke kiri dan ke kanan berselang seling sehingga kami
tidak dapat saling berkomunikasi. Gerak ekor kami saja yang dipahami oleh
rekan-reakan lainnya sebagai gerak kegelisahan.
Di suatu tempat dua ekor rekan kami diturunkan. Mungkin karena sepanjang
perjalanan dengus mereka dianggap menimbulkan kegaduhan dan mengganggu
keheningan malam. Setelah berjalan beberapa kilometer, mobil truk kembali
berhenti dan menurunkan dua rekan kami lainnya. sebenarnya keheningan seperti
apa yang dirindukan oleh Sang Malam sehingga dengusan sekecil apapun dianggap
mengganggu. Kini tinggal kami berdua dan tidak tahu akan berujung dimana
perjalanan ini. Karena sudah agak lega kami bisa sedikit bergerak dan memposisikan
diri berdiri sejajar agar dapat saling berkomunikasi. tetapi kini kami takut
untuk berdengus karena tidak ingin bernasib sama dengan empat rekan lainnya
yang telah diturunkan dan entah bagaimana nasibnya, kini.
Menjelang fajar giliran kami berdua diturunkan pula. Entah dimana ini, tak
lagi aku hiraukan karena kantuk menguasaiku. Pagi, ketika sinar mentari masih
malu-malu menampakkan dirinya di ufuk timur, aku terbangun oleh suara bergema, ”Allahu
Akbar....Allahu Akbar....Allahu Akbar......,” Suara yang sungguh asing di
telingaku tetapi tetapi menyejukkan hati. Selama lahir dan tumbuh besar di Bali
tak pernah kudengar suara menyejukkan seperti ini. Itu yang membuat aku
terbangun dengan suasana hati yang lain. Kulihat di kanan kiri ada empat
rekanku, tetapi bukan rekan sesama sewaktu berangkat dari RPH Bogor. Ada juga
ternak yang lebih kecil dari diriku tetapi berbulu lebat. Jumlah mereka lebih
banyak dan suaranya terdengar bising di telingaku, ”embeekkkk...embekkkk,”
Tak lama kemudian banyak orang mulai berkumpul di sekitaranku. Seseorang
dengan dengan migrophone di tangan berkata-kata dengan langgam tertentu yang
tidak aku mengerti. Diujung kata-katanya ia lalu menyebut sebuah nama, dan
selanjutnya empat orang menghampiri rekanku, menariknya, merapat ke tiang pohon
kelapa. Seseorang memegang erat tali yang mengikat hidung dan melilit leher di
belakang tanduk kebanggaan rekanku. Seorang lagi menarik ekornya, dan dua orang
melilitkan tali di punggung, melingkarkan lalu memasukkan di antara kaki kiri dan kanan, memasukkan
simpulan tali melalui telapak kaki, merapatkan ikatannya, dan sekali komando
mereka semua menarik lilitan yang melilit kaki kiri ke arah kanan sehingga
rekanku kehilangan keseimbangan dan roboh.
Aku sungguh sedih melihat bagaimana manusia-manusia itu memperlakukan
rekanku.
Dan ketika rekanku semakin tidak berdaya, seseorang dengan parang tajam
yang terhunus menghampirinya, mengelus-elus lehernya, meletakkan sebilah parang
dan sekali ayunan dari bawah ke atas, darah merah dan kental mengucur deras
mengalir ke lubang yang telah mereka gali tepat di bawah leher rekanku. semua
itu aku saksikan dengan perasaan yang tidak menentu.
Begitulah ritual berlangsung, dan setiap kali sebuah nama di sebut, rekanku
yang lain di giring ke tempat penyembelihan. Tiga rekanku telah mengakhiri
hidupnya di hadapan mataku sendiri. Kini aku tinggal sendiri saja. Kerap aku
bertanya mengapa mereka memlih untuk mengiring rekanku ke arena penyembelihan.
Mengapa mereka tidak menggiring aku ? Sementara larut dengan pikiran demikian,
seseorang dengan migrophone di tangan menyebut, ”Keluarga Sapiah...!” lalu
orang-orang menghampiriku dan menggiring ke arena penyembelihan. lantai yang kutapak
terasa licin oleh ceceran darah rekan-rekanku. Barulah aku mengerti bahwa
namaku adalah Sapiah. Mungkin karena akulah satu-satunya sapi betani di antara
sapi sapi jantan di arena penyembelihan.
Kalau tadi aku begitu ngeri dan miris menyaksikan rekan-rekanku dirobohkan,
disembelih hingga dikuliti tak bersisa, kini aku akan merasakannya sendiri.
Mereka merobohkan dengan begitu mudah. Mungkin karena lelah menyaksikan rekanku
meronta, aku akhirnya hanya berdiam diri. Begitupun ketika roboh,
manusia-manusia itu begitu mudah menyeret badanku hingga leherku tepat berada
di atas sebuah lubang yang telah penuh oleh ceceran darah rekan-rekanku. Rasa
ngeri yang kubayangkan tiba-tiba lenyap. Tangan penjagal yang mengusap-usap
leherku terasa seperti tiupan angin yang menyejukkan. Ketika sebuah parang
hinggap di leherku, kupejamkan mata dan tanpa sadar aku terbawa irama takbir
yang terus bermain di telingaku, dan di luar dugaan keluar bahasa Ilahi dari
hati dan meluncur lewat mulutku, ”Allahuuu Akbarrr,” dan serasa aku berada di
Surga.
Depok, 24 September 2015