Aku bekerja sebagai Pegawai
negeri Sipil di Departemen Penerangan sejak tahun 1991. Gedung Departemen
Penerangan yang kini berganti nama menjadi Kementerian Komunikasi dan
Informatika terletak di Jalan Medan Merdeka Barat no. 9 Jakarta Pusat, tepat
berhadapan dengan Tugu monument nasional (Monas). Aku menempati salah satu
ruangan di lantai 6 gedung belakang. Bentuk bangunan di gedung belakang
berbentuk “T”. Di lantai 6 ditempati oleh dua direktorat. Tiap direktorat
memiliki dapur dan kamar kecil tersendiri. Tiap kamar kecil terdiri dari dua
ruangan dengan dua pintu yang saling berdampingan, yaitu kamar kecil untuk
wanita dan untuk pria. Kemudian lebih ke dalam terdapat sebuah dapur yang
memanjang tempat dimana karyawan sering memesan makanan ringan seperti Indomie
atau sekedar ngobrol menikmati kopi dan teh manis hangat.
Setiap kali akan ke dapur, maka
kami akan melintasi kamar kecil (pria dan wanita), atau tiap kali keluar dari
kamar kecil kami sempatkan ke dapur walau hanya untuk melihat siapa saja yang
sedang ngobrol di dapur. Dapur menjadi tempat yang paling sering dimasuki
karyawan. Jika kita tidak menemukan karyawan di ruangannya, atau ketika
pimpinan mencari salah seorang stafnya, jika tak ada di ruangan carilah mereka
di dapur.
Untuk ke dapur anda harus
melintasi bagian depan kamar kecil pria, kemudian kamar kecil wanita. Kalau
kamar kecil terbuka berarti tidak ada orang di dalam, karena kalau ada orang
biasanya kamar kecil ditutup. Lain halnya kamar kecil pria yang lebih sering
lupa atau sengaja lupa ditutup. Masalahnya seorang wanita yang akan ke kamar
kecil wanita harus melintasi dulu bagian depan kamar kecil pria. Tetapi pria
juga sering iseng, maksudnya akan ke kamar kecil pria tetapi ia sengaja ke
dapar dulu melintasi bagian depan kamar kecil wanita, lalu kembali ke kamar
kecil pria. Dengan demikian ia bolak balik di depan kamar kecil wanita dan
melihat perlintasan keluar masuknya wanita. Oleh karena itu siapapun yang masuk
ke kamar kecil hendaknya segera menutup pintu dan ketika keluar hendaknya juga
menutup pintu sehingga wanita tidak merasa risih melintas di depan kamar kecil
pria, dan pria juga tidak mendapat peluang melihat wanita di kamar kecil
wanita.
Suatu kali, karena karatan engsel
bagian atas dan tengah pintu kamar kecil pria copot yang membuat pintu miring.
Kondisi pintu tersebut akhirnya tidak bisa menutup sempurna. Bila pria ingin
membuang air kecil ia harus memegang pintu dengan posisi menutup setengah
tetapi di selanya masih tampak melompong. Pria tentu saja tidak nyaman buang
air kecil dan wanita juga merasa tidak nyaman melintasi kamar kecil pria.
Bebeberapa orang termasuk saya telah melaporkan kepada kepala tata usaha untuk
segera memperbaiki pintu kamar kecil tersebut. Namun tiga hari berlalu, pintu
tersebut masih saja belum diperbaiki.
Beberapa karyawan mengeluhkan
ketidaknyamanan dengan pintu kamar kecil yang rusak tersebut, tetapi kepala
tata usaha sepertinya menganggap kondisi tersebut sebagai hal yang biasa saja.
Kesal karena pengaduan yang tidak direspon tersebut, pada suatu hari saya
sengaja pulang agak terlambat. Teman bertanya mengapa belum pulang. Saya hanya
menjawab bahwa ada pekerjaan yang tanggung untuk ditinggalkan. Setelah
memastikan semua karyawan telah pulang, sayapun berkemas-kemas untuk pulang.
Satu-satunya yang masih di kantor
adalah OB (pesuruh kantor dan juga petugas dapur). Mereka rupanya biasa pulang
setelah magrib karena harus merapikan semua ruangan kantor dan juga
bertanggungjawab memegang semua kunci ruangan. Menunggu ia pulangpun, saya
tidak punya ruang dan alasan untuk tinggal berlama-lama di kantor karena ia
harus menutup semua ruangan.
“Mbak Yuni…!” begitu saya
memanggil namanya. “Saya akan merusakkan pintu kamar kecil ini. Kalau besok
pimpinan atau siapapun yang menanyakan soal pintu ini, katakan saja ‘tidak
tahu’ “
“Tapi saya kan pulang paling
terakhir, Pak.” jawabnya menghindari anjuranku.
“Katakan saja, sebelum pulang
pintunya masih seperti yang kemarin,” kataku mengajarkan sebuah alasan padanya.
Setelah ia meng-iya-kan, saya
mundur selangkah kemudian melayangkan sebuah tendangan ke arah daun pintu yang
menyebabkannya rubuh ke dalam kamar kecil. Si OB tetap saja khawatir dengan
tindakanku, karena itu ketika aku pulang iapun ikut pulang. Ia tidak mau
menjadi satu-satunya orang terakhir menyaksikan pintu kamar kecil rubuh ke
lantai.
Esoknya ketika masuk kantor aku
melihat seorang tukang sibuk memperbaiki pintu kamar kecil. Alhamdulillah,
rupanya sesuatu perlu benar-benar rusak dan tidak berfungsi lebih dahulu, baru ada keinginan untuk memperbaikinya. Aku
tahu tindakanku kemarin tidak terpuji karena merusak pintu kamar mandi yang
sebenarnya telah rusak. Tetapi tujuan tindakanku adalah untuk perbaikan.
Jakarta, 1 September 2015