TAK PERLU DIAM UNTUK SI DIAM

Kamis, 27 Maret 2014


Assalamu Alaikum Wr.Wb.

Semua di antara kita pernah diam, tetapi kita tak pernah memperhatikan atau mencatat “diam” sebagai bagian dari jejak hidup, sebahagian dari proses hidup yang kita jalani, sehingga menganggap “diam”  sebagai sesuatu yang tidak penting untuk disikapi dan juga tidak penting untuk dicatat sebagai bagian dari sejarah hidup manusia.

Coba perhatikan dan baca berbagai buku biografi maupun otobiografi tokoh-tokoh, baik tokoh agama, negarawan, pengusaha, politisi, sastrawan, para penemu dan tokoh-tokoh keilmuan lainnya, semua hanya berceritera tentang masa-masa hidupnya yang berhubungan dengan berbuat sesuatu, melakukan sesuatu, memikirkan sesuatu, mengatakan sesuatu hingga menemukan sesuatu, dan tak satupun yang berbicara soal diamnya. Seolah-olah mereka tak pernah melakukan aksi diam dalam hidupnya.

Bayangkan bagaimana hidup kalian tanpa ada waktu untuk diam. Diam adalah bagian dari hidup anda. Jika anda tidak mencatat diamnya anda, berarti anda mengingkari diam sebagai diam, dan itu berarti pula anda telah mendiamkan “diam” dalam bicara dan laku anda.

Saya di atas panggung inipun mengharapkan bapak-bapak dan ibu-ibu serta hadirin semua dapat diam. Dengan diam, hadirin semua dapat mendengar dengan baik, dan itu berarti pula anda telah memberi hak pada telinga anda untuk mendengar dengan baik berkat toleransi anda untuk diam. Dengan demikian telinga anda dapat lebih fokus mendengar satu sumber suara. Suara saya, ha ha ha. (tertawa terbahak-bahak)

Jadi selamaya  saya berbicara, kalian lebih bijaksana untuk diam. Tetapi anda akan menjadi tidak respek dan bijak jika mendiamkan saya. Kalau kalian mendiamkan saya, itu artinya tidak menganggap saya ada. Padahal adanya saya di panggung ini untuk didengarkan, bukan untuk didiamkan. Hanya saja, dalam mendengar, “bisakah kalian, diam ?” (dengan mimik memperingatkan)

(Perlahan-lahan bergerak mundur dan duduk di sebuah bangku kayu. Bersandar dan membolak-balikkan naskah teks, tanpa berbicara dan tanpa memperhatikan hadirin)

(Hadirin mulai riuh dan saling berbincang melihat orator tidak melakukan apa-apa di atas panggung. Orator kemudian berdiri mendadak, matanya menyapu ke semua hadirin, menyorongkan wajahnya dan meletakkan jari telunjuk  rapat pada kedua bibirnya)

Terimakasih, sekali lagi terimakasih. Saya bukan presiden yang sedang memimpin siding kabinet, bukan direktur perusahaan yang sedang memimpin rapat, bukan pula seorang komandan di hadapan anak buahnya. Saya hanya seorang pembawa acara monolog. (Mulai bangkit dari tempat duduknya) Jadi saya tidak perlu menunjukkan sikap geram dan berteriak lantang, “DIAMMMMMM” untuk mendiamkan suara gemuruh tadi.
Saya lebih memilih bahasa diam untuk mendiamkan……Terbukti diam lebih efektif untuk mendiamkan.

Maafkan sikap saya yang mendiamkan diri sesaat, tadi. Saya pikir kalian-kalian akan mendiamkan, diamnya saya. Saya lupa dan tidak membaca diamnya anda, sehingga kalian semua harus bersuara gemuruh untuk memberi pengertian kepada saya bahwa diamnya kalian adalah menunggu saya untuk berbicara. Tetapi diam yang terlalu lama, juga akan menimbulkan tanya. Tanya yang diam.

Kita seringkali menganggap bahwa diam adalah tidak berbicara. Anggapan itu tentu saja tidak salah. Dalam diam, orang memang tidak berbicara. Maksudnya tidak berbicara secara verbal. Namun jika kita telusuri, sesungguhnya dalam diam seseorang berbicara. Apa yang dibicarakan ? Hanya mereka yang diam yang mengetahui apa yang ia bicarakan dalam diamnya. Sementara orang-orang di luar dirinya hanya menganggap bahwa ia didiamkan, lalu mereka-reka apa maksud dari diamnya. Dalam mereka-reka maksud diam, seseorang sebenarnya berusaha memecahkan teka-teka apa yang dibicarakan oleh si diam.

Pernah sekali saya menulis status di akun facebook, begini :
Sejujurnya aku merinduimu
Karena itu aku memilih diam
Mengapa diam kau tafsirkan marah
Dengan juga memilih untuk diam

Status itu dikomentari cukup ramai oleh teman-teman. Mereka serius melihat diam sebagai sesuatu dari sudut pandangnya masing-masing. Sesungguhnya mereka semua benar, kendati beberapa teman berdiskusi tentang diam dan tidak mempersoalkan maksud dari status yang aku buat. Namun dari diskusi yang cukup serius itu, ternyata persoalan diam bisa menimbulkan keriuhan, karena mereka berbicara tentang diam dan tidak mendiamkan diam sebagai status diam.

Diam dalam pengertian dan pandangan umum adalah situasi dimana seseorang tidak melakukan sesuatu dan tidak mengatakan sesuatu, bahkan ketika orang  sebenarnya mengharapkan ia melakukan dan/atau mengatakan sesuatu.

Tetapi status yang aku contohkan tadi, bukanlah diam sebagaimana pengertian diam yang aku jelaskan. Melainkan diam sebagai suatu sikap.Sikap diam tentu saja menimbulkan banyak tafsir, dan memang  bebas untuk ditafsirkan. Apapun penafsiran kita terhadap diam, si diam tidak akan berbicara untuk memprotesnya, kecuali kau menunjukkan tafsir yang pasti sehingga si diam terpaksa harus berbicara untuk meluruskan tafsirmu. Namun dapat saja karena jengkel dengan tafsirmu yang sok tahu, si diam tetap dalam sikap diamnya dan tidak perduli dengan tafsirmu.

Diam adalah satu pilihan sikap. Seharusnya kita dapat menghargai pilihan itu. Tetapi harus diakui bahwa diam adalah situasi yang paling tidak mengenakkan bagi yang didiamkan. Masalahnya sebenarnya sederhana jika yang didiamkan memahami maksud dan suasana hati yang diam, sehingga ia dapat mengambil posisi yang tepat menyikapi “diam”. Barangkali dengan diam sejenak mencari moment yang tepat untuk mencairkan suasana hati Si Diam, lalu mulai berbicara tenang menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi diamnya Si Diam, sehingga Si Diam dapat memaklumi bahwa diamnya Si Diam adalah reaksi emosional karena belum memahami persoalan secara jelas.

Wow…luar biasa…Ternyata reaksi emosional manusia dapat juga berupa diam. Oleh karena itu jika Si Diam didiamkan karena ke-diam-annya, reaksi emosionalnya akan menjadi lebih tinggi karena ia menganggap orang tidak memahami maksud diamnya.

Saya sarankan, jika anda menemukan orang yang diam. Diam karena tidak tahu akan melakukan atau mengatakan apa-apa, atau diam karena sikapnya, maka kita tak perlu diam untuk diamnya. Berbicaralah agar Si Diam dapat mendiamkan amarahnya yang tidak jelas. Tetapi itu bukan berarti kalian harus diam setelah membaca tulisan tentang “diam” ini.

Jakarta, 27 Maret 2014

SAMBUTAN RESEPSI PERNIKAHAN

Rabu, 19 Maret 2014


BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM

ASALAMU ALAIKUM WR. WB.



Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, nikmat kesehatan, dan berbagai nikmat duniawi lainnya agar kita memiliki kesempatan dan peluang untuk bermunajab secara khusu kepada-Nya. Dengan waktu dan peluang itu pula, Alhamdulillah keluarga dan handaitaulan dari berbagai tempat, jauh dan dekat telah meluangkan waktunya yang demikian berharga untuk merapat dan bersilaturrahmi di tempat ini. Untuk itu semua kami atas nama keluarga besar, dari lubuk hati yang terdalam mengucapkan, “selamat datang dan terimakasih”.



Bapak, Ibu dan Para undangan yang terhormat,

Perkenalkan, nama saya adalah Zulkomar, adik sepupu dari Ulpia, berarti kemenakan dari ibunda Siti Rahma Makka. Masih banyak anggota keluarga yang sebenarnya lebih patut berdiri di tempat ini dan berbicara mewakili keluarga sahibul hajat. Hanya saja, mungkin karena kebetulan mempelai wanita, adik Ulpia bekerja dan bertempat tinggal di Jakarta dan secara tidak langsung berada dibawah bimbingan kami sekeluarga, maka ibunda Siti Rahmah Makka mengamanatkan semua hal yang menyangkut adik Ulpia kepada kami sekeluarga. Oleh karena itu dengan perasaan sunkan kepada keluarga yang lain, kami menerima amanah ini, untuk menyampaikan sepata dua kata mewakili mempelai.



Bapak, Ibu dan para undangan yang terhormat,

Saya merasa perlu menjelaskan sedikit hal tentang pertemuan kedua mempelai. Seperti kita ketahui bahwa mempelai pria, junaid adalah kemenakan dari Pamanda H. Abdul Rauf Tasrab yang telah dianggapnya sebagai anak kandungnya sendiri, karena ia telah bertempat tinggal bersama dalam jangka waktu yang lama, sampai Junaid menemukan pekerjaan sebagai penopang hidupnya.



Pada suatu malam, hari dan tanggalnya tidak lagi melekat dalam memori saya, kemungkinan akhir oktober atau awal Nopember tahun 2006. Seorang lelaki tampan, seperti yang terlihat di pelaminan datang menemui saya. Ia menyatakan perasaannya terhadap Ulpia dan berniat mempersuntingnya. Saya tidak tahu siapa yang merekomendasikan ia untuk datang menemui saya. Setelah mendengar niatnya, membaca gerak bibirnya, dan kesungguhan raut wajahnya, saya hanya menyampaikan tiga hal kepadanya. Pertama, silahkan kenali Ulpia dan pikirkan kembali niatmu. Kedua, lakukan sholat istiharah dan Ketiga, temui saya jika keputusanmu sudah bulat dan mantap.



Saya tidak tahu apakah ia melakukan ketiga hal yang saya minta. Tetapi sebelum berangkat berlayar, ia menyampaikan kembali niatnya kepada saya. Saya tegaskan, tidak satu katapun saya tambahkan dan tidak satu katapun saya pangkas. Ia katakan begini, “BAPAKNYA ALFI ! SAYA JUNAID. SAYA SUDAH MENGAMBIL KEPUTUSAN DENGAN NIAT YANG MANTAP DAN IKHLAS MEMILIH ULPIA UNTUK TUJUAN YANG MULIA SEBAGAI PENDAMPING HIDUP SAYA. MARI KITA BERDOA BERSAMA SEMOGA ALLAH RIDHO ATAS TUJUAN YANG MULIA SAYA INI. AMIN.”



Bagi saya, kesungguhan niat itu sudah merupakan modal awal untuk mengkomunikasikan dengan keluarga. Tetapi saya tidak serta merta menyetujui ataupun menolaknya. Saya biarkan waktu berlalu beberapa bulan hingga saya betul-betul mantap mempercayai niatnya. Selanjutnya, saya sampaikan kepada adik Ulpiah, dan Ulpiah menyerahkan semua keputusannya kepada saya,



“saya akan terima apapun yang ayah putuskan (Ulpiah biasa menyebut saya dengan sebutan, Ayah). Ayah lebih mengerti apa yang terbaik buat Upi.”



Saya menangkap itulah jawaban santun seorang gadis bahwa ia menerima niat baik seorang laki-laki yang datang pada keluarganya.



Selanjutnya proses berjalan terus, lancar dan smooth hingga kita semua berkumpul di tempat ini, menyaksikan kebahagian kedua mempelai yang diapit oleh orang-orang terkasih. Kita semua hadir disini untuk memberikan restu dan doa agar kedua mempelai dapat melayari bahtera rumah tangganya agar sakinah dan mawaddah hingga roh meninggalkan jasad.



Bapak, Ibu, dan para undangan yang terhormat,

Mengapa setelah ijab Kabul yang resmi dan sah pada prosesi akad nikah, acara masih kita lanjutkan dengan resepsi yang meriah ini. Ini tidak lain agar semua keluarga dan handai taulan ikut menyaksikan bahwa kedua insan di pelaminan tersebut adalah sepasang suami istri yang sah dan diridhohi Allah. Sehingga esok atau lusa jika ada yang menyaksikan mereka berdua berjalan berakrab-akrab, tidak akan menimbulkan fitnah atau pergunjingan. Dengan mengetahui bahwa mereka berdua telah menjadi suami istri, maka keluarga dan handai taulan juga merasa berkewajiban mengawasi, memperingatkan, menegur dan menasehati jika diantara mereka ada tanda-tanda akan menghianati sumpah dan janji akad nikah yang telah mereka ikrarkan dengan nama Allah dihadapan semua keluarga.



Demikianlah penyampaian saya, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan.

Wabillahit Taufik Wal Hidayat
Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu

KEMBALINYA SANG PEMBERONTAK

Selasa, 18 Maret 2014



Judul     : Nicolaas Jouwe Kembali Ke Indonesia. Langkah, Pemikiran dan Keinginan
Editor    : Agus Edi Santoso, Max Diaz Riberu, dan Yohanes Ngamal
Penerbit : PT Pustaka Sinar Harapan Verbum Publishing
cetakan  : I – Jakarta 2013    

Tebal     : 116 halaman
ISBN     : 979-416-962-5

Capture :
Nicolaas Jouwe, “Setelah melihat sendiri perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah Indonesia sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.”

Sejauh-jauhnya berkelana, seorang perantau pada akhirnya akan kembali ke kampung halamannya. Sekeras-kerasnya jiwa dan semangat seorang pemberontak, kecintaan pada tanah leluhur akan mengantarkannya kembali ke haribaan pangkuan Ibu Pertiwi. Itulah barangkali ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kesadaran Nicolaas Jouwe kembali mengabdikan diri kepada bangsa dan negaranya, setelah hampir lima puluh tahun memperjuangkan ambisi pribadinya untuk mendirikan negara di dalan negara akibat bujuk rayu Belanda yang mengiming-imingnya menjadi Presiden Papua Bagian Barat.

Siapa tak kenal Nicolaas Jouwe ? Beliau adalah pendiri Organisasi Papua Merdeka, ia juga yang mendesain bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Moment inilah yang kerap dipakai oleh saudara-saudara yang ingin memisahkan diri dari Indonesia untuk mengklaim bahwa negara Papua pernah ada. Perjuangan Nicolaas ini langsung dimanfaatkan oleh Belanda yang ketika itu masih bertikai dengan Indonesia menyangkut eksistensi Papua. Nicolaas segera dirangkul dan tidak tanggung-tanggung – dia diangkat menjadi pejabat negara oleh Pemerintah Belanda dan dijanjika kelak akan menjadi presiden Papua.

Dalam buku ini kita akan mengetahui bahwa perjuangan Nicolaas Jouwe sesungguhnya adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua, sedangkan Organisasi Papua Merdeka hanyalah sebagai wadahnya. Namun kini saya menyadari bahwa “Perhatian pemerintah dan kondisi politik sudah berbeda terhadap Papua. Setelah melihat sendiri perkembangan tahap demi tahap, saya akhirnya percaya bahwa Pemerintah Indonesia sangat serius memperhatikan kesejahteraan masyarakat Papua.” ( hal 26-27).

Sesungguhnya semangat perjuangan Nicolaas Jouwe adalah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Kalau dulu berjuang dengan berbeda pendapat dengan pemerintah Indonesia, kini Nicolaas berjuang bersama pemerintah Indonesia untuk Papua dan Indonesia (hal. 26). Sebenarnya keinginan Nicolaas untuk kembali ke Indonesia sudah timbul sejak tahun 1969. “Menurut saya, setelah 2/3 negara anggota dalam sidang PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara bangsa Indonesia. Jadi saya harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidup saya untuk membantu Pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua (hal.32).

Secara jujur dalam buku itu Nicolaas mengakui bahwa pelariannya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. “Menurut saya, perjuangan Papua Merdeka yang telah saya lakukan merupakan dorongan dari Belanda yang seolah-olah akan mendirikan negara sendiri dan menjadikan saya sebagai presiden Papua Barat. Sebagai orang muda saat itu saya tidak menyadari bahwa itu hanya merupakan akal-akalan Pemerintah Belanda.” (hal. 83).

“Belanda menyuruh saya membuat bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk persiapan berdirinya sebuah negara. Setelah semua itu saya siapkan ternyata tidak ada satu negarapun yang mendukung perjuangan saya, justru semua negara menyatakan bahwa Irian Barat (Papua) bagian dari wilayah Indonesia,” (hal 84).

Nicolaas sesungguh sudah ingin kembali ke Indonesia tetapi ia telah terkurung dalam jabatan tinggi yang diberikan oleh Belanda sementara dirinya terus berada dalam pengawasan. Belanda sering mengatakan kepada Nicolaas, kalau nanti kau pulang ke Indonesia pasti dibunuh. Indonesia sudah menunggu untuk membunuhmu. Nicolaas tahu semua itu tidak benar, tetapi memang belum ada jalan untuk kembali (hal. 88).

Pernah ada surat dari mantan Presiden Soeharto untuk disampaikan kepada Nicolaas Jouwe dalam suatu pertemuan di PBB, tetapi Nicolaas tidak  siap menerimanya karena ia sedang dimata-matai oleh pejabat Belanda. Akhirnya setelah kembali ke negeri Belanda Nicolaas sendiri yang bersurat kepada Presiden Soeharto menyatakan niatnya untuk kembali ke Indonesia. Dua kali Nicolaas bersurat yaitu tahun 1973 dan 1975 tetapi surat itu tak pernah sampai ke alamat karena kena sensor (hal.38).

Ternyata pada akhirnya Tuhan mengabulkan keinginan dan harapan Nicolaas Jouwe untuk kembali membangun daerahnya. Pada tahun 2009 sebuah delegasi di bawah pimpinan Nona Fabiola Ohei tiba di Den Haag, Belanda dengan membawa surat dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Surat undangan yang mereka bawa itu sangat bagus. Isi surat itu sederhana tetapi mengandung makna yang sangat tinggi. Surat itu intinya mengundang saya kembali ke tanah air pulang ke pangkuan Ibu Pertiwi. Saya menilai surat ini ditulis halus sekali, sebuah undangan bagus, dan saya merasakan bahwa surat itu ditulis dengan hati dan tulus. Surat itu ditulis bukan dengan otak tapi dengan hati. Tuhan Yesus bersabda: Percayalah dengan hati, jangan dengan otak (hal. 43). Sayangnya Nicolaas Jouwe tidak melampirkan Surat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut, padahal surat tersebut adalah dokumen penting yang perlu diketahui publik sebagai bagian dari sejarah kembalinya Nicolaas Jouwe ke Pangkuan Ibu Pertiwi.


Buku ini sangat baik dan perlu diketahui oleh masyarakat umum terutama bagi masyarakat Papua agar mereka mengetahui latar belakang politik Belanda memberi ruang bagi aktivis-aktivis papua untuk melawan kebijakan Pemerintah Indonesia. Sayangnya buku ini dicetak dalam hardcover edisi lux yang tentu harganya sangat mahal dan sulit dijangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat Papua.

Diresensi oleh Zulkomar
Pengamat masalah sosial politik.

MONOLOG HATI : CUKUP DI BERANDA......SAYANG

Jumat, 14 Maret 2014


Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu..!

Saudara-saudaraku, sahabat-sahabatkuku, kerabat dan handai taulan semua..! Teristimewa kepada teman-teman yang setia menemani keseharianku di pojok belakang, sana.

Aku tahu mengapa engkau mengambil tempat di belakang dan di pojok pula. Kalian tentu sudah tahu apa yang akan aku katakan, karena apa yang akan aku katakan seringkali telah kita obrolkan bersama di hampir semua tempat. Aku tahu, kalian hanya ingin melihat aku berdiri dan bergerak dari sini ke sana dan sebaliknya, dan tidak akan mempedulikan omonganku. Tak apa, tak mengapa, tidak menjadi masalah. Tapi kehadiran kalian dan juga semua di ruangan ini menegaskan bahwa aku tidak pernah sendiri, dan tak akan pernah sendiri.

+++

Hai…! Mengapa semua harus menengok ke belakang ?
Mereka hanyalah teman-temanku yang tidak begitu penting.
Sosok yang paling penting malam ini,
adalah aku..!.... hanya aku, dan bukan yang lain.
Jadilah akulah yang harus diperhatikan,
karena aku berada tepat di hadapan kalian.
Aku dipanggungkan untuk diperhatikan dan di dengarkan.
Jika aku tak diperhatikan atau tak didengarkan,
bukan berarti karena aku…ataupun perkataanku kurang menarik.
Melainkan kalianlah sendirilah yang mengingkari
keberadaan dan posisi kalian sebagai penonton dan pendengar.
Begini saja…!
Agar kita tak saling mengingkari keberadaan dan posisi kita,
biarkan aku berbicara sendiri
dan aku akan membiarkan telinga kalian mendengar di sana.
 
+++

Kali ini aku akan berbicara soal hati,
karena banyak yang megatakan
penduduk negeri ini sudah kehilangan hati.
Kecuali …..
manusia-manusia yang hadir di ruangan ini
dan….tentu saja mereka yang membaca tulisan ini.
Aku sangat yakin dan sangat percaya
kalian mendengar dan mengamati dengan hati.
Mengapa ?   Mengapa  ?  Mengapa ?
Karena getar suara yang sampai ke telinga kalian
adalah getar suara hati seorang Bungko Dewa.

+++

Kali ini kita kan berbicara soal hati,
Bukan soal hatimologi
Bukan soal hatiisme
Bukan pula soal terminology hati
atau ramalan hati
atau peringatan untuk berhati-hati.

Kali ini kita akan berbicara soal hati
Bukan untuk mengguruimu soal hati.
Karena setiap orang adalah guru bagi hatinya.
Kalau ada hati yang menggurui hati yang lain
itu sama artinya imprelialisme hati.
Hati menjajah hati.
Era itu sudah selesai.

Kali ini kita akan berbicara soal hati.
Jangan khawatir….! Bukan soal hati kalian.
Bukan juga soal hatimu, hai wanita bergaun mini
Melainkan hati ini sendiri
hati seorang Bungko Dewa.
Percayalah tak ada sesuatu yang tersebunyi di hati ini
walau kalian …..dan orang –orang diiii … luar sana
mengenal aku sebagai pribadi yang tertutup.

Hati ini
ibarat sebuah rumah.
Jika rumahku adalah istanaku
maka hati ini adalah istanaku.

Sebagai sebuah rumah
hatiku tentu saja berpintu
dan pintu itu selalu tertutup.
Kalau aku katakan,
“pintu hatiku telah tertutup”
Tidak otomatis menutup kehadiran yang lain.
Jika ingin masuk ke dalam hatiku
silahkan mengetuknya sambil menyeru…salam.
Kalau suaramu cukup terdengar
atau telingaku cukup mendengar
aku segera akan membukakan pintu.
Tapi itu bukan berarti kau bisa langsung masuk
karena aku masih mematung dan memegang daun pintu.
Jika aku berkenan dengan kehadiranmu
aku akan persilahkan kau duduk di beranda.
Beranda hatiku cukup lapang untuk bertukar tutur
cukup senggang berbagi ceritera
So…what gitu loh……!

Kalau kau berminat masuk ke dalam hatiku
bersabarlah untuk mengenal suasana berandanya.
Buatlah dirimu senyaman mungkin
untuk memastikan akupun cukup nyaman.

Cukuplah di beranda, sayang…!
_________
Bung Komar
Jakarta, 14/3/2014
Untuk Pesta Seni 
di Gelanggang Remaja Jakarta Utara