MENENTUKAN PILIHAN

Minggu, 23 Februari 2014


Siapapun yang meminta

Akan aku berikan
Apapun yang diminta
Takkan kuberikan

Aku tak membedakan siapa
Tetapi memilah apa dan apa
Mungkin meniadakan apa
lalu menentukan siapa

Siapapun yang meminta
akan aku berikan
lalu menentukan siapa
Aku akan memilih siapa
bukan memutuskan apa

Itulah aku
sebagai siapa
siap memilih siapa
Bukan apa pada siapa
            juga bukan siapa pada apa

           Jakarta, 24/2/2014

BUKAN APANYA ? TETAPI SIAPA

Kamis, 13 Februari 2014

Bapak Paul J. Amalo
di Kupang, Nusa Tenggara Timur

Salam hangat.
Pertama-tama saya mengucapkan selamat berbahagia karena Bapak telah menyelesaikan tugas dan pengabdiannya sebagai abdi negara selama lebih dari 30 tahun. Waktu yang sesungguhnya sangat lama, tetapi tidak sekalipun bapak tampakkan kejenuhan ketika harus menghadapi tugas-tugas negara, bahkan gairah bapak dalam berdiskusi masih menyala-nyala. Diskusi bagi bapak adalah sebuah kenikmatan dalam suatu relasi sosial. Itu bagian yang selalu aku ingat, diskusi adalah energi dan gairah dimana kita menyadari bahwa kita tidak akan pernah sendiri.

Bapak Paul J. Amalo
Ada satu kabar yang ingin kusampaikan. Mudah-mudahan ini kabar yang menggembirakan tetapi mungkin juga menyedihkan. Tergantung bagaimana kita menyikapinya.  Di kantor kita, maksudnya bekas kantor bapak sekarang telah dibangun Media Centre. Alhamdulillah tempatnya cukup strategis berada di bagian depan setelah ruangan pos jaga. Insya Allah satu bulan ke depan akan segera difungsikan. Fasilitas yang tersedia lumayan cukup untuk operasional media centre, tetapi jujur belum memenuhi harapan dan kebutuhan para jurnalis. Kita berharap waktu akan menggenapinya kemudian.

Bapak Paul J. Amalo !
Bapak tentu masih ingat bahwa ide media centre ini sebenarnya telah kita gagas dan ajukan 10 tahun yang lalu. Konsep yang bapak ajukan lalu kita matangkan bersama-sama itu lengkap dengan sistem dan alur kerjanya. Setiap sore menjelang usai kantor kita rapatkan dan diskusikan bersama-sama, walaupun tidak ada komponen biaya untuk rapat. Kita seringkali ribut dan berdebat hebat untuk menemukan sebuah format media centre yang sesuai dengan kebutuhan kantor kita. Semua kita lakukan karena ingin membangun sebuah media centre untuk meningkatkan tugas dan fungsi kita dalam menjalankan komunikasi publik, khususnya dengan media massa.

Kita bersama-sama menggagas media centre sebagai pasar informasi. Wartawan tidak akan pernah kekeringan informasi tentang bidang politik, hukum, dan keamanan. Apapun yang ingin diketahui publik lewat wartawan akan kita fasilitasi. Media centre akan terus ramai oleh kegiatan konperensi pers bukan hanya dari kedeputian di kantor kita, tetapi juga dapat kita undang dari kementerian lain untuk memberikan konperensi pers tanpa mereka harus kesulitan mendatangkan wartawan peliput. Media centre akan menjadi rumah kedua bagi para wartawan. Semua kebutuhannya akan kita penuhi. Mereka tak perlu lagi harus kembali ke kantor redaksi untuk membuat berita dan menyerahkannya ke redaktur pelaksana. Kita akan menyediakan alat kerja dalam suasana kerja sebagaimana layaknya di ruang redaksi, dan kitapun akan memberikan fasilitas pengiriman naskah berita mereka ke redaktur pelaksana tanpa harus meninggalkan tempat.

Bapak Pual J. Amalo..!
Media centre yang kita usulkan itu, idenya sangat ideal, konsepnya sangat jelas, alur kerja sangat sesuai dengan standar operasional prosedur pengelolaan media centre yang umum dilakukan secara profesional, dan ruangan yang kita butuhkanpun sebenarnya telah ada. Jadi sebenarnya biayanya tidak begitu mahal untuk memulai. Tapi entah mengapa usulan itu tidak pernah terealisasi. Hal yang kita tahu bahwa ruangan yang kita mintakan tersebut masih dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan lain yang nalar kita kurang bisa menerimanya, tetapi harus kita maklumkan. Usulan media centre itu bukan sekali kita ajukan, tetapi beberapa kali, dan beberapakali pula kita harus gigit jari.

Sekarang media centre telah tersedia dan saya tidak pernah tahu bagaimana alur usulannya mengalir. Mungkin saja saat ini biayanya memungkinkan, mungkin saja saat ini kebutuhannya baru disadari, mungkin saja pejabat yang mengusulkannya cukup dikenal dan karena itu direspon dengan baik. Entahlah. Kesimpulan bodoh saya, mungkin para penentukan kebijakan lebih tersentuh oleh siapa yang mengajukan usulan, bukan kepada ide usulannya itu sendiri. Ini beralasan karena sampai saat ini saya belum pernah melihat sebuah grand konsep pengelolaan media centre. Saat ini baru ada ruangan media centre, ruangan untuk para wartawan, penempatan alat kerja, adanya unit pelayanan publik yang titik tekannya pada pelayanan informasi publik. Bagaimana format pengelolaan media centre ? Sampai saat ini belum saya ketahui. Mungkin saja hanya saya yang belum mengetahuinya.


Bapak Paul J. Amalo...!
Saya rindu, kangen dengan segala kehangatan bapak. Saya rindu suasana kerja yang terbangun begitu kompak dan penuh rasa kekeluargaan. Saya rindu berdebat hebat, saling menyerang dalam adu argumentasi yang selalu kita sudahi dengan salam dan senyum. Hampir tak ada ganjalan yang tidak kita selesaikan hari itu juga, sehingga kita semua pulang tidak menyimpan perasaan kurang nyaman terhadap sesama teman kerja. Bapak tahu mengapa aku rindu ? Itu karena semua yang aku rindukan itu tak ada lagi.

Bapak Paul J. Amalo...!
Bapak memang sudah lama pensiun, tetapi aku tahu bapak tidak pernah mau ketinggalan menyimak dan menganalisis konstelasi politik kekinian, apalagi pada tahun ini yang dipastikan suhu politik di tanah air akan makin hangat dan memanas. Aku perjanji akan mengabarkan semua dinamika yang terjadi di negeri ini, walau aku tahu bapak juga mengikuti dinamikanya lewat layar kaca dan medium lain.

Tanjung Priok, 14 Februari 2014

Hormat Saudaramu,
Bung Komar

SAAT TAK TAHU AKAN MENULIS APA TENTANGMU

Senin, 10 Februari 2014


Di bulan Februari ini banjir terjadi dimana-mana. Seolah menggenapkan bilangan banjir yang telah dimulai di bulan Januari. Hari ini, Selasa, tepat 11 Februari 2014 banjir kembali terjadi walaupun genangan air di jalan-jalan mulai kering. Banjir yang terjadi hari ini adalah banjir pujian, banjir kasih sayang, banjir ucapan selamat, banjir coklat pada mereka yang berulang tahun, yang keberapa sekalipun. Mereka yang teramat dekat ataupun yang pernah dekat, sahabat, kerabat dan kolega-kolega yang menyenangkan hati, masing-masing berlomba untuk memberikan ucapan selamat. Saya tentu saja tak mau alpa apalagi harus ketinggalan untuk mengucapkan selamat kepada yang hari ini berulang tahun. Selamat ulang tahun ya….!

Hai..engkau yang berulang tahun hari ini. Aku tak bisa memberikanmu hal-hal yang berarti, apalagi sebuah bingkisan istimewa. Sekecil apapun yang kupunya rasanya telah kubagi padamu. Jikapun tak cukup untuk mengejangkan hasrat dan  harapanmu, maafkanlah…..karena keterbatasan itu bukan kehendakku. Takdir dan nasibku memang seperti ini, dan itulah yang kujalani. Aku hanya mau mengatakan satu hal padamu bahwa engkau dilahirkan pada saat dan tanggal yang tepat. Engkau adalah manusia yang telah diberi Allah dengan sejuta kelebihan dan berlimpah talenta. Ya…karena engkau dilahirkan pada saat hampir semua negara di dunia ini mengikrarkan sebuah keputusan besar tentang bumi yang kita diami bersama dimana pada kedalamannya ada lautan yang maha luas.
 Aku teringat sebuah masa yang begitu historis. Empat puluh tiga tahun yang lalu, delapan puluh tujuh negara menandatangani Perjanjian Dasar Laut, yang melarang percobaan senjata nuklir di lautan internasional. Itulah sebabnya anak manusia yang lahir tepat pada saat perjanjian besar ini ditandatangani (11 Februari 1971) memiliki kecenderungan cinta kepada keluasan alam, keluasan samudera, birunya langit yang memantul di birunya lautan. Mereka yang terlahir tepat pada tanggal perjanjian besar tersebut juga memiliki keluasan pandangan dan keluasan pengalaman hidup. 

Sebagaimana kesehariannya, lautan selalu menyimpan ketenangan dan kedamaian sebagaimana hamparan airnya yang membentang luas. Dalam panadangan mata ia tampak seperti tanpa ujung. Namun demikian, dalam ketenangannya kadang pula terjadi iklim pasang dan surut, bahkan acap terjadi riak berirama, gelombang menggulung hingga membadai. Tetapi semua hanya berlangsung sesaat  sebagaimana lantunan sebait lagu, “badai pasti berlalu” dan setelah itu lautan akan kembali pada kesejatiannya, tenang dan damai.

Aku berharap dan berdoa pada ulang tahunmu kali ini, badai itu telah berlalu, dan lautan yang ada di hadapanmu mulai menampakkan kebiruannya, kesejukannya, ketenangannya dan kebahagiaannya buatmu. Sementara aku di sini tak tahu akan menulis apa. Apakah aku akan menuliskan apa yang aku pikirkan yang ujung-ujungnya justru aku memikirkan apa yang aku tuliskan karena kata-kata yang meluncur tak lagi bisa ditakar maksudnya. 

Apa yang harus aku lakukan ? Apa yang harus aku pikirkan ? Apa sesungguhnya yang aku rasakan ? Lalu serombongan angin membisikkan, “berhentilah menulis jika kau tak tahu apa yang kau tuliskan.” Tetapi entahlah, karena kadang aku menulis bukan karena ada sesuatu yang aku pikirkan, bukan pula karena ada idea yang nyangkut di benak ini. Ya… menulis karena ingin menulis saja. Kadang memang tak lebih dari itu. Lalu laron-laron di bawah sofa biru berteriak, “So what gitu loh”. Iyalah….biarkan rasa menjadi urusan rasa. Kalau rasa akan dituliskan, maka ia tidak akan menjadi rasa melainkan hanya menjadi tulisan. Kalau rasa dipuisikan, ia tidak akan menghasilakan rasa melainkan hanya melahirkan syair yang rasanya tergantung pada siapa yang merasakan denyut syair itu.

Apapun…..Selamat ulang tahun ya…...Selalu mendoakan yang terbaik dan kebahagiaan untukmu.

Jakarta, 11 Februari 2014

USMAN HARUN ?

Sabtu, 08 Februari 2014


Namaku Usman Harun, tertera jelas dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dikeluarkan oleh Kepala Kelurahan Sungai Bambu, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara yang juga kebetulan bernama Usman Harun. Sehingga jika dalam KTP-ku tertera ada dua nama Usman Harun di bagan atas dan bawah, itu bukan karena kesalahan penulisan oleh petugas kelurahan, melainkan sungguh-sungguh karena nama kami memang sama. Sewaktu akan menandatangani KTP-ku, Bapak Lurah sempat bertanya kebenaran namaku kepada stafnya. Setelah diyakinkan bahwa namaku sesuai dengan nama yang tertera di Kartu Keluarga dan juga bukti akte kelahiran, barulah Bapak Lurah Usman Harun mau menandatangani KTP-ku tanpa pernah mengajukan protes mengapa aku harus bernama Usman Harun.

Akupun tidak kalah teliti dan kritis. Sewaktu menerima KTP, akupun sempat bertanya kepada petugas kelurahan, “apa benar Bapak Lurah kita bernama Usman Harun ?” Aku bertanya demikian karena selama ini aku tidak pernah aktif di kegiatan kelurahan dan tidak tahu menahu bahwa bapak Lurahnya juga bernama Usman Harun. Setelah diyakinkan bahwa nama Bapak Lurah sama dengan namaku barulah aku bisa menerimanya, tentu saja tanpa harus mengajukan protes mengapa Bapak Lurah harus bernama Usman Harun.

Dalam suatu pertemuan silaturahmi dan pembentukan panitia bersama menyambut perayaan HUT Kemerdekaan RI, aku hadir sebagai salah seorang pemuka masyarakat yang diharapkan bersedia terlibat secara aktif dalam berbagai event kegiatan yang digagas oleh kelurahan kami. Seusai rapat aku sempatkan berbincang-bincang dengan Bapak Lurah di ruang kerjanya. Inilah adalah pertemuan empat mata antara Usman Harun dengan Usman Harun untuk membicarakan masalah Usman Harun.

Dalam obrolan santai tersebut, aku jelaskan bahwa namaku adalah nama asli, bukan nama samaran dan tidak bermaksud meniru-niru nama Bapak Lurah. Ayahku seorang pedagang yang bernama Harun Usman. Nama sebenarnya Harun, sedangkan Usman itu adalah nama orang tuanya. Ketika aku lahir orang tua memberikan nama kakek kepadaku sebagai ungkapan terimakasih dan cintanya kepada orang tua ayahku. Sehingga akupun diberikan nama Usman, kemudian ditambahkan nama ayahku di belakang menjadi Usman Harun. Bapak Lurah tertawa terbahak-bahak mendengar ceriteraku, lalu ia kemudian berceritera tentang asal usul namanya sendiri.

“Ini sebenarnya rahasia keluarga, tetapi kepada Bapak Usman tak apalah saya ceriterakan. Anggap saja saya sedang berceritera kepada diri saya sendiri,” kata Lurah Usman Harun tertawa kecil yang kusambut dengan tawa yang sama. “Namaku sebenarnya berasal dari dua nama orang, yaitu nama bapakku Usman Latif dan nama saudara kembarnya Harun Latif, dengan demikian aku diberi nama Usman Harun.”

“Ibunya Pak Lurah tidak protes ?”

“Nama itu justru usulan mamaku. Mama mencintai bapakku dan juga saudara kembarnya. Awalnya Mama mencintai Harun Latif. Mama berpacaran cukup lama dan juga sering curhat dengan saudara kembar pacarnya, yaitu bapakku. Manusia merencanakan, Tuhan jua yang menentukan. Harun Latif meninggal dalam suatu kecelakaan. Mamaku sangat bersedih dan tak lagi punya gairah hidup. Ia hanya mengurung dirinya di kamar. Satu-satunya yang sering datang menghiburnya adalah Usman Latif saudara kembar almarhum Harun Latif. Entah bagaimana jalannya sebuah perasaan hati, mamaku juga mulai mencintai Usman Latif. Usman Latif dari awal memang menaruh hati pada Mamaku, tetapi saat itu mamaku lebih memilih Harun Latif. Namun demikian Usman Latif tidak memperlihatkan kecemburuannya. Ia berbahagia jika saudara kembarnya dapat bersanding dengan wanita yang ia cintai, walaupun ia harus mengorbankan cinta dan perasaannya. Begitulah tali cinta bersemi di antara Mama dan bapakku. Dan ketika aku lahir sebagai anak pertama mereka, aku diberi nama Usman Harun sebagai bentuk penghargaan cinta mama dan bapakku kepada Mantan pacar mama, dan saudara kembar bapak.”

“Sebuah novelette yang menarik Pak Lurah,” ucapku kagum.

Nama Usman Harun memang ditakdirkan menjadi nama yang menarik untuk diperbincangkan. Lihatlah betapa penamaan KRI Usman Harun sebagai penghargaan atas sikap heroik Usman Haji Mohammed Ali dan Harun Said pada masa konfrontasi dengan Malaysia diprotes oleh Singapura karena kedua nama tersebut telah mengebom MacDonald House di Orchard Road, Singapura yang menyebabkan tewasnya tiga orang dan melukai 30 orang warga sipil Singapura pada tanggal 10 Maret 1965. Singapura menganggap Usman dan Harun tidak layak dikenang sebagai pahlawan karena telah menewaskan warga sipil. Padahal apa yang dilakukan oleh Usman dan Harun bukan atas namanya sendiri melainkan atas nama bangsa dan negaranya. Jadi sangat wajar jika pemerintah Indonesia mengabadikan kepahlawanannya sebagai nama kapal perang Indonesia yang baru, KRI Usman Harun.

Jakarta, 8/2/2014