DI RENTANG AKHIR DAN AWAL

Selasa, 31 Desember 2013
Dimana kau
Bagaimana kau


Saat sebuah akhir
tergelincir ke silam

Dimana kau
Bagaimana kau
Saat sebuah awal
hadir memberi salam

Aku disini, tetap di sini
menanti dan mencarimu
Aku begini, tetap begini
mencinta dan merindu

Disini, aku begini
melukis hatimu
merangkai rinduku
di rentang akhir dan awal

Jkt, 31/12/2013

SYAIRA.....

Senin, 30 Desember 2013
Tiap kali syaira tersebut
kau terbangun
kau berpaling
kau tersenyum
kau mengangguk
kau menyapa

Syaira...!
Itukah namamu ?
kau tahu mengapa
nama itu melekat padamu ?

Ada syair kedua orang tuamu
ketika mereka tumpah di pembaringan
Ada syair Ilahi menjemput kelahiranmu
Ada syair menemani tumbuh kembangmu
Ada syair pada nafas kehidupanmu.

Semai bumi dengan syairmu
Tebarkan salam dengan syairmu
banggalah sebagai syaira

Jkt, 31/12/2013

DIMANA RUANG TANPA KORUPSI

Minggu, 29 Desember 2013

Media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu, dimanakah ruang tanpa korupsi ?


Dalam suatu peresmian proyek-proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Banjarmasin, Kalimantan Selatan (23/10/2013), Presiden SBY mengingatkan para pejabat daerah, baik gubernur, walikota, bupati dan pejabat lainnya agar tidak tergoda dengan korupsi yang kini telah banyak memakan korban. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, sejak tahun 2000 hingga tahun 2013, Restuardy Daud, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri mengungkap kan jumlah kepala daerah yang terjerat kasus hukum telah mencapai angka 309 orang dari total 524 kepala daerah.

Patut dipertanyakan kembali, benarkah dorongan perbuatan korupsi karena penghasilan penyelenggara negara tidak mencukupi kebutuhan hidupnya. Bukti yang yang terserak di pemberitaan media massa memperlihatkan bahwa mereka yang terlibat dalam kasus korupsi sebahagian besar adalah pejabat tinggi yang punya kewenangan besar, kaya raya dan bergaji tinggi. Kalau dulu korupsi banyak dilakukan oleh pejabat tinggi di pemerintahan pusat, namun kini dengan diberlakukannya otonomi daerah, kabupaten dan kota, pejabat daerah memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengelola anggaran. Maka tak heran jika perilaku korupsipun bergeser dan melebar hingga ke daerah-daerah.

Siapa yang akan mengawasi perilaku korupsi di lembaga eksekutif ? Masyarakat tentu saja mengharapkan wakil-wakil mereka di DPR akan bekerja maksimal untuk menjalankan fungsi pengawasannya. Namun apa yang kita saksikan ? wakil-wakil rakyat baik di pusat maupun di daerah juga tidak kebal terhadap godaan korupsi. Entah sudah berapa banyak anggota dewan yang mendekam di penjara karena korupsi dan semua itu tidak menimbulkan efek jera bagi pejabat-pejabat legislatif lainnya. Bahkan KPK mengeluarkan release bahwa DPR merupakan lembaga paling korup di Indonesia selama lima tahun berturut-turut. Atas tudingan tersebut, Ketua DPR, Marzuki Alie membela diri dengan mengatakan, ”Memang (kasus korupsi) yang terbanyak (ada di DPR) tetapi penyebabnya bukan DPR. Harus dicari dong penyebabnya, karena DPR itu kalau tidak bekerjasama dengan eksekutif tidak terjadi (korupsi).” (17/9). Sebagai suatu lembaga, kita tidak dapat memungkiri bahwa Parlemen kita senantiasa berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Buktinya, Indonesia bersama negara-negara Asia tenggara lainnya yang tergabung dalam The Southeast Asian Parliamentarians Against Corruption (SEAPAC sepakat menciptakan kawasan bebas korupsi. Kini tinggal menunggu tindaklanjutnya.

Jika kemudian pejabat-pejabat di eksekutif korup, pejabat-pejabat di legislatif korup, lalu dimana lagi ada ruang yang tidak korup? Harapan kita tentu bahwa lembaga yudikatif seperti kepolisian, kejaksaan dan peradilan di Indonesia dapat menegakkan hukum dan memberi sanksi pada pelaku-pelaku pencurian uang negara, menegakkan hukum untuk mencegah semakin merajalelanya praktek korupsi. Tetapi apa yang kemudian kita temukan, ternyata lembaga yudikatif jauh lebih korup. Polisi korup dalam menyidik kasus, jaksa korup dalam menuntut koruptor, dan hakim bermain-main dengan koruptor.
lihatlah bagaimana media massa sesak oleh pemberitaan kasus-kasus korupsi yang terjadi di semua lini. Mulai dari pejabat instansi pemerintah (eksekutif), parlemen (legislatif), hingga lembaga penegakan hukum (yudikatif). Lalu, dimanakah ruang tanpa korupsi ?

betulkah sudah tak ada lagi ruang tanpa virus korupsi? Korupsi bukanlah sesuatu yang berada secara niscaya pada ruang. Korupsi adalah penyakit kronis yang menulari semua ruang. Yang tampak nyata adalah, bahwa hampir semua ruang tak lagi ada anti virus untuk menangkal korupsi. Bahkan korupsi bukan lagi sekedar sebagai penyakit yang menyebar ke tiap-tiap ruang, tetapi ruang-ruanglah yang ternyata ikut mengundang hadirnya korupsi. Betapa kuatnya pengaruh godaan korupsi, dan godaan itu selalu mampu menyesuaikan diri dengan kondisi ruang yang akan dia masuki. Yang miskin tergoda yang kayapun tergoda. Staf tergoda, atasanpun tergoda. Anak buah tergoda, pimpinanpun tergoda. Bahkan mereka yang bertugas mulia untuk menjaga godaan, justru ikut terjerumus dalam godaan.

Masih adakah ruang tanpa korupsi ? Satu-satunya ruang yang tersisa hanyalah hati nurani yang dibentengi nilai-nilai keimanan untuk tetap menjaga amanah. Masalahnya hati nuranipun telah banyak yang terusir dari diri manusia. Untuk itu marilah bersama-sama kita membangun kembali budaya dasar kita yang senantiasa menjaga amanah yang telah diberikan. Setiap pejabat publik harus diingatkan bahwa jabatan dan kekuasaan itu adalah amanah dan karena itu harus dijaga sebaik-baiknya. Mari kita mendukung tekad untuk memberantas korupsi dengan menanamkan nlai-nilai budaya anti korupsi, melalui program Pendidikan Budaya Anti Korupsi di semua lini. 

Telah Dimuat di Skh. Jurnal Nasional, Sabtu, 28/12/2013


DOA DI ANGKA TERSISA

Sabtu, 28 Desember 2013


Dalam waktu
Begitu banyak laku berlalu
Sebagian bermanfaat
Sebagian sia-sia

Almanak semakin ringan
Angka-angkanya telah tercecer
Sebagian tercatat
Sebagian tak berjejak

Almanak semakin ringan
Hanya menyisakan beberapa angka
Berharap angka-angka itu
Jatuh di atas sajadah.

Jakarta, 29/12/2013

SEPENGGAL CERITERA KETIKA TSUNAMI MENGHANTAM ACEH

Kamis, 26 Desember 2013

Sembilan tahun tulisan ini kuendapkan
Tak ada niat sekalipun untuk mempublikasikannya,
karena setiap alinea tulisan ini kulalui dengan airmata


Dalam acara HUT Kodam Iskandar Muda yang ke-41, Selasa 21 Desember 2004 bertempat di Pantai Pelabuhan Uleu Leue, Pangdam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya di hadapan para sesepuh daerah bernostalgia tentang kebesaran tokoh-tokoh pejuang Aceh masa lalu yang gigih melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan. Di bagian akhir sambutannya, Pangdam mengajak seluruh lapisan masyarakat Aceh untuk bahu membahu bersama aparat menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di akhir acara, dengan bangga didemonstrasikan beberapa Kapal Motor Cepat (KMC) yang diperuntukkan bagi perlindungan dan pengamanan wilayah perairan Aceh dari aksi perompak dan penyelundupan yang selama ini terjadi. Di atas laut yang biru dan tenang, beberapa KMC yang dikemudikan oleh pasukan khusus, SEA READERS bergerak cepat seolah memburu mangsa, meliuk-meliuk memecah gelombang meninggalkan debur putih menghindari serangan musuh. Lalu dengan sangat gesitnya dapat membelok tajam ke belakang dan berbalik mengejar musuh dengan kecepatan yang luar biasa. Para awak di atas KMC terlihat begitu perkasa mempertontonkan kekuatannya di atas lautan yang tenang, sekaligus mempertontonkan bagaimana kekuatan teknologi manusia menaklukkan keperkasaan hamparan laut yang membentang.

Lima hari kemudian, tepatnya 26 Desember 2004, penguasa sejati alam semesta seolah member jawaban langsung bahwa di atas segala, kepandaian dan teknologi super canggih yang dikembangkan manusia, pada akhirnya mereak harus menyadari bahwa manusia hanyalah kerikil-kerikil kecil diantara keluasan alam raya yang diciptakan oleh Allah. Aku bertanya, kemana keperkasaan Kapal Motor Cepat itu ketika gelombang tsunami datang dan menyapu rata semua yang ada di pantai  dan daratan Aceh?

Minggu, 26 Desmber, sehari setelah umat Kristiani merayakan Natal, menjadi minggu bencana, minggu duka nestapa, dan minggu peringatan bagi yang tersisa. Hari itu langit begitu cerah, pagi begitu indah. Seperti biasanya pukul 7.00 WIB di Lapangan Blang Padang masyarakat Aceh berkumpul di lapangan untuk berlari-lari kecil. Anak-anak bermain dengan ceria di atas rerumputan, sementara orang tua atau kakak-kakak mereka tengah melakukan senam Jantung Sehat yang dilanjutkan dengan senam aerobik. Di lapangan yang sama pejabat daerah melepas peserta Lomba Lari 10 K disaksikan oleh masyarakat. Setelahnya bebetapa orang masih asyik di lapangan. Ada yang bermain bola, main mobil-mobilan yang digerakkan dengan remote control ditangan, dan sekelompok orang yang menunggu peserta lomba lari 10 K memasuki garus finish, menikmati berbagai macam jajanan.

Gempa di Pagi Hari
Jam 7.40 WIB, saat aku menikmati sarapan pagi di mess, searah dengan Paviliun Seulawah dan persis berada di depan gerbang lapangan Blang Padang, berhadapan dengan rumah dinas Kapolda Aceh, Bahrumsyah sebagai pelaksana Penguasa Darurat Sipil Daerah Provinsi NAD, tiba-tiba gempa maha dahsyat menghentak dan menggoyang serta menggeser meja makanku. Dispenser jatuh berguling-guling membasahi lantai. Aku segera berlari ke halaman belakang memegang batang pohon pisang, sementara teman yang lain berlari keluar rumah. Aku menunggu sampai gempa berhenti, tetapi gempa berlangsung begitu lama. Aku terus memandangi rumah yang ikut bergoyang seperti goyangan perahu nelayan di pantai.

Ketika gempa mulai mereda aku masuk kembali ke rumah. Menegakkan despencer, menaikkan gallon aqua, pengepel lantai, lalu melanjutkan sarapan yang tertunda. Baru saja dua suapan masuk ke tenggorkan, aku kaget melihat lampu gantung besar di atas meja makan berputar kencang seperti mainan pesawat yang biasa dilekatkan di atas plafon sebagai teman bermain bayi. Rupanya efek gempa yang tadi masih menyisakan goyangan pada lampu gantung. Aku segera melompat dan berlari ke luar halaman rumah. Di jalanan orang ramai saling berceritera dan menunjuk ke satu titik yang sama. Aku melihat hotel kebanggaan masyarakat Aceh, Hotel Kuala Tripa ambruk satu lantai ke bawah dan posisinya miring. Ternyata gempa telah menimbulkan kerusakan yang luar biasa.
 
Untuk melihat situasi pasca gempa, kami berlima berangkat mengitari kota dengan mobil kijang kapsul. Toko swalayan Pantee Peerak yang berlantai tiga ambruk rata dengan tanah, Menara Mesjid Baiturrahman retak di bagian atasnya, kantor PLN rusak parah, jembatan-jembatan beton putus dan yang lain turun sekitar lima sentimeter, bangunan-bangunan baru yang berlantai tiga dan empat terbenam ke dalam tanah dan lantai bagian atasnya rata dengan tanah seolah terbentuk lapangan tennis baru di sana. Bangunan lebih banyak yang terbenam dibandingkan yang runtuh. Tiang-tiang listrik beton rubuh dan melintang di jalan-jalan raya. Kerusakan akibat gempa dengan kekuatan 9,1 skala richter ini menjadi tontonan tersendiri bagi masyarakat. Setiap orang keluar rumah dan saling berceritera. Setiap orang merasa apa yang mereka rasakan lebih hebat dan lebih dahsat dari yang lain.


Gelombang Tsunami
Setelah kurang lebih satu jam berputar-putar dalam Kota Banda Aceh melihat situasi dan keadaan yang terjadi untuk melengkapi laporan situasi pasca gempa ke Jakarta. Kami telah berusaha beberapa kali menghubungi Jakarta, tetapi tetap tidak mendapatkan signal. Rupanya gempa telah menyebabkan seluruh aliran listrik  padam dan saluran telepon selularpun terputus. Selama itu gempa susulan terus saja berlangsung setiap 5 atau 10 menit berselang. Setelah tiba di Simpang Empat kami melihat orang-orang panic berlarian ke arah kami sambil berteriak mengingatkan yang lain, “air laut…..air…laut…air lautttt”

Kami tidak tahu apa arti teriakan itu. Tapi kami ikut terbawa panik dan membelokkan mobil ke arah Asrama Kodim. Mobil tidak bisa bergerak leluasa karena jalan raya telah dipenuhi kendaraan bermotor dan manusia yang berlari dan berjatuh-jatuhan. Sedikit saja kami memaksa untuk maju dapat menabrak dan melindas manusia. Ibu-ibu yang menggendong anaknya berlari di sisi jalan, sedangkan laki-laki dan perempuan yang lain berlari saling mendahului mengisi cela yang ada sambil menyeret anak atau adiknya, mengajak berlari lebih cepat.

Saya baru sadar apa yang terjadi ketika membalikkan badan dan melihat lewat kaca belakang mobil. Kendaraan-kendaraan lain yang berusaha menyelamatkan diri sudah tertahan dan tak bisa bergerak lagi di belakang kami. Di Belakang, di kejauahan kami mendengar suara gemuruh diantara suara teriakan dan jeritan manusia. Tadinya saya berpikir itu adalah suara desingan pesawat yang melintas di atas lapangan Blang Padang. Ternyata itu adalah suara gemuruh gelombang tsunami yang bergerak menggulung begitu cepat, menyapu dan menghantam apa saja yang dilaluinya.

Sejenak aku terpana, takjub melihat gerakan gelombang air yang kehitam-hitaman bergulung-gulung, bergerak maju dengan kecepatan tinggi. Sungguh suatu peristiwa alam yang maha dahsat. Hanya dalam bilangan detik, bilangan menit air sudah mencapai ketinggian atap rumah. Aku bayangkan lautan mengosongkan dirinya dan tumpah ruah ke daratan. Pada air yang mengalir ke daratan tampak rumah-rumah penduduk terapung terbawa arus. Kayu-kayu, seng, papan, dan balok-balok besar bergerak dan menghantam apa saja yang ada di hadapannya. Mobil-mobil mewah juga terapung sebelum menghantam pohon atau rumah sebelum tenggelam. Diantara tumpukan sampah yang terbawa arus tsunami, tangan-tangan manusia menggelepar tanpa daya. Tak ada lagi arti kecepatan kendaraan untuk menyelamatkan diri, tak ada lagi arti ketangguhan otot manusia untuk merenang dan menyelamatkan diri dari gulungan air. Satu-satu yang mengendalikan keadaan saat itu hanyalah gelombang air.

Rasa kagum sesaat menjelma menjadi rasa takut ketika aku melihat gulungan arus air semakin mendekat. Sempat sesaat melihat bagaimana manusia terjungkal ke atas di dorong oleh gulungan air, dan tumpukan sampah yang sudah bercampur dengan mayat manusia. Aku sendiri sudah memasrakan diri ketika gulungan air tinggal beberapa meter lagi. Darah di tubuhkan seakan membeku, denyut jantung terasa terhenti. Dalam ketakberdayaan yang paling prima itulah aku memejamkan mata, pasrah menyerahkan diri seluruhnya kepada Allah Azza Wa Jalla, seraya berteriak memohon, “LAA KHAULA WALAKUWWATU ILLAH BILLAH.”

Subhanallah, Maha Suci Allah. Setelah beberapa detik memasrahkan diri dan merasa seperti tidak terjadi apa-apa, aku lalu membuka kedua tangan yang menutup mataku. Aku melihat air di belakang mobil jatuh tumpah ke dalam sungai. Rupanya kendaraan kami telah berada di seberang sungai setelah melintasi jembatan besar. Puncak bencana tsunami rupanya telah berlalu, tetapi bencana dan kerugian yang diakibatkan baru mulai dihitung. Aceh menangis, Indonesia dan dunia meratap.

Mayat Bergelimpangan
Setelah jalan agak longgar, kami menuju ke arah ketinggian, Kampung Neusu mengantisipasi kalau-kalau gelombang tsunami datang lagi. Di Jalan Teuku Umar mobil kami tertahan oleh tiang listrik yang roboh. Setelah membeli sedikit roti dan aqua di satu-satunya took yang terbuka, kami putuskan untuk menengok keadaan mess. Saat kami tinggalkan mess masih ada dua orang cleaning servis, satu tukang kebun dan tiga juru masak. Kami tentu saja belum tahu bagaimana nasib mereka. Jangan-jangan ada diantara mereka yang tersapu gelombang. Tapi kami sungguh mengharapkan mereka selamat semua.

Kami kembali ke Simpang Empat karena hanya sampai disitulah kendaraan bisa merapat. Aku dan dua orang lainnya turun dari mobil dan berjalan menuju Lapangan Blang Padang, tempat mess kami. Dari tugu di Simpang Empat mayat-mayat sudah berserakan dengan pakaian yang terkoyak-koyak nyaris telanjang. Beberapa orang menyingkirkan mayat ke trotoar agar dapat melintasi jalan. Mobil. Motor, dan alat-alat elektronik lainnya tergeletak tanpa harga dan tidak seorangpun tertarik untuk mengambilnya. Harta benda saat ini sungguh tidak punya nilai prioritas untuk dimiliki. Sepanjang jalan yang kami lalui menuju mess hanya tangisan dan tangisan yang terdengar, dan hanya ada mayat dan mayat yang ada diantara ribuan kubik sampah bangunan yang dihanyutkan gelombang.


Di depan rumah dinas Kapolda Aceh aku berdiri memandang ke mess. Di atas atap banyak orang berlindung. Kupikir mereka adalah anggotaku yang menyelamatkan diri naik kea tap genteng. Aku bimbang, ragu dan sangsi untuk meneruskan langkah ke arah mess, apalagi setelah melihat rumah dinas Kapolda porak poranda dipenuhi sampah. Tetapi keinginan untuk mengetahui secara pasti nasib anggota-anggotaku, kubulatkan keberanian menapaki sampah-sampah bangunan, lumpur dan air yang masih setinggi pinggang.

Untuk setiap langkah, aku membutuhkan waktu beberapa menit. Aku harus pastikan bahwa kakiku sudah menapak dengan benar sebelum melangkah. Kalau tidak, paku-paku akan menikam kakiku, seng seng akan mengiris betisku, dan lebih parah aku akan terjatuh dengan kemungkinan luka yang lebih parah. Aku tidak perdulikan lagi mayat-mayat yang aku langkahi atau jerit orang-orang meminta tolong di kejauhan. Di kedalaman air aku kadang merasa menginjak-injak kaki manusia yang terbenam lumpur.  Aku sempat tersentak kaget ketika menginjak ujung papan, dan dari ujung lainnya menyembul mayat seorang gadis kecil. Aku kaget dan melepaskan injakan kakiku sehingga gadis kecil itu tenggelam kembali. Saat itu rasa kemanusiaanku benar-benar sirna, yang ada di benakku hanya bagaimana aku bisa sampai ke mess dengan selamat. Aku mohon ampunanMu Ya Allah atas semua sikapmu saat itu. Sering terbayang kemungkinan bahwa gadis kecil itu masih, dan itu berarti aku yang membunuhnya.

Untuk menempuh jarak yang hanya sepanjang lapangan sepakbola, aku membutuhkan waktu satu setengah jam. Ya sebuah perjalanan pendek yang melelahkan. Di pintu gerbang kami temui dua mayat. Slah seorang diantaranya adalah wanita dengan cincing emas yang masih melekat di jarinya. Aku masuk lewat garasi ke ruang tengah yang porak poranda. Di dalam mess ada dua mayat yang terapung-apung dan mungkin masih banyak mayat di ruangan lain. Kemudian aku naik ke lantai dua. Di atas ada lebih kurang 20 orang, laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Tak ada satupun yang aku kenal. “Kemana para anggotaku yang enam orang itu, “ tanyaku dalam hati.
 
Kepada orang-orang itu aku jelaskan siapa diriku. Dari ceritera mereka aku mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang terhempas gelombang dan terpaksa menyelamatkan diri ke lantai dua mess kami. Bahkan ketika air sedang meninggi beberapa diantara mereka sempat naik ke atas atap. Mereka meminta maaf telah memakai pakaian, seprei, sarung, sajadah, taplak meja dan apa saja yang bisa menutupi tubuh mereka.

Aku masuk ke kamar dan mendapati seluruh isi lemari telah habis terkuras termasuk pakaian-pakaian yang digantung. Aku sangat marah dan bergegas keluar menjumpai mereka. tetapi ketika melihat wajah-wajah mereka yang penuh kesedihan dan penderitaan, aku langsung membayangkan bahwa rumah-rumah mereka telah habis dan mungkin kehilangan beberapa anggota keluarganya. Kemarahanku kontan padam dan memaklumkan cara mereka mengambil pakaianku. Kepada seorang ibu yang memakai celana panjang coklat (seragam kantor) yang tergantung di belakang pintu, aku Tanya dengan hati-hati. “Bu..! Di ceklana yang ibu pakai ada dompet saya.”

“Maaf telah memakai celana Bapak. Tapi demi Allah, di kantongnya tak ada dompet atau apapun, pak,” katanya menjelaskan sambil membalikkan badan menunjukkan pantatnya.

Saya tidak tega untuk mengusutnya. Saya berpikir tentu ada diantara mereka yang membutuhkan dompet saya. Mencari tahu siapa mereka akan semakin menambah beban penderitaan yang telah mereka alami. Aku ikhlaskan segalanya. Toch, barang-barang itu dapat aku beli kembali kalau tiba di Jakarta, pikirku. Masalahnya aku sendiri tidak punya pakaian kecuali baju kaos dan celana pendek, karena celana training yang aku pakai tadi sudah kulucuti karena basah dan penuh lumpur.

rasanya sulit untuk meninggalkan rumah jika membayangkan harus melewati tumpukan sampah dan mayat. Kalau tadi aku bisa mencapai mess, itu karena keberanian ekstra dan merasa tanggung sudah berada di tengah perjalanan. Aku hanya bisa duduk di beranda atas dan sekali-sekali berlari ke dalam jika terjadi gempa susulan. Aku bimbang. Tetap tinggal di mess atau turun kembali melewati jalan yang sama.

Senja makin gelap dan rasa takut mulai datang. Apakah mungkin aku punya keberanian untuk menghabiskan malam di mess dalam keadaan gelap gulita dan di bawahnya tergeletak mayat-mayat. Orang-orang yang sama masih di mess karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana caranya jkeluar dari rumah melewati gunungan sampah yang sulit dilalui.

Sore menjelang malam, akhirnya kuputuskan meninggalkan mess. Beberapa wanita minta ikut serta hanya sekedar dapat keluar dari tumpukan sampah. Tapi bagaimana mungkin, untuk turun dari rumah saja sudah sulit. Kami sendiri dan beberapa lelaki lainnya harus meniti bubungan, merayap turun ke pagar tembok untuk kemudioan melompat diantara tumpukan sampah. sebelum meninggalkan mess, mereka yang tinggal memesan agar dibawakan makanan,  minuman dan obat-obatan. Aku mengiyakan saja, padahal aku yakin tidak mungkin kembali ke mess ini apalagi untuk membawakan mereka makanan.

Dengan susah payah aku berhasil kembali ke Simpang Empat, tetapi mobil dan teman-teman sudah tidak ada di tempat. Aku berpikir mungkin mereka lari kea rah Ketapang ketika mendengar isu bahwa air laut naik lagi. Aku menunggu di Café Juju milik Primkopad dan berharap mereka akan kembali menjemputku. Pemilik café memberi kami makan gratis berupa indomie rebus, sementara pemilik café berdiri di luar memanggil orang-orang lain untuk masuk makan secara gratis. Aku salut dan hormat pada Café Juju yang sangat memahami keadaan masyarakat Banda Aceh pada saat bencana yang demikian. Padahal kalau Café Juju mau menjual makanannya dengan harga berapapun, orang akan tetap membelinya. Apalagi saat itu tidak ada satu warungpun yang buka.

Hari mulai gelap. Gerimis datang. Aku tinggal Café Juju dan berjalan menuju Meusu. Rencananya akan terus naik ke Ketapang terus ke Matai, tempat dimana orang-orang mengungsikan diri. tetapi aku sudah tidak kuat berjalan dan hujan mulai deras. Terpaksa aku berteduh di salah satu emperan ruko bersama-sama pemilik ruko yang ternyata takut tinggal di dalam rukonya sendiri, karena gempa keras susulan masih saja berlangsung.  Hari itu tidak kurang dari 23 kali gem pa. Setiap kali kami tertidur, kembali terjaga oleh gempa. dari malam hingga pagi hari, kami hanya merasakan tidur-tidur ayam dengan duduk bersandar pada pintu ruko.

Hidup menggelandang
Senin pagi, 27 Desember 2004, setelah cuci muka dengan air aqua dan meneguk sisanya, saya berjalan kaki menuju lapangan Blang Padang. Saya berharap di sana akan bertemu teman-teman karena yakin mereka akan terus mencari. Mayat-mayat masih berserakan di tempatnya, bahkan di trotoar jalan mayat yang dijejer terus bertambah, menunggu keluarga korban mencari dan mengambilnya untuk dikubur secara layak. Bau mayat tak lagi sekedar bau yang menyengat hidung, tetapi rasanya sudah sampai menyesak ke dada.

Di depan rumah dinas Kapolda seorang ibu muda berjalan mendekat dan menemui saya. “Itu rumah Bapak, ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah mess dua tingkat di seberang lapangan.

“Iya benar,’ jawabku.

“Anak saya jam 4 subuh tadi telah meninggal. Dia masih di lantai atas mess bapak. Bapak bisa tolong gak membawa anak saya itu kemari?” pintanya penuh harap dan mengiba.

Saya memang ada rencana ke mess, tetapi mendengar di atas rumah ada mayat, niat itu saya urungkan. jangankan membawa mayat melintasi gundukan sampah tsunami, membawa diri sayapun sudah merupakan pertarungan hidup mati. “Ibu cari saja aparat atau relawan untuk membawa anak ibu turun ke bawah,” kataku menyarankan. 

Ia bergegas pergi berharap masih ada orang lain yang bisa menolongnya, tetapi kemudian ia berbalik lagi. Aku kira ia akan menyatakan kekecewaannya padaku. “tolong ikhlaskan pakaian bapak yang saya pakai ini,” pintanya.

Seketika saya tidak dapat menahan airmata. Ternyata dibalik kesedihan yang menderanya, ia masih memiliki harga diri untuk meminta secara ikhlas satu-satunya kain yang membungkus tubuhnya. “Ibu lebih membutuhkannya, dan saya mohon maaf tidak punya kemampuan untuk menyeberang ke mess menjemput almarhum anak ibu,” kataku.

Tiga hari hidup sebagai gelandangan, tidur di emperan took, makan seadanya dipinggiran jalan, tidak merasakan mandi, pakaian kumal satu-satunya berhari-hari tidak lagi kurasakan sebagai siksaan, karena beribu-ribu saudaraku mungkin lebih menderita kehilangan rumah, harta benda, mata pencaharian, dan sanak keluarganya. Aku berusaha tegar menikmati apa saja yang dapat masuk ke perutku untuk bertahan hidup. Aku tetap bisa nyaman dengan celana pendek tanpa daleman dan kaos di badan selama 3 hari. Untuk mendapatkan sebungkus mie instan kering saja kami harus rela antri di took-toko yang pintu besinya hanya dibuka sekitar 20 cm. Orang-orang yang masih punya bersediaan duit belanja dalam partai besar karena khawatir Banda Aceh akan mengalami krisis pangan. Toko-toko tidak berani membuka pintunya lebar-lebar karena takut dijarah, dan memang aku lihat sendiri beberapa aparat datang mengambil beberapa kotak mie instan tanpa membayar. Dalam suatu kesempatan aku ikut menumpang truk ke Matai, tempat pengungsian untuk mencari teman-teman atau anggota yang mungkin selamat. Di sana aku menyaksikan aparat begitu sibuk membagi-bagikan mie instan kepada para pengungsi. Mohon maaf, aku keliru menyikapi aparat. Rupanya mereka mengambil mie instan dari toko-toko untuk dibagikan kepada pengungsi.

Satu-satunya yang terus mengganggu pikiranku, keluarga di Jakarta belum tahu bagaimana nasibku di Banda Aceh. Kantor hanya dapat memberi kabar bahwa aku selamat tanpa bukti-bukti lain karena aku memang terlepas dari rombongan. Telepon genggamku sendiri kutitipkan pada teman sewaktu melangkah masuk ke dalam mess. Itulah kebodohanku sehingga aku tidak dapat mengetahui keberadaan teman teman lainnya.  Kepada kru televisi Metro TV dan TV7 pernah kuminta untuk meng-shot-ku agak lama berharap ada salah satu anggota keluarga, teman kantor, kenalan ataupun handai taulan yang menonton di Jakarta dapat mengetahui bahwa aku selamat dari musibah.

Suatu kali ada seorang pemuda yang sedang memainkan handphonenya, entah sedang SMS atau mencari-cari nomor sambungan. Aku dekati dan duduk di sampingnya bersandar pada pohon. Aku pura-pura ingin istirahat dan tidur di bawah pohon dengan harapan dapat mengggugah rasa ibanya. Tak lama kemudian ia melirik padaku  dan aku tersenyum. “Ini sudah hari ketiga,” kataku membuka pembicaraan. “Keluarga dan anak-anakku yang masih kecil belum mengetahui keberadaanku. Kalau boleh aku pinjam HP-nya untuk satu detik saja menghubungi mereka,” pintaku penuh harap. Kalaupun dia tak memberi aku tetap akan sangat maklum. Bukan soalnya besaran pulsanya, tetapi ia tentu juga sangat membutuhkan handphonenya untuk menghubungi keluarga atau lainnya, karena sangat sulit menjaga HP tetap on di saat listrik belum berfungsi.

Ia melihatku sejenak lalu menyodorkan HP-nya. Setelah telepon terhubung, “Ibu..! Ini Ayah. Ayah selamat, kabarkan pada semua keluarga,” ucapku dengan nada cepat dan telepon segera kututup tanpa menunggu jawaban. Entah berapa detik yang terpakai, mungkin lebih dari satu detik tetapi setidaknya ia tahu bahwa aku mempergunakan handphonenya sesingkat mungkin. Aku kembalikan handphone pemuda itu dengan ucapan terimakasih berulang-ulang sambil menundukkan badanku sebagai rasa hotrmat padanya.

Tak lama kemudian handphonenya berbunyi. “Ini mungkin dari keluarga, bapak,” katanya menyerahkan handphonenya padaku. Tetapi aku menolak menerimanya dengan sangat mempertimbangkan kebutuhannya kemudian, karena kalau HP-nya sampai lowbath, iapun tak dapat mempergunakannya lagi. Aku bisa membayangkan bagaimana terkejutnya istriku menerima kabar dariku dan ia tidak sempat berkata-kata apa-apa, entah sampai kapan. Aku hanya berharap istri, anak dan keluargaku bisa sedikit tenang mengetahui keadaanku.

Hari-Hari di Posko Satkorlak
Kabar tentang kehilanganku telah sampai ke kantor pusat. Kepada tim di Banda Aceh diperintahkan untuk memprioritaskan pencarian diriku. Selasa sore, 28 Desember 2004, Ardiansyah, Intel Polda Aceh yang ditugaskan mengawal tim menemukanku setelah berkeliling cukup lama. Aku di bawa ke Pendopo Gubernur dimana semua teman-teman berkumpul. Saat itu baru aku tahu bahwa Pendopo Gubernur telah dijadikan Posko Satkorlak. 

Di Pendopo kami menempati kamar cleaning servis. Enam orang mensesaki sebuah kamar yang bnerukuran kecil, tapi bagiku ini adalah kebahagian setelah tiga hari tidur di emperan toko. Kesempatan pertama aku pergunakan mandi sepuas-puasnya. Pakaian yang telah tiga hari di badan aku buang, walaupun teman menyarankan untuk menyimpannya sebagai kenang-kenangan. Aku tidak mau menyimpan kesan-kesan yang menyedihkan dalam hidupku. Setelah mandi aku dipinjamkan training dan baju kaos temanku. Sebenarnya ada pakaian baru yang dikirim dari Jakarta tetapi tidak satupun yang cocok dengan badanku. Pas di badan sempit di perut. Begitupun celana, pas panjangnya sempit lingkar perutnya. Hanya sepatu yang cocok dengan ukuran kakiku, tetapi ini adalah sepatu boat yang dipersiapkan untuk medan menapaki tumpukan sampah tsunami.

Kami sholat magrib berjamaah di Mesjid Pendopo. Imam yang memimpin sholat bacaannya begitu menyayat hati, hampir semua jamaah sholat sambil terisak-isak menahan tangis. Ya…dalam kedukaan ini hanya kepada Allah-lah kami bergantung dan berserah diri. Setelah sholat kami langsung menyerbu dapur umum menikmati nasi dan indomie rebus. Hanya itu yang tersedia, itupun jika kita terlambat tidak akan kebagian. Sebanyak apapun yang dimasak selalu saja tak cukup sehingga relawan juru masak harus memasak berulang-ulang. Untuk itu di kamar sempit kami selalu tersedia makanan ringan seperti biskuit, kopi sachet dan aqua.

Hari keempat, mayat-mayat yang berjejer di trotoar jalan mulai diangkut. Mereka diangkut dengan memakai dam truck yang biasa dipakai buat mengangkut pasir dan bahan bangunan. Mereka dinaikkan ke atas truk seperti melemparkan karung-karung gula lalu dibawa ke pemakaman massal. Dalam liang besar mayat-mayat itu diturunkan seperti menumpahkan limbah bangunan. Di tempat pemakaman massal ini masih banyak penduduk yang berkumpul, berharap masih ada mayat yang mereka kenali untuk mereka ambil dan makamkan secara layak. Astagfirulllah, dalam situasi demikian kita memang terkesan tidak manusiawi lagi memperlakukan mayat-mayat yang membusuk itu. Semoga Allah mengampuni hambaNya.


Di Posko Satkorlak setiap malam diadakan rapat yang dipimpin oleh Wakil Gubernur, Mustafa Abubakar yang sekaligus memberikan press release kepada para wartawan media cetak dan elektronik. Sampai hari kelima rapat evaluasi masih berkisar soal bagaimana dan bagaimana. Seorang peserta rapat begitu geram dan jengkel, “dari kemarin bicara cara….cara….dan cara lagi. Cara saja tidak bisa diputuskan, kapan mau action,” gerutunya sambil keluar ruangan. Ia segera menelpon ke Jakarta melaporkan situasi pasca tsunami dan menyarankan agar pemerintah pusat mengambil alih penanganan Aceh psca tsunami.

Stasiun televisi nasional dan internasional memasang jaringan transmisinya di halaman pendopo. Metro TV dan RCTI memasang televisi besar agar masyarakat dapat menonton dan mengikuti perkembangan penangan pasca tsunami. Berbagai komentar pedas bermunculan dari berbagai tokoh dan pengamat di Jakarta. Mereka yang menonton menjadi kesal juga. “Komentar melulu. suruh mereka ke Banda aceh melihat langsung keadaan, kalau perlu suruh mereka mengevakuasi mayat-mayat,” celoteh beberapa orang.

Saya pribadi tidak mempersalahkan anggapan para pengamat bahwa penanganan evakuasi korban terkesan lamban. Tetapi kalau mempersalahkan pemerintah daerah dan aparatnya, itu artinya mereka tidak mengerti situasi yang terjadi pasca tsunami. Tenaga TNI, Polda, PNS, generasi muda tidak ada yang bisa digerakkan. Kalau mereka dipaksa untuk melakukan evakuasi korban atau menangani hal-hal yang berkaitan dengan bencana gelombang tsunami, justru negara yang dapat dituduh tidak berprikemanusian. Bagaimana tidak. Gelombang tsunami tidak hanya menghantam pemukiman penduduk tetapi juga menghabisi asrama TNI dan Polri. Praktis tenaga kepolisian lumpuh, karena mereka adalah bagian dari korban. Kalaupun ada yang selamat, mereka masih sibuk mencari anak istri dan sanak keluarganya. Satu hal yang pasti aparatpun sedang mengalami defresi berat dan traumatis. Sebenarnya dengan kondisi kelambanan tersebut, nyata bahwa masyarakat sangat membutuhkan bantuan tenaga aparat dari luar Aceh dalam menyelesaikan permasalahan, bukan para pengamat dan komentator yang hanya pandai berbicara tetapi tidak memberikan solusi.

Saya sendiri telah diperintahkan untuk segera kembali ke Jakarta karena alas an menghindari traumatis yang makin dalam pada diri kami dan keluarga. Kamis, 30 desember 2004, jam. 17.30 kami digabungkan dengan para pengungsi lain menumpang kapal Hercules milik Angkatan Udara Australia menuju Medan. Di medan aku membeli oleh-oleh sebanyak-banyaknya. Aku tidak ingin menjumpai anak istriku dalam suasana yang tragis. Padatnya penerbangan ke Medan dan Banda Aceh menyebabkan banyak pesawat yang tertunda keberangkatannya, termasuk Star Air yang aku tumpangi. Sedianya berangkat jam 18.30 ditunda berkali-kali dan baru berangkat pada hari Jumat pukul 00.30 dini hari. Ini tentu saja ada hikmahnya. Dengan demikian ketibaanku di rumah Jam 04.00 WIB tidak diperhatikan oleh tetanga-tetanggaku. Istri menjemput dengan senyum dan tangisan, mencium kedua pipiku dan mengucapkan, “Syukurlah Alhamdulillah,” lalu kemudian ia tersungkur dan sujud syukur. “Kok bawa oleh-oleh lagi?” tanyanya sambil membawa kardus itu ke dalam.

Anak-anak segera terbangun menyambut ayahnya. Aku berusaha terus tersenyum padanya untuk menunjukkan pada anak-anak bahwa tidak ada kejadian yang luar biasa menimpah ayahnya. Seperti biasa, ibu dan anak-anaknya segera membuka kardus yang berisi Bika Ambon, kopi khas Medan dan Donat kesukaannya yang biasa aku beli di bandara. Ketika ibunya bermaksud membuka koper mengeluarkan pakaian kotor untuk dicuci, aku mencegahnya, “di kamar saja,” kataku.

Ketika masuk ke dalam kamar dan membuka kopernya, ia kaget mendapatkan koper yang kosong. Ia memandangku penuh Tanya.

“Semua sudah habis diambil orang,” kataku singkat.

Bersambung .....