Mengurai Langit
Banyak rahasia yang tersembunyi di Langit. Untuk mengenalnya, dekatkan diri pada Illahi agar tirai ilmu terurai.
Revitalisasi Kawasan Taman Ismail Marzuki
Diposting oleh
TIM Di tangan Anies Baswedan
di
08.19
Rabu, 24 Juli 2019
Subhanalloh!! Video Langka Buya Hamka
Diposting oleh
TIM Di tangan Anies Baswedan
di
08.32
Sabtu, 26 Agustus 2017
TADDETTE MEMANGGILKU
Diposting oleh
TIM Di tangan Anies Baswedan
di
21.19
Senin, 14 Agustus 2017
Saya,
sama seperti rata-rata kalian semua, punya kampung halaman dimana kita
menghabiskan waktu kecil dengan kesederhanaan, keleluasaan dan kegembiraan
bersama-sama di halaman rumah dengan telanjang kaki. Menjadikan semua hal yang
tumbuh di sekitar halaman sebagai obyek mainan. Memanjat pohon mangga dan
memakannya sambil duduk di ranting-ranting besar, menunggui jatuhnya buah
durian dan mencarinya di semak-semak dengan mendengus baunya lewat bantuan
angin yang semilir. Atau mencuri buah tarra tetangga baik dengan memanjat di
malam hari. Jika kami berkumpul tak pernah ada kesulitan soal makanan. Buah
pisang yang matang atau setengah matang dapat kita olah dengan menggoreng atau
membakarnya. Dusun Taddette adalah kampung halaman yang tidak pernah hilang
dalam pikiran dan kenangan.
Suasana
dan kegembiraan seperti itu tak lagi bisa aku jumpai ketika kami sekeluarga
harus hijrah ke Jakarta memulai kehidupan yang baru, dari seorang petani
menjadi pegawai pemerintahan. Di kota besar kami merasa memiliki gengsi yang
lebih tinggi daripada orang-orang di kampung. Orang-orang di kampungpun
menganggap kami sekeluarga adalah keluarga yang sukses di rantau. Maklumlah
banyak juga family-famili kami yang merantau sekian puluh tahun kemudian kembali
ke kampung halaman memenuhi panggilan tanah kelahirannya. Taddette adalah
kampung halaman yang selalu membuka diri pada warganya yang kurang berhasil di
rantau. Tanah Taddette begitu subur. Apapun yang ditanam akan tumbuh dan
menghasilkan makanan. Sesungguhnya masyarakat Taddette hidup nyaman dan
berkecukupan dengan hamparan tanah yang diwariskan oleh leluhur-leluhurnya.
Namun demikian masyarakat tetap saja cenderung untuk keluar kampung dan
bermigrasi ke kota-kota besar.
Mengapa
demikian ? Merujuk arti “kampung” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kampung diartikan sebagai desa, dusun, rumah yang sederhana, masyarakat yang
kolot, kesatuan administrasi yang paling kecil, manusia yang tidak punya ruang
untuk berkembang dan maju. Melihat arti kampung, setiap orang ingin terlepas
dari predikat sebagai orang kampung. Inilah pendorong utama migrasi masyarakat
desa ke kota-kota.
Photo : Hartaty Abubakar
Entahlah….mungkin
alasan itu pula orang tuaku meninggalkan kampung halamannya. Namun demikian berdasarkan
ceritera dan penelusuran dari beberapa
keluarga, alasan yang sesungguhnya adalah karena orang tuaku ingin menempuh
pendidikan yang lebih tinggi yang belum tersedia di kampung. Namun karena di
kota besar beliau menemukan arti dirinya sebagai manusia berhadapan dengan
penghargaan dan pengharapan orang-orang sekitarnya, jadilah orang tuaku menetap
permanen di kota. Kalaupun mereka pulang itu karena kerinduan dan tanggungjawab
untuk menengok orang tuanya. Pada kesempatan itulah kami anak-anaknya baru
mengenal bahwa kami punya kampung halaman, sebagai kampung halaman orang tua
kami. Tradisi pulang kampong menjadi hal rutin jika ada hajat besar keluarga,
seperti menikahkan anggota keluarga, ada keluarga yang meninggal dunia, atau
terbersit rindu di saat lebaran tiba. Tradisi itu terwariskan secara alami
kepada kami anak-anaknya.
Setiap
kali anak-anak kami lahir di rantau ada saja hajat-hajat keluarga yang
mengharuskan kami memenuhi panggilan kampung halaman. Seolah-olah Taddette
memanggil untuk menuntaskan rindu. Siapapun keluarga yang kami datangi di kampung
dan mengetahui kami punya anak yang baru pertama kali menginjak kampung halaman
orang tuanya, maka keluarga disana akan membuat selamatan, minimal memotong
ayam dan memberikan doa selamat datang kepada keturunan masyarakat Taddette.
Ritual seperti itu biasa kami kenal dengan istilah, “pakkurrusumange” atau
ucapan selamat dan syukur agar anak tersebut punya ikatan emosional dengan
tanah leluhurnya.
Kini
aku purnatugas. Aku punya banyak kesempatan dan dapat berlama-lama di kampung.
Setelah 30 tahun banyak hal yang berubah. Entah itu tuntutan kemajuan suatu
kampung atau perubahan ke arah pengikisan identitas kultural masyarakat Taddete
dalam jangka waktu panjang. Rumah-rumah panggung yang adem dimana di bawahnya
kami dapat bermain dan menyimpan barang-barang, atau berbaring-baring pada bale-bale yang
tersedia, kini telah berubah menjadi rumah batu. Kamar mandi yang dulunya
berada di belakang dan di luar rumah, kini semua tersimpan dalam kurungan
tembok-tembok. Mungkin kampungku sudah tidak aman lagi hingga semua barang
harus masuk ke dalam rumah.
Banyak
juga kujumpai warga-warga baru yang bukan orang taddette, tetapi pendatang dari
kabupaten atau desa lain. Sementara teman-teman bermain waktu kecil juga sudah
banyak meninggalkan kampung halamannya. Tetapi hal yang paling menyedihkan
banyak diantara keluarga besarku memilih menjual tanah warisan leluhurnya dan
tinggal di kota besar, atau menjual sebahagian tanahnya dan ia sendiri hanya
menempati sepetak rumah dengan sedikit halaman di depannya.
Secara
garis besar aku melihat posisi kampung halamanku agak tersingkirkan oleh
kemajuan. Secara administratif kampungku tidak tercatat sebagai salah satu
desa, padahal desa sudah dimekarkan. Aku membuka google dan tidak menemukan
tulisan apapun tentang Taddete apalagi dusun Kalobang tempat lahir ayahandaku.
Aku berpikir suatu saat nanti bukan hanya dunia yang tidak mengenal Taddette,
tetapi orang-orang Taddette yang migrasi ke kota-kota juga akan melupakan
Taddette. Akhirnya Taddettte hanyalah sebuah kampung yang pernah ada dan tidak
pernah tercatat baik oleh sejarah perkembangan kampung maupun oleh penghuninya
sendiri.
Atas
dasar pertimbangan tersebut aku coba mendekati orang-orang tua kita,
mengajaknya berpikir bersama bagaimana melindungi anak cucu kita di tanah
kelahirannya. Aku tawarkan suatu konsep untuk membuat sebuah yayasan yang
berbadan hukum dimana dalam yayasan tersebutlah warga merasa memiliki rumah
bersama untuk melakukan hal bersama-sama demi kepentingan bersama. Dari
bincang-bincang dengan tetua kampung aku pahami bahwa sebenarnya masyarakat
Taddette mau menghimpun diri dalam wadah kebersamaan. Masalahnya kemudian siapa
yang memulai. Jika demikian, aku ajak
para tetua adat dan orang-orang terdekat untuk memulai. Bagaimana memulainya ?
Mari kita ajak semua rumpun keluarga untuk melakukan kurban bersama-sama di
hari raya Id Qurban. Kebetulan ritual qurban sudah biasa dilakukan oleh
masyarakat Taddette, tetapi kali ini kita ajak keluarga yang berada di
kota-kota lain untuk berkurban secara massal di Taddette. Momentum itulah yang
akan kita pergunakan sebaik-baiknya untuk membangun kebersamaan. Aku yang
berada di rantau coba-coba berinisitif memulai, anggaplah ini adalah panggilan
pulang kampung halamanku.
Jakarta, 15 Agustus 2017
SUMA MENAGIH TUHAN (14)
Diposting oleh
TIM Di tangan Anies Baswedan
di
09.25
Selasa, 13 Juni 2017
PENUTUP
Ibu
suma memeluk anaknya erat-erat sambil menangis terharu begitu mendapatkan
anaknya telah
kembali setelah berpisah tanpa kabar berita. “Ibu menunggumu sejak
tadi pagi,” kata Ibu Suma memandang dalam-dalam anaknya.
“Ibu
tahu aku akan kembali?” tanya Suma.
“Bung
Kondang yang menyampaikan bahwa sebentar lagi kau akan tiba di rumah. Ia
menceriterakan semua hal tentang dirimu. Ibu sangat lega mendengarnya. Ia juga
menyerahkan barang titipanmu sebuah tempayan yang ibu sendiri tidak tahu apa
isinya,” kata Ibu Suma membimbing
anaknya masuk ke kamar.
“Maksud
ibu, Bung Kondang pengusaha besar yang terkenal itu?”
“Ya,
kira-kira dialah. Jika melihat penampilannya memang sepertinya ia orang yang
kaya raya,” jawab ibunya.
Mereka
bersama-sama membuka isi tempayan tersebut, dan astaga isinya adalah emas dan
berbagai perhiasan mahal. Ibu dan anak terperanjat. Ibu suma memberondong
anaknya dengan berbagai pertanyaan, bagaimana ia mendapatkan benda ini. Suma
hanya diam terpaku tidak percaya bahwa emas dan
perhiasan di hadapannya adalah miliknya, sebelum akhirnya ia sadar dan meyakini
inilah pembayaran yang berlipat ganda dari harta benda yang telah diinfakkan
oleh ayahnya. Ia bersujud ke lantai dan mengucapkan,
“Alhamdulillah.”
Catatan :
Terimakasih
kepada Orang tua yang kami hormati, Bapak H. Syamsu Alam Opu Daeng Mamala
sebagai sumber ceritera yang pernah dituturkannya kepada kami. Saya hanya
menulis kembali dan mengatur alur ceritera agar lebih sesuai dengan tuntutan alur naskah ceritera.
SUMA MENAGIH TUHAN (13)
Diposting oleh
TIM Di tangan Anies Baswedan
di
08.15
Senin, 12 Juni 2017
AKIBAT
MENAHAN PERJODOHAN
Tepat tengah hari, Suma tiba di
depan rumah Haji Halim. Ia menghentikan langkahnya sejenak ketika melihat
begitu banyak tamu dengan pakaian-pakaiannya yang mewah sedang asik
bercengkeramah. Hari ini Haji Halim memang sedang kedatangan utusan pengusaha
kaya yang akan melamar salah satu dari tiga putrinya yang cantik jelita.
Sayang sekali setelah berbincang-bincang
dengan keluarga pelamar, mengenal kepribadian calon dan memahami latarbelakang keluarga dan keadaan status
sosialnya, Haji Halim dengan ucapan agak menyesal menolak lamaran tersebut.
Namun demikian dengan keputusan tersebut tidak satu pihakpun yang
memperlihatkan sakit hatinya. Mereka dsaling menghargai pandangan dan pendapat
masing-masing. Mereka semua dapat menahan perasaan kecewa dan larut dalam
suasana kekeluargaan pada acara makan siang bersama.
Suma tadinya akan langsung pulang ke
rumah, tetapi karena ada amanah yang harus didahulukan, maka ia sempatkan
mampir ke rumah Haji Halim. Tamu-tamu keheranan melihat anak tanggung dengan
pakaian sederhana menanyakan Haji Halim.
Melihat bahwa yang datang adalah
Suma, Haji Halim meletakkan piringnya dan menjemput Suma untuk masuk dan ikut makan siang
bersama. Sambil makan Haji Halim menceriterakan bagaimana ibunya bersama Ustadz
Fahmi panik
mencari Suma. “Bapak pikir kepergianmu sudah
atas izin ibumu,” kata Haji Halim menunggu jawaban.
“Saya hanya minta izin untuk
menjumpai Ustadz Fahmi, tetapi karena ustadz Fahmi tidak dapat menunjukkan
kepada saya dimana Tuhan berada maka saya teruskan usaha pencaharian itu
sendiri,” jawab Suma menjelaskan.
Setelah selesai makan Suma bermaksud
pamit untuk segera menemui ibunya. “Kesinggahan saya kemari hanya untuk
menyampaikan jawaban atas titipan pertanyaan bapak.”
“Ooh, iya. Bagaimana, kau sudah
menemukan Tuhan? Apa jawabannya?” tanya Haji Halim antara percaya dan tidak
sambil menarik Suma ke sudut ruangan.
“Saya telah menemukan Tuhan dan
mendapatkan apa yang saya cari.”
“Jadi Tuhan sudah membayar
hutang-hutangmu?”
“Betul, tapi bukan secara langsung,”
jawab Suma seadanya. “Adapun pertanyaan bapak tidak dijawab oleh Tuhan secara
langsung, melainkan dijawab oleh seseorang. Katanya kegelisahan bapak
disebabkan karena adanya perjodohan yang bapak tahan. Mungkin ada wanita dalam
kekuasaan bapak yang sudah dilamar oleh beberapa lelaki tetapi Bapak Haji
selalu menolaknya,” kata Suma menjelaskan.
Haji Halim baru tersadar dari
kekeliruannya selama ini. Ia terlalu mengharapkan datangnya seorang lelaki
berahlak mulia dari keturunan bangsawan yang jutawan dan intelektual. Tetapi
ternyata tidak seorangpun yang memiliki keempat keunggulan itu.
Haji Halim segera berdiri di hadapan
tamu-tamunya diikuti oleh Suma. “Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hormati.
Anak ini telah menyadarkan kekeliruan saya selama ini. Saya sebenarnya tidak
pantas menolak maksud baik bapak-bapak untuk melamar putri saya, oleh karena
itu keputusan tadi saya ralat, dan sekarang saya menyatakan menerima lamaran
Sukri, anak dari Bapak Haruna,” kata Haji Halim sambil menyeka airmatanya.
Semua orang bergembira dan
bertanya-tanya siapa gerangan anak kecil yang telah menyadarkan seorang Kiyai
sekaliber Haji Halim itu.
Tinggal satu episode lagi .....
Langganan:
Postingan (Atom)
Poll
Total Pageviews
Categories
- artikel (10)
- Bung Safety (1)
- Catatan (23)
- Cerpen (3)
- essay (27)
- Kenakalan Kreatif (4)
- Monolog (2)
- Perjalanan (5)
- Pidato (4)
- PUISI (33)
- Resensi (5)
- Serial Kecelakaan Transportasi (8)
- Suma menagih tuhan (14)
- Surat-Surat (9)
Popular Posts
-
Bismillahir Rahmanir Rahim Assalamu Alaikum Wr.Wb. 1. Syukur kita panjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah memberikan se...
-
Assalamu Alaikum Wr. Wb. Selamat datang teman teman semua. Terimakasih telah menyempatkan waktu di tengah kesibukan kita masing...
-
Pada Hari Rabu, 27 Februari 2013 sekitar pukul 07.30 WIB sebuah mobil Nissan, Bus Pariwisata PO.Mustika Mega Utama dengan flat kuning b...
-
Dalam kesempatan dinas mengunjungi ibukota Provinsi Sulawesi Utara, Manado, aku sudah disuguhi pengalaman yang seperti wajib untuk dibagi...
-
Assalamu Alaikum Wr.Wb. Semua di antara kita pernah diam, tetapi kita tak pernah memperhatikan atau mencatat “diam” sebagai bagia...
-
Sebulan sebelum pernikahan putra pertamaku, aku mendengar istri, anak dan calon menantuku tengah berdiskusi hangat tentang souv...
-
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM ASALAMU ALAIKUM WR. WB. Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan...
-
Namanya, RR. Sri Wahyu Handayani, biasa disapa dengan panggilan akrab, Yenny. Kecantikannya tidak diragukan, kulitnya putih, ramb...
-
Kenali perbatasan negaramu, maka kau akan mengenali bentuk, situasi dan keadaan beranda terdepan negaramu. Siapapun yang melintasi perb...
-
Sembilan tahun tulisan ini kuendapkan Tak ada niat sekalipun untuk mempublikasikannya, karena setiap alinea tulisan ini kulalui deng...
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
Labels
- artikel (10)
- Bung Safety (1)
- Catatan (23)
- Cerpen (3)
- essay (27)
- Kenakalan Kreatif (4)
- Monolog (2)
- Perjalanan (5)
- Pidato (4)
- PUISI (33)
- Resensi (5)
- Serial Kecelakaan Transportasi (8)
- Suma menagih tuhan (14)
- Surat-Surat (9)