Suatu
pagi, kereta
rel listrik (KRL) 1131 yang terdiri dari delapan
rangkaian kereta membawa
penumpang umum berangkat dari stasiun Serpong ke stasiun Tanah Abang, Jakarta. Kereta dijadwalkan singgah untuk mengambil dan
menurunkan penumpang di stasiun Sudirman, Jurangmangu, Pondok Ranji, Kebayoran,
sebelum akhirnya tiba di stasiun Tanah Abang.
Hari
itu, Senin, 9 Desember 2013, cuaca sedikit mendung tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda
akan hujan. KRL 1131 bagaikan seekor ular besi panjang melaju di atas dua rel
besi yang tertidur sejajar di atas bantalannya. Setiap kali KRL melintas di
atas rel pasti menimbulkan
bunyi gesekan yang berirama karena harus memikul
beban seberat 252, 2 ton. Ketika akan
memasuki daerah perlintasan sebidang (di mana jalan kereta api dan
jalan raya bersilangan), KRL akan
mengabarkan kehadirannya dengan bunyi genta.
Selanjutnya, PJL (penjaga jalan perlintasan) akan membunyikan sirene dan
menurunkan palang pintu perlintasan agar kendaraan lain berhenti dan memberi
kesempatan pada KRL untuk melintasi jalan yang memang diperuntukkan baginya.
Ketika
KRL 1131 melintas sekitar pukul 11.15 WIB, pada saat yang bersamaan mobil tanki
dengan nomor polisi B-9265-SEH berisi 24.000 liter premium dari arah Tanah
Kusir menuju arah Ceger melintas di perlintasan sebidang nomor 57A Pondok
Betung, Jakarta Selatan. Pada waktu itu palang pintu perlintasan belum
sepenuhnya diturunkan. Meski begitu, mobil tanki
terlanjur masuk ke area perlintasan sebidang dan
tidak dapat lagi untuk memundurkan kendaraannya. Dalam situasi seperti itu, ternyata
mobil tanki mendadak tidak
menambah lajunya untuk keluar dari lintasan sebidang. Ketika KRL 1131 datang dan
masinis melihat masih ada mobil tanki di perlintasan, jarak sudah sangat
dekat sehingga membuat kereta tak dapat lagi
dihentikan. Apa mau dikata, KRL 1131 akhirnya menabrak mobil tanki!! Tabrakan
itu tak ayal menimbulkan ledakan dan kobaran api pada seluruh bagian mobil
tanki dan bagian depan KRL. Di samping itu juga menimbulkan kerusakan pada beberapa
bangunan dalam radius sekitar 15 meter.
Dalam
tragedi Bintaro II ini,
tujuh orang meninggal dunia, lima orang luka berat dan 81 orang luka ringan.
Dikatakan sebagai Tragedi Bintaro II, karena tragedi serupa
pernah terjadi pada 19 Oktober 1987. Pada hari
yang sama yaitu hari Senin,
di daerah yang sama yaitu Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.
Pada
tragedi Bintaro I, sebuah kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang - Merak yang berangkat dari
Stasiun Kebayoran bertabrakan dengan kereta api ekonomi cepat jurusan Rangkas
Bitung- Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudirman. Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu
kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia. Tragedi
Bintaro I menyebabkan dua buah kereta
api hancur, menewaskan 156 orang
penumpang, dan sebanyak lebih dari 300 orang mengalami luka-luka.
Walaupun
dalam tragedi Bintaro II, korban
lebih sedikit dibandingkan tragedi Bintaro tahun 1987, investigasi terhadap
tragedi Bintaro II ini terbilang jauh lebih alot.
Pasalnya, tabrakan kali ini melibatkan dua moda
transportasi, yaitu Kereta Commuter Line atau kereta listrik (KRL) milik PT
Kereta Api Indonesia (KAI) dengan mobil tanki bermuatan premium milik PT
Pertamina Patra Niaga. Masing-masing
pihak tentu memiliki kepentingan
atas hasil investigasi yang dilakukan oleh Komite nasional Keselamatan
transportasi (KNKT).
Tantangan
awal dihadapi para investigator ketika harus berhadapan dengan saksi kunci. Mengingat, pada saat yang bersamaan
pihak kepolisian juga melakukan penyelidikan dan investigasi terhadap saksi
yang terlibat langsung dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Para investigator KNKT berusaha
meyakinkan saksi kunci (terutama yang telah menjalani pemeriksaan polisi) bahwa
investigasi yang dilakukan KNKT adalah bukan untuk mencari siapa yang salah (no blame), bukan untuk tujuan mengadili
(no judicial), dan bukan pula untuk
meminta pertanggungjawaban pihak manapun (no
liability). Keterangan para saksi justru akan berperan penting dalam
mengungkap sebab musabab terjadinya sebuah
kecelakaan agar kecelakaan serupa dengan penyebab yang sama tidak terulang
lagi.
Untuk
mendapatkan keterangan secara lengkap dari saksi kunci yang masih terbaring di
rumah sakit, para investigator KNKT tidak
memaksakan diri. Investigator berusaha menunjukkan rasa simpatinya agar saksi
merasa lebih nyaman sehingga memudahkan investigator untuk melakukan wawancara pada hari-hari berikutnya, ketika kondisi saksi sudah
membaik dan dapat memberikan keterangan.
Tantangan
lain yang dihadapi KNKT dalam menganalisis data dan fakta adalah keterangan
saksi yang berbeda-beda tentang berbunyi atau tidaknya sirene peringatan
kedatangan kereta api. Investigator telah mewawancarai 15 orang saksi yang
terdiri sembilan orang saksi dari petugas PT
KAI, dua orang saksi dari penumpang KRL 1131, dan empat orang saksi umum. KNKT
berusaha mengakomodir semua keterangan saksi, menganalisis semua keterangan
yang berbeda-beda lalu menghubungkan dengan penemuan-penemuan data dan fakta di
lapangan.
KNKT
sedikit tertolong karena ada warga masyarakat yang menyerahkan video amatir
yang menggambarkan bagaimana suasana sesaat setelah kejadian dan pada saat
evakuasi penumpang KRL 1131. Video amatir inilah yang
mengungkapkan fakta tentang posisi pintu perlintasan dan bunyi sirene peringatan di perlintasan
sebidang 57A Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.
Tujuan
utama investigasi KNKT adalah untuk mengungkapkan sebab-sebab terjadinya sebuah
kecelakaan dan merekomendasikan hal-hal yang perlu segera diperbaiki dan
dibenahi agar semakin menjamin
keselamatan bertransportasi di Indonesia. Itulah yang dikerjakan oleh KNKT.
Setelah
merumuskan data dan fakta sebagai temuan-temuan, satu kesimpulan umum dapat
ditarik bahwa pangkal masalahnya ada pada area lintasan sebidang, yaitu kawasan
perpotongan antara rel kereta api dan jalan raya. Seperti diketahui, Undang-undang Nomor 23 Tahun
2007 tentang Perkeretaapian pada pasal 91, ayat (1) berbunyi,“Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.” Berdasarkan undang-undang itu nyatalah bahwa keberadaan lintasan
sebidang adalah sebuah masalah karena tidak sesuai dengan perintah
undang-undang perkeretaapian.
Pertanyaannya
kemudian, mengapa perlintasan sebidang tetap diadakan? Berdasarkan data
Kementerian Perhubungan, di
Jabotabek terdapat 309 perlintasan sebidang yang
terdiri dari 158 lokasi dan dijaga
oleh petugas PT KAI, 28
lokasi dijaga secara swadaya masyarakat, dan 123 lokasi lainnya tidak terjaga. Hal ini terjadi karena keterdesakan kebutuhan
transportasi yang tidak diimbangi dengan kemampuan
menata infrastruktur jalan yang berorientasi
pada keselamatan (safety
oriented).
Undang-undang
Perkeretaapian memang memberi ruang untuk itu lewat pasal 91, ayat (2) yang
berbunyi, “Pengecualian terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan tetap
menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.”
Pemerintah
sesungguhnya sudah sangat peduli dengan aspek keselamatan transportasi
khususnya di area lintasan sebidang. Oleh karena itu dikeluarkanlah
SK.770/KA.401/ DRDJ/2005
tentang Pedoman Tehnis Perlintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur Kereta
Api. yang mengatur apa saja yang mesti dilengkapi di perlintasan sebidang,
rambu-rambu yang harus tersedia berikut tata cara pemasangannya, tanda-tanda
peringatan baik berupa genta maupun sirene serta petugas yang mengawasi untuk
memastikan tertaatinya segala rambu oleh pengguna jalan, pemasangan paling
rintang, hingga kontour jalan dalam posisinya dengan permukaan rel kereta api.
Namun demikian, kenyataannya belum semua ketentuan-ketentuan tersebut
dilaksanakan oleh operator dan rambu rambu yang terpasang belum sepenuhnya
ditaati oleh pengguna jalan.
Untuk
menjamin tidak akan ada lagi tragedi
Bintaro jilid sekian atau tragedi kecelakaan serupa di tempat lain, khususnya
di area perlintasan sebidang, maka dalam final report investigasi yang dirilis KNKT, dikeluarkan rekomendasi kepada:
1. Direktorat
Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan agar memper-hatikan ketentuan perlintasan
sebidang sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian, Peraturan Menteri No. 36 Tahun 2011, dan Surat Keputusan Dirjen
No. SK.770/KA.401/DRDJ/2005, serta memberikan prioritas pengujian kelayakan
pintu perlintasan di lintasan sebidang terutama di daerah yang padat lalu
lintas.
2. Direktoral
Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan agar memperhatikan
kompleksitas kondisi lalu lintas pada area rawan kecelakaan dengan membangun
sistem manajemen keselamatan.
3. Dinas
Petrhubungan Provinsi DKI Jakarta memperbaiki rambu-rambu di areal perlintasan
sebidang dan memperhatikan frekuensi perlintasan kereta yang ke depan akan
semakin padat.
4. PT
Pertamina Patra Niaga agar mengkaji ulang sistem perekrutan pengemudi dan
pendidikan disiplin dalam berlalu lintas.
5. PT.
Kereta Api Indonesia agar memperhatikan isi Undang-undang No. 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian khususnya semua hal yang dipersyaratkan dalam
perlintasan sebidang, merapihkan instalasi kabel pada panel gardu penjaga,
menertibkan bangunan liar yang berada di sekitar area lintasan sebidang.
Jika ditelisik, tragedi
Bintaro II ini menegaskan kepada masyarakat bahwa
persoalan besarnya adalah ada pada
perlintasan sebidang rel kereta api dan jalan raya. Ini memang merupakan sebuah
pekerjaan besar yang mungkin akan memakan waktu yang lama untuk digarap, tetapi harus segera
dimulai, yaitu menghilangkan persimpangan sebidang dan menggantinya dengan
jalan bawah (underpass) atau jalan
atas (jembatan laying/fly over). Masalahnya sampai kini berdasarkan data
Kementerian Perhubungan, masih terdapat 509 perlintasan sebidang di
Jabodetabek. Sebanyak 309 di antaranya
merupakan perlintasan sebidang resmi yang sebagian besar dijaga oleh petugas PT
KAI dan lainnya dijaga secara swadaya oleh masyarakat setempat. Ironisnya,
masih terdapat sekitar 200 perlintasan sebidang yang tidak resmi dan bahkan tanpa ada penjagaan sama sekali.
Apapun masalahnya, sebesar apapun kendalanya,
keselamatan transportasi nasional terutama keselamatan penumpang dan pengguna
jalan harus menjadi prioritas pemikiran semua pihak. Untuk itu, langkah yang harus segera
diselesaikan adalah membenahi perlintasan sebidang.
(Dikutip dari buku, "PESAN KESELAMATAN DARI KECELAKAAN" Hal. 39"
(Dikutip dari buku, "PESAN KESELAMATAN DARI KECELAKAAN" Hal. 39"
semoga ke depannya semua orang memperhatikan keselamatan dalam berkendara di jalan raya agar tidak terjadi hal yang sama seperti ini...