TRAGEDI BINTARO II, MASALAH PERLINTASAN SEBIDANG

Jumat, 16 September 2016


Suatu pagi, kereta rel listrik (KRL) 1131 yang terdiri dari delapan rangkaian kereta membawa penumpang umum berangkat dari stasiun Serpong ke stasiun Tanah Abang, Jakarta. Kereta dijadwalkan singgah untuk mengambil dan menurunkan penumpang di stasiun Sudirman, Jurangmangu, Pondok Ranji, Kebayoran, sebelum akhirnya tiba di stasiun Tanah Abang. 

Hari itu, Senin, 9 Desember 2013, cuaca sedikit mendung tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda akan hujan. KRL 1131 bagaikan seekor ular besi panjang melaju di atas dua rel besi yang tertidur sejajar di atas bantalannya. Setiap kali KRL melintas di atas rel pasti menimbulkan bunyi gesekan yang berirama karena harus memikul beban seberat 252, 2 ton. Ketika akan memasuki daerah perlintasan sebidang (di mana jalan kereta api dan jalan raya bersilangan), KRL akan mengabarkan kehadirannya dengan bunyi genta. Selanjutnya, PJL (penjaga jalan perlintasan) akan membunyikan sirene dan menurunkan palang pintu perlintasan agar kendaraan lain berhenti dan memberi kesempatan pada KRL untuk melintasi jalan yang memang diperuntukkan baginya.

Ketika KRL 1131 melintas sekitar pukul 11.15 WIB, pada saat yang bersamaan mobil tanki dengan nomor polisi B-9265-SEH berisi 24.000 liter premium dari arah Tanah Kusir menuju arah Ceger melintas di perlintasan sebidang nomor 57A Pondok Betung, Jakarta Selatan. Pada waktu itu palang pintu perlintasan belum sepenuhnya diturunkan. Meski begitu, mobil tanki terlanjur masuk ke area perlintasan sebidang dan tidak dapat lagi untuk memundurkan kendaraannya. Dalam situasi seperti itu, ternyata mobil tanki mendadak tidak menambah lajunya untuk keluar dari lintasan sebidang. Ketika KRL 1131 datang dan masinis melihat masih ada mobil tanki di perlintasan, jarak sudah  sangat dekat sehingga membuat kereta tak dapat lagi dihentikan. Apa mau dikata,  KRL 1131 akhirnya menabrak mobil tanki!! Tabrakan itu tak ayal menimbulkan ledakan dan kobaran api pada seluruh bagian mobil tanki dan bagian depan KRL. Di samping itu juga menimbulkan kerusakan pada beberapa bangunan dalam radius sekitar 15 meter.

Dalam tragedi Bintaro II ini, tujuh orang meninggal dunia, lima orang luka berat dan 81 orang luka ringan. Dikatakan sebagai Tragedi Bintaro II, karena tragedi serupa pernah terjadi pada 19 Oktober 1987. Pada hari yang sama yaitu hari Senin, di daerah yang sama yaitu Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.

Pada tragedi Bintaro I, sebuah kereta api ekonomi jurusan Tanah Abang - Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran bertabrakan dengan kereta api ekonomi cepat jurusan Rangkas Bitung- Jakarta Kota yang berangkat dari Stasiun Sudirman. Peristiwa itu tercatat sebagai salah satu kecelakaan paling buruk dalam sejarah transportasi di Indonesia. Tragedi Bintaro I menyebabkan dua buah kereta api hancur, menewaskan 156 orang penumpang, dan sebanyak lebih dari 300 orang mengalami luka-luka.

Walaupun dalam tragedi Bintaro II, korban lebih sedikit dibandingkan tragedi Bintaro tahun 1987, investigasi terhadap tragedi Bintaro II ini terbilang jauh lebih alot. Pasalnya, tabrakan kali ini melibatkan dua moda transportasi, yaitu Kereta Commuter Line atau kereta listrik (KRL) milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan mobil tanki bermuatan premium milik PT Pertamina Patra Niaga. Masing-masing pihak tentu memiliki kepentingan atas hasil investigasi yang dilakukan oleh Komite nasional Keselamatan transportasi (KNKT).
Tantangan awal dihadapi para investigator ketika harus berhadapan dengan saksi kunci. Mengingat, pada saat yang bersamaan pihak kepolisian juga melakukan penyelidikan dan investigasi terhadap saksi yang terlibat langsung dalam peristiwa kecelakaan tersebut. Para investigator KNKT berusaha meyakinkan saksi kunci (terutama yang telah menjalani pemeriksaan polisi) bahwa investigasi yang dilakukan KNKT adalah bukan untuk mencari siapa yang salah (no blame), bukan untuk tujuan mengadili (no judicial), dan bukan pula untuk meminta pertanggungjawaban pihak manapun (no liability). Keterangan para saksi justru akan berperan penting dalam mengungkap sebab musabab terjadinya sebuah kecelakaan agar kecelakaan serupa dengan penyebab yang sama tidak terulang lagi.

Untuk mendapatkan keterangan secara lengkap dari saksi kunci yang masih terbaring di rumah sakit, para investigator KNKT tidak memaksakan diri. Investigator berusaha menunjukkan rasa simpatinya agar saksi merasa lebih nyaman sehingga memudahkan investigator untuk melakukan wawancara pada hari-hari berikutnya, ketika kondisi saksi sudah membaik dan dapat memberikan keterangan.

Tantangan lain yang dihadapi KNKT dalam menganalisis data dan fakta adalah keterangan saksi yang berbeda-beda tentang berbunyi atau tidaknya sirene peringatan kedatangan kereta api. Investigator telah mewawancarai 15 orang saksi yang terdiri sembilan orang saksi dari petugas PT KAI, dua  orang saksi dari penumpang KRL 1131, dan empat orang saksi umum. KNKT berusaha mengakomodir semua keterangan saksi, menganalisis semua keterangan yang berbeda-beda lalu menghubungkan dengan penemuan-penemuan data dan fakta di lapangan.

KNKT sedikit tertolong karena ada warga masyarakat yang menyerahkan video amatir yang menggambarkan bagaimana suasana sesaat setelah kejadian dan pada saat evakuasi penumpang KRL 1131. Video amatir inilah yang mengungkapkan fakta tentang posisi pintu perlintasan dan bunyi sirene peringatan di perlintasan sebidang 57A Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan.

Tujuan utama investigasi KNKT adalah untuk mengungkapkan sebab-sebab terjadinya sebuah kecelakaan dan merekomendasikan hal-hal yang perlu segera diperbaiki dan dibenahi agar semakin menjamin keselamatan bertransportasi di Indonesia. Itulah yang dikerjakan oleh KNKT. 

Setelah merumuskan data dan fakta sebagai temuan-temuan, satu kesimpulan umum dapat ditarik bahwa pangkal masalahnya ada pada area lintasan sebidang, yaitu kawasan perpotongan antara rel kereta api dan jalan raya. Seperti diketahui, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian pada pasal 91, ayat (1) berbunyi,“Perpotongan  antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.  Berdasarkan undang-undang itu nyatalah bahwa keberadaan lintasan sebidang adalah sebuah masalah karena tidak sesuai dengan perintah undang-undang perkeretaapian.

Pertanyaannya kemudian, mengapa perlintasan sebidang tetap diadakan? Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, di Jabotabek terdapat 309 perlintasan sebidang yang terdiri dari 158 lokasi dan dijaga oleh petugas PT KAI, 28 lokasi dijaga secara swadaya masyarakat, dan 123 lokasi lainnya tidak terjaga. Hal ini terjadi karena keterdesakan kebutuhan transportasi yang tidak diimbangi dengan kemampuan menata infrastruktur jalan yang berorientasi pada keselamatan (safety oriented).

Undang-undang Perkeretaapian memang memberi ruang untuk itu lewat pasal 91, ayat (2) yang berbunyi, “Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.” 

Pemerintah sesungguhnya sudah sangat peduli dengan aspek keselamatan transportasi khususnya di area lintasan sebidang. Oleh karena itu dikeluarkanlah SK.770/KA.401/ DRDJ/2005 tentang Pedoman Tehnis Perlintasan Sebidang antara Jalan dengan Jalur Kereta Api. yang mengatur apa saja yang mesti dilengkapi di perlintasan sebidang, rambu-rambu yang harus tersedia berikut tata cara pemasangannya, tanda-tanda peringatan baik berupa genta maupun sirene serta petugas yang mengawasi untuk memastikan tertaatinya segala rambu oleh pengguna jalan, pemasangan paling rintang, hingga kontour jalan dalam posisinya dengan permukaan rel kereta api. Namun demikian, kenyataannya belum semua ketentuan-ketentuan tersebut dilaksanakan oleh operator dan rambu rambu yang terpasang belum sepenuhnya ditaati oleh pengguna jalan.

Untuk menjamin tidak akan ada lagi tragedi Bintaro jilid sekian atau tragedi kecelakaan serupa di tempat lain, khususnya di area perlintasan sebidang, maka dalam final report  investigasi yang dirilis KNKT, dikeluarkan rekomendasi kepada:

1.    Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan agar memper-hatikan ketentuan perlintasan sebidang sebagaimana tertuang dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Peraturan Menteri No. 36 Tahun 2011, dan Surat Keputusan Dirjen No. SK.770/KA.401/DRDJ/2005, serta memberikan prioritas pengujian kelayakan pintu perlintasan di lintasan sebidang terutama di daerah yang padat lalu lintas.

2.    Direktoral Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan agar memperhatikan kompleksitas kondisi lalu lintas pada area rawan kecelakaan dengan membangun sistem manajemen keselamatan.

3.    Dinas Petrhubungan Provinsi DKI Jakarta memperbaiki rambu-rambu di areal perlintasan sebidang dan memperhatikan frekuensi perlintasan kereta yang ke depan akan semakin padat.

4.    PT Pertamina Patra Niaga agar mengkaji ulang sistem perekrutan pengemudi dan pendidikan disiplin dalam berlalu lintas.

5.    PT. Kereta Api Indonesia agar memperhatikan isi Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian khususnya semua hal yang dipersyaratkan dalam perlintasan sebidang, merapihkan instalasi kabel pada panel gardu penjaga, menertibkan bangunan liar yang berada di sekitar area lintasan sebidang.

Jika ditelisik, tragedi Bintaro II ini menegaskan kepada masyarakat bahwa persoalan besarnya adalah ada pada perlintasan sebidang rel kereta api dan jalan raya. Ini memang merupakan sebuah pekerjaan besar yang mungkin akan memakan waktu yang lama untuk digarap, tetapi harus segera dimulai, yaitu menghilangkan persimpangan sebidang dan menggantinya dengan jalan bawah (underpass) atau jalan atas (jembatan laying/fly over). Masalahnya sampai kini berdasarkan data Kementerian Perhubungan, masih terdapat 509 perlintasan sebidang di Jabodetabek. Sebanyak 309 di antaranya merupakan perlintasan sebidang resmi yang sebagian besar dijaga oleh petugas PT KAI dan lainnya dijaga secara swadaya oleh masyarakat setempat. Ironisnya, masih terdapat sekitar 200 perlintasan sebidang yang tidak resmi dan bahkan tanpa ada penjagaan sama sekali.

Apapun masalahnya, sebesar apapun kendalanya, keselamatan transportasi nasional terutama keselamatan penumpang dan pengguna jalan harus menjadi prioritas pemikiran semua pihak. Untuk itu, langkah yang harus segera diselesaikan adalah membenahi perlintasan sebidang.

(Dikutip dari buku, "PESAN KESELAMATAN DARI KECELAKAAN" Hal. 39"


2 komentar:

  1. Anonim mengatakan...:

    semoga ke depannya semua orang memperhatikan keselamatan dalam berkendara di jalan raya agar tidak terjadi hal yang sama seperti ini...

  1. betul sahabatku. Keselamatan adalah kata yang sudah terbiasa di telinga kita, tetapi menjadi bahasa langka di kesadaran kita

Posting Komentar