Mungkinkah ada penduduk sebuah kampung
yang tidak mengkonsumsi nasi di tengah lumpung padi bangsanya ?
Untuk mendapatkan jawabannya anda harus berkunjung ke Kampung Cireundeu,
Cimahi
Kampung Cireundeu merupakan desa adat yang
terletak di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu, namun
secara administratif Kampung Cireundeu adalah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan
Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Untuk mencapai Kampung Cireundeu, kita hanya
membutuh waktu 30 menit dari Alun-alun Kota Cimahi dan sekitar 2 jam dari kota
Bandung. Walaupun telah ditetapkan sebagai desa adat, keunikan cara hidup
masyarakat Kampung Cireundeu belum dikenal baik oleh wisatawan. Itu karena
Kampung Cireundeu tidak terlalu di publikasikan sebagai obyek wisata, sementara
para pemuka adat juga tidak memposisikan desanya sebagai Obyek Daya tarik
Wisata, tetapi lebih fokus sebagai kampung yang memelihata tradisi leluhur.
Bagi warga Cireundeu, sekecil apapun tuntunan hidup yang di ajarkan leluhur,
haruslah mereka wariskan secara turun temurun. Jejak ajaran leluhur itu harus
tetap ada. Meskipun demikian, masyarakat Cireundeu sangat terbuka bagi hadirnya
wisatawan atau tamu-tamu yang datang. Itu terlihat jelas pada pintu masuk
terdapat tulisan Hanacaraka, ” Wilujeng Sumping di Kampung Cireundeu,”
yang artinya selamat datang para tamu di kampung Cireundeu.
Mengapa saya menamakan Kampung Cireundeu sebagai
Kampung Singkong ? Itu karena masyarakat di kampung tersebut tidak mengkonsumsi
beras / nasi. Makanan pokok mereka adalah ketela/singkong yang dapat diolah
menjadi bermacam-macam penganan. Salah satunya menjadi rasi atau beras
singkong. Jika anda mengunjungi kampung ini, anda dapat membeli oleh-oleh
kuliner yang kesemuanya berasal dari bahan dasar singkong.
Tidak terbayangkan bagaimana mungkin mereka tetap
mengkonsumsi singkong sementara beras membanjiri pasaran di daerah sekitarnya.
Tidak terbayangkan bagaimana kuatnya mereka memegang teguh kebiasaan yang
diwariskan leluhurnya selama hampir seratus tahun, sementara leluhurnya tidak
pernah melarang mereka mengkonsumsi makanan selain singkong. Pada awalnya,
kurang lebih tahun 1918, ibu Omah Asnama, Putra Bapak Haji Ali mengembangkan
makanan pokok non beras yang bersumber dari bahan singkong, yaitu rasi (beras
singkong) yang ternyata rasanya jauh lebih enak dari nasi berbahan beras.
Semenjak itu saudara-saudara Ibu Omah dan masyarakat lainnya mengikuti
kebiasaan mengkonsumsi singkong. Sehingga pada suatu masa ketika harga beras
melambung tinggi dan masyarakat Cireundeu tetap mengkonsumsi singkong,
pemerintah melalui wedana Cimahi berkenan memberikan suatu penghargaan kepada
Omah Asmana sebagai pahlawan pangan pada tahun 1964. Masyarakat Cireundeu
bangga dengan pahlawannya, dan juga bangga dengan konsumsi makanan yang mereka
dapat dari lahan pertanian olahan mereka sendiri. Mereka berpedoman pada
prinsip anutan, ”Teu Nyangu Asal Boga Pare, Teu Boga Pare asal Boga Beas, Teu Boga Besa
Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat,” yang
artinya, tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal asal dapat
menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat.” Prinsipnya
dalam keadaan apapun mereka tidak boleh menyerah menghadapi kehidupan.
Jejak leluhur tidak hanya tampak pada pola
konsumsi masyarakat Singkong Di Kampung Cireundeu. Jejak leluhur juga tampak
pada pola budaya dan kepercayaannya. Masyarakat di Kampung Singkong ini
menganut dan memegang teguh kepercayaan leluhurnya yang disebut Sunda Wiwitan.
Ajaran Sunda Wiwitan ini pertama kali dibawa dan dikembangkan oleh Pangeran
Madrais dari Cigugur, Kuningan pada tahun 1918. Salah satu ritual terbesar dari
kepercayaan Sunda Wiwitan ini adalah upacara peringatan 1 Suro. Perayaan 1 Suro
bagi masyarakat Cireundeu bak peringatan sekelas lebaran Idul Fitri bagi Umat
Islam.
Pada peringatan 1 Suro semua mempergunakan pakaian
baru. Dengan hati baru masyarakat bersatu membuat gunungan buah-buahan yang
dibentuk menyerupai janur, dibuatkan nasi tumpeng rasi yang besar, dihidangkan
berbagai hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela (singkong) sebagai
hidangan wajib dalam ritual 1 Suro. Pada hari itu dihadirkan kesenian kecapi
suling yang dipuncaki dengan Wuwuhan atau nasehat dari sesepuh atau ketua Adat sebagai
pesan-pesan menghadapi dunia dan kewajiban menjaga kelestarian budaya yang
mereka anut. begitu semaraknya ritual 1 Suro ini, kadang-kadang penduduk dari
daerah-daerah lain datang ke Kampung Singkong (Cireundeu) hanya untuk mengikuti
acara 1 Suro, dan atau turis-turis lokal dan mancanegara yang hadir hanya untuk
menyaksikan jalannya ritual 1 Suro.
Kampung Singkong Cireundeu sendiri tidaklah begitu
luas, hanya sekitar 64 ha yang terdiri 60 ha berupa hutan dan 4 ha. untuk
pemukiman penduduknya. Hutan mereka terbagi 3 bagian, yaitu :
1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu
hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai
penyimpanan air untuk masyarakat .
2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu
hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan
pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru.
3. Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu
hutan yang dapat digunakan untuk berkebun.
Masyarakat Cireundeu begitu
taat terhadap adat istiadat dan budayanya, termasuk ketaatan terhadap
perlindungan hutan di sekitar mereka. Di benak saya tersisa sebuah tanya,
apakah cukup bagi mereka mendiami 4 ha lahan sebagai wilayah pemukiman mereka.
Padahal seiring berjalannya waktu mereka akan tumbuh dan beranak pinak sehingga
dibutuhkan perluasan wilayah pemukiman. Namun
ternyata sepanjang pengamatan saya, mereka ternyata tetap patuh dengan
ketentuan adat yang telah digariskan oleh ketua adat dan pemukiman mereka cukup
luas bahkan untuk jangka waktu yang lama ketika warga mereka semakin bertambah
oleh proses timbuh kembangnya keluarga.
Terlalu banyak hal yang unik
di Kampung Singkong Cireundeu ini. Untuk itu saya menganjurkan, daripada
menghabiskan masa libur dan petualanganmu di kota bandung dengan wisayta
kuliner dan busana yang menghabiskan anggaran, lebih baik anda sempatkan mengunjungi
Kampung Singkong Cireundeu untuk melihat begitu kayanya budaya dan tradisi
bangsa Indonesia.
Jakarta, 5 April 2016.
0 komentar:
Posting Komentar