Mama Papua, Mama Bangsa

Senin, 07 Desember 2015


Mama….!
Mama Papua
Dan mama mama lain
Yang perih di sudut sudut negeri

Betapa panjang, Rentang waktu berlalu
Di setiap rentang, Ada tapak tapak deritamu

Dalam badai gelombang sejarah
Namamu hanya sebagai korban
Dalam balutan selendang budaya
Kau hanya pelengkap penderita
Dalam pusaran politik
Kau belum lagi dianggap.

Mama Papua…!
Kau korban dari anak-anakmu sendiri
Anak yang tumbuh dari air susumu
Kau terima semua derita
Sebagai keniscayaan budaya

Kau bangga melahirkan pemimpin negeri
Sambil meremas gemuruh jantungmu
Kau sudah merasa bahagia
Ketika anak negeri berceritera Hal-hal baik tentangmu
Walau hingga…..kini
Mereka belum berbuat yang terbaik untukmu.

Mama Papua…!
Kami di sini….berkumpul untukmu
Kami di sini… berbicara tentangmu
Kami di sini berdebat tentangmu
Tahukah kau….
Kesimpulan yang kami hasilkan
Sebuah Tanya…..

Kapan….kapan….kapannn
Mama papua
Menjadi mama bangsa.

Zulkomar, 
Jakarta, 16 Nov. 2015

MEMBANGUN PAPUA, MELINDUNGI MAMA PAPUA

Senin, 23 November 2015


Sesuai dengan tema yang diajukan, yaitu arah kebijakan Pertahanan dan Keamanan di Papua terutama untuk Perlindungan Perempuan, satu hal yang harus sama-sama kita terima dan pahami bahwa, sistem pertahanan negara tidak semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah pusat, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia yang diselenggarakan melalui fungsi pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah juga bertanggungjawab untuk membangun kekuatan pertahanan negara sesuai dengan peran dan fungsinya masing masing secara proporsional.

Mengingat bahwa pendekatan kebijakan pembangunan Provinsi Papua dan Papua barat saat ini lebih ditekankan pada pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Papua. maka keberadaan dan penempatan kekuatan TNI di Papua dilakukan secara lebih proporsional, yaitu menjalankan fungsi menjaga kedaulatan bangsa Indonesia di daerah-daerah perbatasan, terutama perbatasan antara negara Indonesia dengan Papua Nuegini. Di sepanjang kurang lebih 800 km, bentang areal perbatasan tersebut masih menyimpan potensi kerawanan, seperti perlintasan penduduk antar kedua negara, penyelundupan narkotika, perdagangan barang-barang illegal, kemungkinan pemasokan senjata, pendatang yang merambah pertambangan secara illegal, dll.

Sebagai daerah provinsi yang berstatus tertib sipil sama dengan daerah-daerah lain, maka segala urusan yang bersangkutan dengan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat ditangani secara proporsional oleh Kepolisian daerah Provinsi Papua dan Papua Barat. Kecuali dalam hal-hal yang sangat penting, dan dalam usaha meredam segala persoalan dan gejolak yang dapat menggangu disintegritas bangsa, maka kepolisian daerah dapat meminta bantuan TNI.

Arah kebijakan pengelolaan Provinsi Papua dan Papua Barat sebenarnya telah jelas diatur dalam UU N0. 21/2001 tentang Otsus Provinsi Papua yang kemudian diubah menjadi UU No. 35/2008 tentang Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat.  Ada lima agenda utama dalam UU Otsus tersebut, yaitu :
1.     Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur
2.    Meningkatkan Pelayanan pendidikan – kesadaran berpendidikan
3.    Meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat (menekan angka kematian dan peningkatkan tingkat harapan hidup masyarakat Papua)
4.    Memberdayakan ekonomi rakyat
5.    Affirmative action

Kelima agenda tersebut terbalut secara absolute dalam semangat NKRI dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Program Nawacita Presiden Joko Widodo juga telah menggariskan bahwa pembangunan harus dimulai dari daerah pinggiran.

Perlindungan dan Pemberdayaan Mama Papua
          Kekerasan terhadap mama-mama Papua sesungguhnya sudah berlangsung lama, dari masa penjajahan hingga Papau kembali ke Pangkuan NKRI. Kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun hingga tahun-tahun sekarang ini angkanya telah berhasil ditekan. Namun kitapun harus realistis melihat bahwa kekerasan terhadap perempuan itu masih ada..! …di hadapan kita….!  dan terlihat jelas.

Setiap kali membicarakan kekerasan terhadap mama Papua
dan mama mama lain di Indonesia,
sesungguh kita sedang membicarakan dosa- dosa kita semua sebagai anak mama. Saya berani katakan….semua kita…!
Bagaimana mana tidak ?
Perempuan, Mama lah dengan deras aliran air susunya,
membuat kita tumbuh kembang dan menjadi berarti di negeri ini.
Semua kita selalu berbicara hal-hal baik tentang mama
Sudahkah kita berb uat hal-hal baik pada mama ?
Sudahkah kita memberikan perlindungan pada mama ?
Sudahkah kita memberikan rasa aman dan nyaman pada mama ?
justru pada saat mama tengah melakukan sesuatu untuk kita. 

Kami sangat mengapresiasi hasil kerja Komnas Perlindungan Perempuan Papua yang telah berhasil mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan terhadap mama Papua dan pelanggaran HAM berbasis jender dalam kurung waktu 1963 -2009. Dokumen tersebut berjudul, “STOP SUDAH”. Saya belum dapat dan belum baca dokumen tersebut. Saya hanya mendengar dalam dokumen tersebut termuat rekomendasi diantaranya, meminta polri agar menghukum pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan dan memastikan adanya penegakan hukum

Rekomendasi ini dan rekomendasi-rekomendasi lain memang perlu di berikan kepada pemerintah agar persoalan-persoalan tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama para keturunan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mengadili dan memberikan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran HAM perlu dilakukan. Namun , janganlah kita larut dan terpaku hanya pada persoalan pelanggaran HAM dan melupakan akar penyebab mengapa Mama Papua begitu rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM. Saya katakan demikian, melihat pengalaman kita dalam penanganan kasus –kasus pelanggaran HAM yang penyelesaiannya berlarut-larut, padahal pemerintah dan aparat penegak hokum telah bekerja maksimal untuk itu. Tampaknya memang agak sulit mengingat kita harus menghadirkan sebuah kejadian masa lalu dalam konteks masa lalunya untuk kita adili di masa kini dalam konteks kekiniannya. Tetapi apapun kesulitannya, pelangaran HAM, terutama terhadap Mama Papua harus tetap kita upayakan.

Intinya, saya mau katakan, dokumentasi kekerasan terhadap Mama Papua yang berlabel “STOP SUDAH” jangan hanya kita pakai sebagai bahan untuk menuntut pelanggaran HAM masa lalu. Sebaiknya dokumen “STOP SUDAH” tersebut kita jadikan kitab suci Komnas Perlindungan Perempuan sebagai pedoman dan tuntunan dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan dasar Mama Papua, membuat program-program yang langsung bersentuhan bagi peningkatakan kemampuan mama Papua untuk terlepas dari belenggu budaya yang kurang berpihak padanya, sekaligus mendorong Mama Papua untuk bangkit, sehingga mampu duduk bersama mengambil keputusan-keputusan, terutama keputusan politik tentang dirinya.

Seperti kita ketahui, kekerasan paling tinggi yang dialami mama Papua adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan ini terjadi karena budaya patrilinear sungguh menempatkan Mama papua sebagai pribadi yang kurang berdaya. Baik posisinya dalam rumah tangga, dalam aturan budaya, dan dalam kesempatan mengecap pendidikan. Pemerintah telah berusaha memberi kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi di dunia politik dengan memberikan quota 30 persen, tetapi persoalan kemudian Partai politik sulit menemukan wanita yang punya kemampuan yang dipersyaratkan untuk mengisi quota tersebut, sehingga partai-partai besar di ibukota sekalipun lebih memilih perempuan dari kalangan selebritis.

(Pengalaman seorang dosen dan riset yang dilakukannya)


Di Kemenko Polhukam terdapat Desk Otonomi Khusus, yang menangani persoalan-persoalan di Aceh dan Papua. Desk Otsus tersebut memang belum secara intens menangani perlindungan kekerasan terhadap mama Papua. Oleh karena itu, kami sebenarnya berharap Komnas Perlindungan Perempuan juga melakukan lokakarya yang sama seperti ini, di Kemenko Polhukam. Dr. Adriana Veny sebenarnya telah menjajakinya, kami sekarang tinggal menunggu tindak lanjutnya.

Jangan pernah kita menganggap bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan telah selesai, karena telah terbentuk Komisi Nasional Perlindungan Perempuan. Komnas Perlindungan Perempuan hanyalah sebuah pintu, lewat pintu itulah kita semua mengkonsolidasikan diri masuk bersama-sama menyelesaiakn persoalan perempuan. Di dalamlah nanti kita akan mengetahui siapa berbuat apa. Kami dari Kemenko Polhukam juga akan mengajak kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Kemenko Polhukam untuk mengambil bagian dalam konsolidasi jaringan advokasi Papua. 

0000000000000
 Drs. Zulkomar
Disampaikan pada Lokakarya Perlindungan terhadap Perempuan Papua
di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Jakarta, 16 November 2015.

KETIKA SAPIAH MEREGANG NYAWA

Kamis, 24 September 2015


Saya bernama Sapiah karena sayalah satu-satunya Sapi betina diantara sapi-sapi jantan.

Sudah hampir sebulan saya berada di RPH (Rumah Potong Hewan) di kawasan Bogor. Sebelumnya saya lahir dan tumbuh kembang di Pulau Dewata, Bali. Saya sudah melewati perjalanan darat dan laut  yang melelahkan. Itulah sebabnya ketika pada awal kedatangan saya di RPH langsung ditempatkan di di kandang karantina.Setelah dilakukan pemeriksaan saya dipindahkan ke kandang penampungan bergabung bersama dengan sapi-sapi dari daerah lain. Di sini kami mendapatkan makanan yang cukup, bahkan berlimpah jika dibandingkan makanan yang selama ini kami konsumsi di daerah asal. Hanya saja kami kini kehilangan banyak kemerdekaan, tak lagi bisa berjalan menghirup udara pedesaan sambil berjalan-jalan di pinggiran sawah dan padang-padang menikmati rerumputan dan dedaunaan yang tumbuh liar. Di kandang penampungan kami tak bisa bergerak leluasa  karena yang menghuni kandang cukup banyak.

Entah mengapa hari ini aku digiring ke luar kandang dan dinaikkan diatas mobil truk fuso dengan bantuan tangga-tangga papan. Tidak lama kemudian rekan sekandung juga ikut naik. Ketika naik kami saling pandang mencari tahu tetapi tak berjawab. Akhirnya kami terkumpul enam ekor dalam satu mobil. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Ingin bertanya, bertanya kepada siapa ? Kami tidak diberi ruang untuk saling berkomunikasi seperti ketika masih bersama-sama dalam kandang penampungan. Kami disusun bukan menghadap ke depan atau ke belakang, tetapi di atur berbanjar  yang masing-masing menghadap ke kiri dan ke kanan berselang seling sehingga kami tidak dapat saling berkomunikasi. Gerak ekor kami saja yang dipahami oleh rekan-reakan lainnya sebagai gerak kegelisahan.

Di suatu tempat dua ekor rekan kami diturunkan. Mungkin karena sepanjang perjalanan dengus mereka dianggap menimbulkan kegaduhan dan mengganggu keheningan malam. Setelah berjalan beberapa kilometer, mobil truk kembali berhenti dan menurunkan dua rekan kami lainnya. sebenarnya keheningan seperti apa yang dirindukan oleh Sang Malam sehingga dengusan sekecil apapun dianggap mengganggu. Kini tinggal kami berdua dan tidak tahu akan berujung dimana perjalanan ini. Karena sudah agak lega kami bisa sedikit bergerak dan memposisikan diri berdiri sejajar agar dapat saling berkomunikasi. tetapi kini kami takut untuk berdengus karena tidak ingin bernasib sama dengan empat rekan lainnya yang telah diturunkan dan entah bagaimana nasibnya, kini.

Menjelang fajar giliran kami berdua diturunkan pula. Entah dimana ini, tak lagi aku hiraukan karena kantuk menguasaiku. Pagi, ketika sinar mentari masih malu-malu menampakkan dirinya di ufuk timur, aku terbangun oleh suara bergema, ”Allahu Akbar....Allahu Akbar....Allahu Akbar......,” Suara yang sungguh asing di telingaku tetapi tetapi menyejukkan hati. Selama lahir dan tumbuh besar di Bali tak pernah kudengar suara menyejukkan seperti ini. Itu yang membuat aku terbangun dengan suasana hati yang lain. Kulihat di kanan kiri ada empat rekanku, tetapi bukan rekan sesama sewaktu berangkat dari RPH Bogor. Ada juga ternak yang lebih kecil dari diriku tetapi berbulu lebat. Jumlah mereka lebih banyak dan suaranya terdengar bising di telingaku, ”embeekkkk...embekkkk,”

Tak lama kemudian banyak orang mulai berkumpul di sekitaranku. Seseorang dengan dengan migrophone di tangan berkata-kata dengan langgam tertentu yang tidak aku mengerti. Diujung kata-katanya ia lalu menyebut sebuah nama, dan selanjutnya empat orang menghampiri rekanku, menariknya, merapat ke tiang pohon kelapa. Seseorang memegang erat tali yang mengikat hidung dan melilit leher di belakang tanduk kebanggaan rekanku. Seorang lagi menarik ekornya, dan dua orang melilitkan tali di punggung, melingkarkan lalu memasukkan di  antara kaki kiri dan kanan, memasukkan simpulan tali melalui telapak kaki, merapatkan ikatannya, dan sekali komando mereka semua menarik lilitan yang melilit kaki kiri ke arah kanan sehingga rekanku kehilangan keseimbangan dan roboh.

Aku sungguh sedih melihat bagaimana manusia-manusia itu memperlakukan rekanku.
Dan ketika rekanku semakin tidak berdaya, seseorang dengan parang tajam yang terhunus menghampirinya, mengelus-elus lehernya, meletakkan sebilah parang dan sekali ayunan dari bawah ke atas, darah merah dan kental mengucur deras mengalir ke lubang yang telah mereka gali tepat di bawah leher rekanku. semua itu aku saksikan dengan perasaan yang tidak menentu.

Begitulah ritual berlangsung, dan setiap kali sebuah nama di sebut, rekanku yang lain di giring ke tempat penyembelihan. Tiga rekanku telah mengakhiri hidupnya di hadapan mataku sendiri. Kini aku tinggal sendiri saja. Kerap aku bertanya mengapa mereka memlih untuk mengiring rekanku ke arena penyembelihan. Mengapa mereka tidak menggiring aku ? Sementara larut dengan pikiran demikian, seseorang dengan migrophone di tangan menyebut, ”Keluarga Sapiah...!” lalu orang-orang menghampiriku dan menggiring ke arena penyembelihan. lantai yang kutapak terasa licin oleh ceceran darah rekan-rekanku. Barulah aku mengerti bahwa namaku adalah Sapiah. Mungkin karena akulah satu-satunya sapi betani di antara sapi sapi jantan di arena penyembelihan.

Kalau tadi aku begitu ngeri dan miris menyaksikan rekan-rekanku dirobohkan, disembelih hingga dikuliti tak bersisa, kini aku akan merasakannya sendiri. Mereka merobohkan dengan begitu mudah. Mungkin karena lelah menyaksikan rekanku meronta, aku akhirnya hanya berdiam diri. Begitupun ketika roboh, manusia-manusia itu begitu mudah menyeret badanku hingga leherku tepat berada di atas sebuah lubang yang telah penuh oleh ceceran darah rekan-rekanku. Rasa ngeri yang kubayangkan tiba-tiba lenyap. Tangan penjagal yang mengusap-usap leherku terasa seperti tiupan angin yang menyejukkan. Ketika sebuah parang hinggap di leherku, kupejamkan mata dan tanpa sadar aku terbawa irama takbir yang terus bermain di telingaku, dan di luar dugaan keluar bahasa Ilahi dari hati dan meluncur lewat mulutku, ”Allahuuu Akbarrr,” dan serasa aku berada di Surga.

 Depok, 24 September 2015

MALING KONDANG

Selasa, 22 September 2015


Suatu waktu, kapan waktunya sungguh aku lupa. Aku hanya ingat waktu itu malam minggu ketika kusempatkan untuk bergabung bersama teman-teman di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) menyaksikan Lakon Satire berjudul, “Maling Kondang” yang disutradarai oleh Yusril Katil. Tadinya aku pikir lakon ini mengadopsi ceritera masyhur Malin Kundang, ceritera si anak durhaka dari Sumatera Barat yang terjebak dalam kesombongan kekayaan yang didapatkannya di rantau, Tetapi ternyata dipertengahan lakon tampak jelas bahwa lakon ini berceritera tentang para maling berdasi di bumi Indonesia. Maling (Koruptor) yang justru menjadi kondang karena jabatan dan kekayaannya.

Cerita asli Malin Kundang mengisahkan anak durhaka yang mengkhianati cinta ibu kandungnya, sedangkan lakon Maling Kondang berceritera soal anak serakah yang mengkhianati ibu pertiwi, mengkhianati bangsa, dan mengkhianati kepercayaan yang diberikan padanya dengan melakukan berbagai tindakan korupsi untuk memperkaya diri sendiri.

Koruptor di Indonesia benar-benar adalah si Maling Kondang. Lihat maling-maling berdasi itu adalah orang-orang yang kondang dan dikenal luas oleh publik, para wakil rakyat, pejabat pemerintahan daerah, pejabat tinggi di kementerian dan lembaga negara, pengusaha-pengusaha besar, para petinggi partai politik, dan pejabat-pejabat yang dipercaya mengelola keuangan. Mereka bahkan menjadi lebih kondang setelah ditetapkan oleh pengadilan sebagai maling. Sorot kamera merekam jelas senyum si Maling Kondang dengan lambaian tangan kepada publik. Mereka pikir publik menyenanginya dan iapun menyemangati publik untuk tidak perlu takut menjadi koruptor kondang dengan lambaian tangannya.

Ibu pertiwi tentu sangat kecewa melihat anak kandung bangsanya telah mengkhianati segala kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ketika ibu pertiwi yang diwakili oleh para penyelidik dan penyidik mempertanyakan soal darimana ia mendapatkan uang yang begitu banyak, maka Maling Kondang akan berdalih cerdas bersama pengacaranya. Ibu pertiwi sangat yakin akan kebohongan anak bangsanya, tetapi si Maling Kondang tidak kalah meyakinkannya berbohong. Kalau ibu pertiwi habis kesabaran, naluri kemaafannyapun bisa sirna dan ibu pertiwi akan mengutuk si Maling Kondang menjadi batu. Adakah kondisi seperti begini yang perlu kita tunggu untuk menuntaskan pemberantasan korupsi ?

 Jakarta, 23 Sept 2015