Sesuai
dengan tema yang diajukan, yaitu arah kebijakan Pertahanan dan Keamanan di
Papua terutama untuk Perlindungan Perempuan, satu hal yang harus sama-sama kita
terima dan pahami bahwa, sistem pertahanan negara tidak semata-mata menjadi
tanggungjawab pemerintah pusat, tetapi merupakan kewajiban setiap warga negara
Indonesia yang diselenggarakan melalui fungsi pemerintah. Oleh karena itu,
Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat di daerah juga bertanggungjawab untuk membangun kekuatan
pertahanan negara sesuai dengan peran dan fungsinya masing masing secara proporsional.
Mengingat
bahwa pendekatan kebijakan pembangunan Provinsi Papua dan Papua barat saat ini
lebih ditekankan pada pendekatan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat Papua. maka keberadaan dan penempatan kekuatan TNI di Papua
dilakukan secara lebih proporsional, yaitu menjalankan fungsi menjaga
kedaulatan bangsa Indonesia di daerah-daerah perbatasan, terutama perbatasan
antara negara Indonesia dengan Papua Nuegini. Di sepanjang kurang lebih 800 km,
bentang areal perbatasan tersebut masih menyimpan potensi kerawanan, seperti
perlintasan penduduk antar kedua negara, penyelundupan narkotika, perdagangan
barang-barang illegal, kemungkinan pemasokan senjata, pendatang yang merambah
pertambangan secara illegal, dll.
Sebagai
daerah provinsi yang berstatus tertib sipil sama dengan daerah-daerah lain,
maka segala urusan yang bersangkutan dengan menjaga ketertiban dan keamanan
masyarakat ditangani secara proporsional oleh Kepolisian daerah Provinsi Papua
dan Papua Barat. Kecuali dalam hal-hal yang sangat penting, dan dalam usaha
meredam segala persoalan dan gejolak yang dapat menggangu disintegritas bangsa,
maka kepolisian daerah dapat meminta bantuan TNI.
Arah
kebijakan pengelolaan Provinsi Papua dan Papua Barat sebenarnya telah jelas
diatur dalam UU N0. 21/2001 tentang Otsus Provinsi Papua yang kemudian diubah
menjadi UU No. 35/2008 tentang Otsus Provinsi Papua dan Papua Barat. Ada lima agenda utama dalam UU Otsus
tersebut, yaitu :
1.
Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur
2.
Meningkatkan Pelayanan pendidikan – kesadaran
berpendidikan
3.
Meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat
(menekan angka kematian dan peningkatkan tingkat harapan hidup masyarakat
Papua)
4.
Memberdayakan ekonomi rakyat
5.
Affirmative action
Kelima agenda tersebut terbalut secara absolute dalam semangat
NKRI dan mengejar ketertinggalan pembangunan. Program Nawacita Presiden Joko
Widodo juga telah menggariskan bahwa pembangunan harus dimulai dari daerah
pinggiran.
Perlindungan
dan Pemberdayaan Mama Papua
Kekerasan
terhadap mama-mama Papua sesungguhnya sudah berlangsung lama, dari masa
penjajahan hingga Papau kembali ke Pangkuan NKRI. Kekerasan terhadap perempuan
dari tahun ke tahun hingga tahun-tahun sekarang ini angkanya telah berhasil
ditekan. Namun kitapun harus realistis melihat bahwa kekerasan terhadap
perempuan itu masih ada..! …di hadapan kita….!
dan terlihat jelas.
Setiap kali membicarakan kekerasan terhadap mama Papua
dan mama mama lain di Indonesia,
sesungguh kita sedang membicarakan dosa- dosa kita semua
sebagai anak mama. Saya berani katakan….semua kita…!
Bagaimana mana tidak ?
Perempuan, Mama lah dengan deras aliran air susunya,
membuat kita tumbuh kembang dan menjadi berarti di negeri ini.
Semua kita selalu berbicara hal-hal baik tentang mama
Sudahkah kita berb uat hal-hal baik pada mama ?
Sudahkah kita memberikan perlindungan pada mama ?
Sudahkah kita memberikan rasa aman dan nyaman pada mama ?
justru pada saat mama tengah melakukan sesuatu untuk kita.
Kami sangat mengapresiasi hasil kerja Komnas
Perlindungan Perempuan Papua yang telah berhasil mendokumentasikan kasus-kasus
kekerasan terhadap mama Papua dan pelanggaran HAM berbasis jender dalam kurung
waktu 1963 -2009. Dokumen tersebut berjudul, “STOP SUDAH”. Saya belum dapat dan
belum baca dokumen tersebut. Saya hanya mendengar dalam dokumen tersebut
termuat rekomendasi diantaranya, meminta polri agar menghukum pelaku
pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap perempuan dan memastikan adanya
penegakan hukum
Rekomendasi ini dan rekomendasi-rekomendasi
lain memang perlu di berikan kepada pemerintah agar persoalan-persoalan
tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah dan memenuhi rasa keadilan
masyarakat, terutama para keturunan korban pelanggaran HAM masa lalu. Mengadili
dan memberikan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran HAM perlu dilakukan.
Namun , janganlah kita larut dan terpaku hanya pada persoalan pelanggaran HAM
dan melupakan akar penyebab mengapa Mama Papua begitu rentan terhadap kekerasan
dan pelanggaran HAM. Saya katakan demikian, melihat pengalaman kita dalam
penanganan kasus –kasus pelanggaran HAM yang penyelesaiannya berlarut-larut,
padahal pemerintah dan aparat penegak hokum telah bekerja maksimal untuk itu.
Tampaknya memang agak sulit mengingat kita harus menghadirkan sebuah kejadian
masa lalu dalam konteks masa lalunya untuk kita adili di masa kini dalam
konteks kekiniannya. Tetapi apapun kesulitannya, pelangaran HAM, terutama
terhadap Mama Papua harus tetap kita upayakan.
Intinya, saya mau katakan, dokumentasi
kekerasan terhadap Mama Papua yang berlabel “STOP SUDAH” jangan hanya kita
pakai sebagai bahan untuk menuntut pelanggaran HAM masa lalu. Sebaiknya dokumen
“STOP SUDAH” tersebut kita jadikan kitab suci Komnas Perlindungan Perempuan
sebagai pedoman dan tuntunan dalam mengidentifikasi persoalan-persoalan dasar
Mama Papua, membuat program-program yang langsung bersentuhan bagi
peningkatakan kemampuan mama Papua untuk terlepas dari belenggu budaya yang
kurang berpihak padanya, sekaligus mendorong Mama Papua untuk bangkit, sehingga
mampu duduk bersama mengambil keputusan-keputusan, terutama keputusan politik
tentang dirinya.
Seperti kita ketahui, kekerasan paling tinggi
yang dialami mama Papua adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan ini
terjadi karena budaya patrilinear sungguh menempatkan Mama papua sebagai pribadi
yang kurang berdaya. Baik posisinya dalam rumah tangga, dalam aturan budaya,
dan dalam kesempatan mengecap pendidikan. Pemerintah telah berusaha memberi
kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi di dunia politik dengan
memberikan quota 30 persen, tetapi persoalan kemudian Partai politik sulit
menemukan wanita yang punya kemampuan yang dipersyaratkan untuk mengisi quota
tersebut, sehingga partai-partai besar di ibukota sekalipun lebih memilih perempuan
dari kalangan selebritis.
(Pengalaman
seorang dosen dan riset yang dilakukannya)
Di Kemenko Polhukam terdapat Desk Otonomi
Khusus, yang menangani persoalan-persoalan di Aceh dan Papua. Desk Otsus
tersebut memang belum secara intens menangani perlindungan kekerasan terhadap
mama Papua. Oleh karena itu, kami sebenarnya berharap Komnas Perlindungan
Perempuan juga melakukan lokakarya yang sama seperti ini, di Kemenko Polhukam.
Dr. Adriana Veny sebenarnya telah menjajakinya, kami sekarang tinggal menunggu
tindak lanjutnya.
Jangan pernah kita menganggap
bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan telah selesai, karena telah
terbentuk Komisi Nasional Perlindungan Perempuan. Komnas Perlindungan Perempuan
hanyalah sebuah pintu, lewat pintu itulah kita semua mengkonsolidasikan diri
masuk bersama-sama menyelesaiakn persoalan perempuan. Di dalamlah nanti kita
akan mengetahui siapa berbuat apa. Kami dari Kemenko Polhukam juga akan
mengajak kementerian dan lembaga di bawah koordinasi Kemenko Polhukam untuk
mengambil bagian dalam konsolidasi jaringan advokasi Papua.
0000000000000
Drs. Zulkomar
Disampaikan pada Lokakarya
Perlindungan terhadap Perempuan Papua
di Kementerian Koordinator
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan,
Jakarta, 16 November 2015.
0 komentar:
Posting Komentar